Minggu, 27 September 2009

LOKER....




Emang sih, telat buat bikin postingan tentang LOKER. Tapi apa salahnya, sih. hehe. Berikut ini foto-foto waktu LOKER
Cuma tiga yang diupload, tapi yang lainnya masih banyak, kok. Sayang nggak ada foto-foto waktu outbound, padahal outbondnya seru banget, lho! Dan walaupun lagi puasa, dijamin nggak bikin aus, justru bikin aus berkurang! Kenapa? Karena kelelep, jadinya banyak nelen air, hehehe.

Kamis, 24 September 2009

Liburan dan Pengalaman Aneh

Hee, udah lama nggak ngisi blog nih. Yang lain juga lagi pada males kayaknya, jarang ada yang teratur ngisi blognya.

Bosen. Lagi nggak ada sesuatu untuk dikerjain, palingan tidur-makan-minum-ke kamar mandi-sholat-monton tv-ngenet-baca buku-tidur lagi. Belum lagi kalo puasa, kan dua kegiatan lain berkurang tuh. Di rumah juga lagi nggak ada orang, mama sama adek ke 1, 3, 4 lagi ke Semarang, adek ke 2 lagi ke rumah saudara. Pembantu pulang, jadi tinggal berdua ama ayah, deh. Well, rumah jadi sepi, dan dengan rumah yang lumayan gede ini, tinggal sendirian jadi rada menakutkan. Selama ini sih aku belum pernah ngalamin hal yang aneh-aneh (maksudnya yang terlalu aneh, biasanya paling cuma ngeliat bayangan lewat, terus aku berkesimpulan kalau itu cuma khayalanku aja). Tapi, kali ini beda. Soalnya, bayangan itu sempet kuperhatiin beberapa saat.

Kejadiannya pas setelah zuhur tadi. Pas baru keluar dari kamar ortu dan berdiri di pintu, aku ngeliat bayangan orang di kaca lemari. Orang itu kayaknya habis dari ruang makan dan mau ke ruang tamu. Untuk gambaran, rumahku itu ada dua tingkat. Kamarku itu ada di atas, pas di sebelah kanan tangga, sementara kamar ortu ada di bawah, di sebelah kiri tangga. Terus, di depan tangga (di ruang tengah, di belakang ruang tengah ada ruang makan) itu ada lemari kaca yang gelap, jadi biasanya keliatan orang yang lewat dari ruang tengah ke ruang tamu.

Waktu itu sih kupikir paling ayah lagi mau pergi atau apa. Soalnya waktu zuhur, biasanya ayahku itu selalu pergi ke masjid buat sholat jama'ah. Tapi waktu kuliat jam, ternyata udah jam setengah satu. Kayaknya udah telat kan buat sholat zuhur? Terus kuliat lagi ke kaca, orang itu masih ada, masih jalan di depan ruang tamu. Ya udah, kupikir 'Oh, mungkin ayah nggak sholat di mesjid'.

Tapi nyatanya aku jadi kepikiran, terus barusan aku nanya ke ayah:

Aku: "Yah, tadi ayah pergi nggak waktu zuhur?"
Ayah: "Pergi, emang kenapa?"
Aku: "Pulangnya kapan?"
Ayah:"Jam satuan kalo nggak salah"

Dan emang sih, sekitar jam satuan aku denger suara motor dari depan. Pertanyaannya sekarang: siapa yang kuliat waktu jam setengah satu itu???

Apa emang ayah yang berangkat telat? Maling? Tamu? Atau.....

Aduuhhh

Rabu, 15 April 2009

The Story of Andy Rhoumot (part 1)

Ini gara-gara terlalu banyak baca bukunya Agataha Christie sambil mikirin drama. Nah, langsung aja (midah-mudahan nggak menyalahi aturan hak cipta):

The Story of Andy Rhoumot
(Kisah Andy Rhoumot)

Di luar jendela badai tengah berlangsung. Petir, hujan, dan angin berebut mencari tempat untuk menghantam jendela. Sambil menatap ini semua, Hercule Poirot menghirup tisanenya dengan perasaan nyaman. Ia duduk di kursi besar yang empuk dan membiarkan pemanas ruangan melakukan tugasnya. "Untuk itulah mereka dibeli," pikir Poirot. Kakinya diistirahatkan pada sebuah bantal kaki. Diamatinya kedua kakinya. Ujung kedua jari tengah kakinya, yang paling panjang di antara semuanya, tampak sedikit memerah. "Ah!" serunya dengan penuh perasaan, "Sepatu-sepatu itu! Aku terlalu banyak berjalan rupanya." Ia hendak melanjutkan keluhannya, ketika George, pelayannya yang setia, terbatuk kecil dari pintu.

"Ehem," ia terbatuk lagi, "Ada seorang pria yang datang mencari tuan," katanya. Hercule Poirot bangkit dari kursinya dengan anggun dan merapikan bagian belakang bajunya. "Kau sakit, George? Minumlah ini," Poirot mengacungkan gelasnya yang masih mengeluarkan asap, "Sangat manjur," tambahnya. George mengucapkan terima kasih dan berkata ia akan mencobanya, kemudian membungkuk dan menyingkir dari ruangan.

Poirot masih sempat meratakan kumisnya sebelum ia menemui tamunya yang sudah menunggu. Sejenak ia tertegun begitu mengenali siapa tamu tersebut. Namun, pada detik berikutnya, ia tersenyum dan membentangkan tangannya lebar-lebar, sambil berseru dengan sukacita, "Ah, Mr Robinson! Sudah lama sekali sejak pertemuan kita yang terakhir!" sambutnya ceria. Mr Robinson mengusapkan saputangan ke wajahnya yang kuning dan membalas sapaan Poirot dengan tenang, "Akhir-akhir ini kau tidak membutuhkan bantuanku, Mr Poirot. Nah, marilah, aku ingin meminta bantuanmu untuk sesuatu." Poirot segera duduk, dan tanpa basa-basi lagi Mr Robinson memulai ceritanya.

"Nah, aku akan menceritakan padamu sebuah kasus yang terjadi lima belas tahun yang lalu. Kisah ini terjadi di daerah tropis Hindia Barat, maka aku tidak heran kalau kau belum pernah mendengarnya. Waktu itu kasus ini merupakan kasus paling terkenal yang pernah terjadi disana, karena meskipun bukti-bukti menyatakan bahwa kasus ini merupakan tindakan bunuh diri, tetap saja, rasanya tidak masuk akal kalau dua orang bunuh diri sekaligus, kan?"

"Mungkin saja, mon ami. Seandainya yang bunuh diri itu adalah sepasang muda mudi yang saling mencintai seperti dalam kisah yang dengan sangat indah dituliskan oleh seorang pujangga Inggris, William Shakespeare," jawab Poirot sabar.

Mr Robinson hanya mengibaskan tangannya seolah sedang mengusir lalat, dan melanjutkan ceritanya, "Tentu saja, wajar jika begitu kejadiannya, tapi kasus yang saya ceritakan ini tidaklah sama seperti itu, karena kedua orang ini, meskipun mereka memang pasangan suami istri yang saling mencintai satu sama lain, telah melakukan bunuh diri pada dua tempat yang terpisah jaraknya sepanjang kira-kira sepuluh kilometer atau lebih, dan pada waktu yang cukup berdekatan pula. Bukankah itu tidak masuk akal?"

"Ya, memang benar,"

"Namun semua bukti-bukti yang ditemukan oleh polisi memang menyatakan bahwa keduanya adalah tindakan bunuh diri, dan bukannya pembunuhan seperti yang diperbincangkan oleh masyarakat setempat," Mr Robinson berhenti sebentar dari ceritanya dan menyela, "Kuharap kau tidak keberatan kalau aku merokok di sini?" Poirot hanya mengayunkan tangannya dengan gerakan mempersilakan, dan Mr Robinson pun menyalakan cerutunya. Sementara itu, Poirot menatapnya penuh selidik.

"Setahuku, bukankah kau hanya berhubungan dengan masalah finansial saja, dan bukannya manusia seperti ini? Atau kau telah memutuskan untuk menggunakan jaringanmu yang sangat hebat itu untuk ikut terjun ke dalam bisnis ini?" tanya Poirot sambil mengamat-amati tamunya.

"Oh tidak, tidak sama sekali, Poirotku yang baik. Aku sama sekali tidak berminat untuk menjadai sainganmu dalam bisnis ini, dan aku cukup puas dengan bidangku saat ini. Namun kasus yang tadi kuceritakan erat hubungannya dengan masalah yang kuhadapi saat ini, dibidangku, tentu saja. Begini, suami istri yang tadi kuceritakan, mempunyai simpanan deposito yang cukup besar jumlahnya," sahut Mr Robinson sambil mengisap cerutunya. Asap yang dihamburkannya mengalir memenuhi ruangan kerja Poirot. Poirot berseru dengan penuh perasaan.

"Ya, ya, aku mengerti maksudmu. Yang berhak mendapatkan deposito tersebut adalah putri tunggal mereka, yang ketika tragedi itu terjadi baru berusia dua tahun. Ia berhak mendapatkan seluruh uang itu ketika ia berumur 21 tahun atau ketika ia telah menikah. Namun, ada pihak lain yang juga diuntungkan atas deposito itu, yaitu bibi dari gadis tersebut, adik dari si suami, yang kini juga menjabat sebagai wali dari gadis itu. Wanita ini berhak menerima seluruh bunga dari deposito itu secara bertahap setiap bulannya, yang dimaksudkan sebagai biaya perawatan gadis itu. Namun dapat kujamin, bahwa sebenarnya hanya dari bunga deposito itu saja, si bibi ini tidak perlu bekerja lagi selama ia mendapatkan bunganya, dan ia bahkan bisa menikmati hidup yang cukup mewah seumur hidupnya jika ia berhemat,"

"Jadi, seandainya ada pembunuhan, wanita itulah yang mempunyai motif paling besar di antara semuanya?"

"Secara finansial, ya. Tapi dalam bidang yang lain, wah, sayang aku tak begitu ahli soal itu. Tapi seandainya terjadi apa-apa pada gadis itu, wanita itulah yang akan mendapat seluruh deposito itu,"
"Dan kau yakin akan terjadi apa-apa?"

"Ya, sahabatku, ya." Sekilas Mr Robinson tampak bergidik sendiri memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada, dan ia melanjutkan, "Karena itulah, Poirot, kuminta padamu, demi menghargai persahabatan kita, tolong cegah apapun yang mungkin menimpa gadis itu," katanya penuh harap.

Poirot hanya menggeleng pasrah, dan bertanya lagi, "Siapa yang memintamu menemuiku, sobat? Kau tidak mungkin menemuiku hanya karena inisiatif pribadi saja, apalagi sampai memohon seperti itu."

Wajah Mr Robinson yang kuning tampak sedikit memerah, namun ia tetap menjawab, "Kau kenal Mr Rhoumot?"

"Ah, bangsawan itu. Seorang politikus yang handal dan dipercaya masyarakat. Diakah yang memintamu?"

"Kurang lebihnya begitu. Sebenarnya yang datang menemuiku adalah putranya, Mr Andy Rhoumot," Kumis Poirot yang tebal bergerak-gerak geli. Mr Robinson mengangkat alisnya dan berkata, "Kurasa kau sudah memahami sebagian dari masalah ini dan juga posisiku, Poirot. Maukah kau melakukan permintaanku?" kali ini ia sungguh-sungguh meminta, tanpa ditutup-tutupi lagi.

"Yah, mon ami, tidaklah bijaksana untuk membiarkan orang-orang muda terganggu dengan masalah asmara mereka bukan?" sambil berkata demikian, Poirot bangkit dari kursinya dan menyalami Mr Robinson yang juga sudah berdiri dari duduknya. "Aku akan menemuimu dua hari lagi untuk meminta cerita lengkapnya. Selamat siang sobat, semoga harimu menyenangkan," dia membungkuk dengan main-main dan mempersilakan tamunya keluar dari ruangan.

Minggu, 12 April 2009

Rasa

Apakah rasa itu? Menurut KBBI, rasa itu:

1. tanggapan indra thd rangsangan saraf, spt manis, pahit, masam thd indra pengecap, atau panas, dingin, nyeri thd indra perasa
2. apa yg dialami oleh badan
3. sifat rasa suatu benda
4. tanggapan hati thd sesuatu (indra)
5. pendapat (pertimbangan) mengenai baik atau buruk, salah atau benar

Poin pertama, udah jelas kan? Manis, asam, asin, pahit, pedas, getir, sakit, perih, panas, dingin, hangat, sejuk, dan masih banyak lagi.

Poin kedua, ini juga cukup jelas. Sakit, nyeri, pedih, tertekan (oke, ini semua secara harfiah, ya), panas, dingin, dll.

Poin ketiga juga gampang, gula yang manis, garam yang asin, cabe yang pedas, dll.

Poin keempat. Takut, sedih, bimbang, bahagia, cinta, sakit, perih, marah, frustasi, tertekan, pahit, getir, dll. Kalau kita lihat dari poin-poin sebelumnya, kata-kata di poin keempat ini banyak juga di sebut di tiga poin sebelumnya. Contohnya manis, asam, pahit, getir, pedas, panas, sakit, pedih, tertekan, dingin, hangat, sejuk dll. Rasa-rasa yang kita sudah tahu dengan pasti ketika kita menghadapi rasa itu di poin keempat ini, ketika kita menghadapi rasa itu dengan hati.

Ada beberapa yang bisa kita coret dari daftar sebelumnya, yaitu manis, asam, asin, pahit, getir, dan pedas. Kenapa? Karena kata asin (yang termasuk bersama lima kata barusan dalam poin pertama dan ketiga) tidak termasuk dalam kata yang biasa dipakai untuk mendeskripsikan suasana hati (ketika mendengar, melihat, ataupun merasakan sesuatu). Nggak ada kan, yang ngomong, "Lo asin banget sih," atau "Rasanya asin banget tau, dikhianatin kayak gitu," atau "Wajahnya kelihatan sangat asin ketika mendengar kabar itu."

Dari eliminasi di atas, kata yang tersisa di poin-poin lain hanya panas, sakit, pedih, tetekan, dingin, hangat, dan sejuk. Kata yang lainnya? Abstrak.

Bagaimana rasanya kebahagiaan? bagaimana rasanya cinta? bagaimana rasanya percaya? Bagaimana rasanya benci? Bagaimana rasanya frustasi? Bagaimana rasanya kecewa?

Seandainya ada orang yang mengerti rasa-rasa tersebut, ia tidak akan bisa memberitahukan artinya kepada orang lain. Tubuh kita tidak bisa merasakan rasa-rasa itu, tidak seperti sakit, pedih, nyeri, panas, hangat, dingin, sejuk, dan lain-lain. Lalu, bagaimana kita bisa tahu rasa apa yang kita alami saat ini? apakah rasa itu bahagia, frustasi, benci, cinta, kecewa, dll? Bagaimana kita bisa tahu kalau tidak ada deskripsi yang jelas tentang rasa-rasa ini?

Orang bisa saja bilang, "frustasi itu kamu sedang sedih luar biasa," Apa itu sedih? Atau, " Cinta itu adalah kebahagiaan yang kamu rasakan dengan seseorang," Apa itu bahagia? "Benci itu adalah ketika kamu tidak suka pada seseorang," Apa itu suka? "Sayang itu adalah ketika kamu mempercayai seseorang," Apa itu percaya?

Gimana kita bisa tahu?

Poin kelima, baik dan buruk, salah dan benar. Apakah ada sesuatu yang benar-benar salah atau benar, sesuatu yang mutlak baik dan buruk, di dunia ini?

Oke, mungkin ada yang bilang, "Baik dan buruk itu berdasarkan ajaran agama," Tapi bahkan agama pun selalu memberikan toleransi untuk alasan-alasan tertentu. Dan itulah yang tidak pernah kita ketahui. Bahwa ada alasan di balik nyaris segala sesuatu. Ada yang disebut prima klausa. Sebab akibat. Segala tindakan ada sebabnya. Segala gerakan ada sebabnya. Segala perasaan ada alasannya.

Kita bisa saja menuduh seorang pencuri itu salah, menggebukinya sampai meninggal, dan lain-lain. Dan saat itu kita beralasan, "Mencuri itu kan salah. Ada dalam agama," Apakah membunuh itu benar? Lagipula, ada hukum dalam agama yang menyatakan tidak apa-apa mencuri hanya ketika kelaparan, dan mencuri itu pun hanya boleh secukupnya. Dalam kasus ini, yang salah adalah tetangga-tetangga terdekatnya, yang membiarkannya kelaparan. Tapi, mungkin saja tetangganya sendiri juga kelaparan. Mungkin.

Kita bisa saja menuduh seseorang itu buruk, ketika ia memukul seseorang lainnya. Padahal ia memukul supaya orang yang dipukulnya itu menjadi lebih baik. Kita bisa menuduh seseorang salah, ketika ia marah. Padahal ia marah demi kebaikan orang yang dimarahinya. Kita bisa saja menuduh orang lain salah, ketika ia membicarakan orang lain dibelakang. Padahal mungkin ia sedang berusaha mencari pendapat supaya bisa memberi masukan pada orang itu. Kita bisa saja memuji orang yang bersedekah, padahal sedekahnya itu dilakukan atas dasar riya dan mengurangi rasa bersalahnya telah mengeruk uang negara. Kita bisa saja melakukan hal-hal itu.

Kita tidak pernah tahu apa alasan orang melakukan hal tertentu. Dan dibalik alasan itu, selalua da alsan lain. Tidak ada perbuatan tidak beralasan di dunia ini. Tapi, yang menyebabkan kita bisa menilai sesuatu adalah karena kita tidak mengerti alasan itu. Dan sesungguhnya, tidak ada orang yang berhak untuk mengatakan 'mengerti' keadaan orang lain. Tidak ada. Bahkan orang yang paling dekat pun tidak berhak mengatakan bahwa ia 'mengerti'. Kalau memang mau mengerti seseorang, tetaplah ada di dekatnya,awasi semua gerakannya, pandangannya, ucapannya, apa yang didengarnya, dan lain-lain. Karena bahkan satu kedipan mata, satu helaan nafas yang paling lirih pun dapat membuat perubahan besar pada dunia. Dan ketika sudah berubah, tidak akan ada yang pernah kembali sama. Dan tidak mungkin lagi bagi kita untuk mengerti. (Jadi, jangan pernah minta untuk dimengerti, karena itu percuma)

Sampai saat ini, aku sendiri belum bisa mengerti dua poin terakhir ini. Mungkin nanti, ya, nanti. Saat dimana aku bisa mengetahui alasan-alasan itu. Mungkin ada yang bisa memberitahu?

Senin, 06 April 2009

Sedikit Perubahan

Yak, seperti yang bisa dilihat, telah diadakan sedikit perubahan pada blog ini, yaitu pada header, container, dan sidebar. Meskipun masih belum beres untuk yang lainnya..~>_<~..yang udah jadi inipun mesti beberapa kali upload dan delete. Ukurannya susah untuk bisa pas. Dan lagi, template ini nggak bisa diganti warnanya...jadi mesti nyari kode warna juga kalo mau ganti warna tulisan. Huh.

Oh ya, header kali ini adalah Yamamoto dari Katekyo Hitman Reborn!. Dan kali ini ada kuisnya. Cari sepuluh perbedaan dari gambar di atas dengan yang ini. Hehehehe... pertama kali liat aku langsung kaget, dan langsung ketawa juga. Untung nggak jadi ilfil sama Yamamoto...kayak waktu aku ilfil ngeliat Saber dan Kurapika gara-gara sebuah lomba cosplay.

Terakhir, doakan semoga perubahan-perubahan pada template ini cepat selesai!!! Kayaknya masih banyak yang harus diedit lagi

Minggu, 05 April 2009

Promosi TPS


Dateng, yaaa!!!!

Minggu, 22 Maret 2009

Toilet

Wartawan Budi Harsono menggerigiti ujung pangsitnya. Ia sedang membaca sebuah judul artikel salah satu koran ternama di Indonesia. Judulnya 'Seorang Pria Menikah dengan Sebuah Toilet'. Judul itu sebenarnya tidak sesuai dengan kegiatan lain yang sedang dilakukannya, yaitu makan bakso di warung langgananya. Tetapi Budi telah mengalami berbagai macam peristiwa lain, pembunuhan, perampokan, penganiayaan, dan masih mampu makan apapun yang tersedia dihadapannya. Bagaimanapun, manusia kan butuh makan.

Malam itu udara agak panas, dan suhu udara agaknya menjadi salah satu alasan bagi orang-orang untuk keluar dan makan bakso, karena malam itu warung bakso Pak Adi itu tampak sepi, berbeda dengan saat-saat dimana hujan turun dan menjadikan udara begitu dingin, sampai-sampai kita bisa melihat asap putih keluar dari setiap mulut orang yang berbicara, atau sekedar menghela nafas. Karenanya, Pak Adi sendiri tidak mempunyai banyak kesibukan selain sekali-kali keluar masuk warung dan rumahnya yang dijadikan satu, sebagaimana warung-warung kecil lainnya, bagian depannya dijadikan warung dan dibelakangnya adalah rumah, tempat pemilik warung dan keluarganya tinggal. Ia cukup mengenal Budi, yang sudah berkali-kali datang ke warungnya, tidak bergantung pada cuaca seperti orang-orang lain, dan karenanya ia berani membuka percakapan.

"Aneh ya, Dik?" Pak Adi memulai percakapan. Budi hanya meliriknya sebentar melalui bagian atas korannya. "Orang itu. Kayak nggak mikir aja, apa enaknya coba kawin sama toilet?" ujarnya, diiringi dengan tawa lepas.

Budi hanya tersenyum dan melipat kembali korannya dengan rapi. Ia menanggapi kata-kata pemilik warung, " Ya, macam-macam Pak. Pasti ada alasannya orang melakukan sesuatu," sambil berkata begitu, ia menyuapkan separuh bakso ke mulutnya. Hap! Dengan sekali kunyah, bakso itu lenyap.

Pak Adi tetap terkekeh-kekeh. "Alasan gimana, Dik? Toilet kan nggak bisa punya anak. Nggak bisa disuruh masak atau bantuin kerjaan rumah. Kayak saya sekarang ini," ia menyulut rokok dan menghisapnya sekali, dan meneruskan pembicaraannya," Saya sih nggak kebayang gimana caranya saya bisa jualan bakso gini kalau nggak ada si Neng," ia menghisap rokoknya sekali lagi dan menghembuskannya," Nggak kebayang gimana saya mesti ngurusin tuh anak tiga, yang kalo bangun ramenya udah kayak kebun binatang," Pak Adi menggelengkan kepalanya sebentar, lalu mulai tertawa lagi. "Ya...tapi toilet sih nggak butuh makan ya, Dik?"

Budi tertawa halus demi menjaga perasaan si empunya warung. Ia tidak mengatakan bagaimana pendapatnya tentang keluarga Pak Adi, atau tentang Pak Adi sendiri. "Tetap saja Pak, saya rasa orang itu juga nggak mau menikah dengan toilet kalau dia nggak punya alasan tertentu. Misalnya, kalau dia pernah sakit hati pada seseorang..." Budi tidak melanjutkan kalimatnya.

Si pemilik warung menanggapi dengan ceria," Ah, itu mah saya juga tahu, Dik! Kalau kata orang, secara psikologis, gitu kan?" Budi menatap bapak tua itu dengan kagum. Yang ditatap rupanya menyadari apa arti pandangan Budi, karena ia meneruskan ocehannya," Jangan dikira saya nggak tahu apa-apa, Dik! Jaman sekarang mah yang gitu udah biasa, anak saya yang masih SD juga udah tahu kata-kata kayak gitu. Banyak disebut di TV itu."

Budi tersenyum maklum. Di tengah banyaknya perdebatan mengenai fungsi dan ketergantungan akan benda itu, televisi setidaknya sudah memberikan perbendaharaan kata-kata baru bagi masyarakat, batinnya. Ia memilih untuk melanjutkan kalimatnya yang terputus, "Nah, semacam itulah Pak. Misalnya, kalau orang itu pernah sakit hati pada seseorang, mungkin ia akan menganggap bahwa benda yang ditemuinya setiap hari itu lebih berharga dibandingkan orang-orang disekitarnya, dan karena itu ia pun memilih menikah dengan benda tersebut daripada dengan manusia asli," ujar Budi.

Pak Adi hanya mengangguk-angguk, dan percakapan mereka pun terpaksa dihentikan sampai disitu ketika sebuah mobil berhenti di depan warung dan keluarlah para penumpangnya, sepasang suami istri dan dua orang anak mereka yang kelihatannya baru saja menempuh perjalanan jauh dan mengantuk karenanya. Budi mengamati Pak Adi yang sibuk melayani pembeli yang tiba-tiba saja bertambah, karena saat itu sebuah motor juga berhenti di depan warung, membawa sepasang kekasih yang tampaknya sedang menikmati malam berduaan. Gagasan tadi melayang-layang dalam pikirannya. Apakah topik tadi cukup menarik untuk dibahas? Budi meraih kembali koran yang tadi sudah dilipatnya. Ya, tidak disebutkan keterangan lebih lanjut tentang alasan orang itu menikahi toiletnya. Hanya disebutkan sambil lau kegemparan yang ditimbulkannya. Mungkin kalau dia berhasil mengorek keterangan lebih lanjut, ia, wartawan Budi Harsono, bisa menyajikan sebuah artikel yang memikat, tajuk utama sebuah koran terkemuka. Dengan pikiran inilah Budi cepat-cepat menghabiskan baksonya dan segera menaiki motornya untuk pergi ke alamat yang tertera dalam koran, tentu saja setelah ia membayar harga baksonya.

~*~

"Ya? Oh, ya, tentu saja. Iya, terima kasih banyak, Pak," Budi memutuskan sambungan teleponnya, kemudian menekuri buku catatannya yang kini tengah menunjukkan alamat seseorang yang baru saja disalinnya. Beberapa saat kemudian, ia tersenyum puas dan kembali menaiki motornya, membelah kota dengan sisa-sisa bahan bakar kendaraan tersayangnya itu. Budi begitu bersemangat memikirkan reaksi editor majalah tempatnya bekerja selama ini sebagai wartawan lepas ketika melihat hasil buruannya kali ini. Ya, pria yang menikah dengan sebuah toilet itulah sasarannya.

Sepanjang perjalanan, Budi tidak dapat melepaskan pikirannya dari bayangan calon narasumbernya. Hmm...kira-kira apa, ya, yang membuat pria ini begitu kukuh untuk menikahi sebuah toilet ketika masih banyak wanita-wanita lajang di luar sana? Budi membiarkan khayalannya berkreasi sebisanya, menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang belum pernah dibayangkannya sebelumnya.

Mungkin ia adalah orang yang merasa bahwa dirinya kotor, tidak ubahnya seperti sebuah toilet yang setiap hari terus-menerus dikotori oleh orang lain. Budi mengernyitkan alisnya. tidak, itu tidak cocok. Kalau memang begitu keadaannya, bukankah ia seharusnya memilih sebuah tempat sampah, atau baju bekas, atau apalah sesuatu yang dianggapnya sama kotor dengan dirinya? Kenapa harus toilet? Toilet sendiri bukan benda yang kotor, kan? Ia hanya sebuah sarana yang dicari oleh orang ketika orang tersebut hendak menunaikan hajatnya, yaitu membuang kotoran, entah itu berupa feses, urin, muntahan, sampah, dan yang lainnya. Sekali lagi Budi menggelengkan kepalanya. Udara malam yang tadinya panas perlahan berubah menjadi dingin, dan hal ini sama sekali tidak disadarinya.

Atau, mungkin si suami toilet ini pernah patah hati pada seorang wanita. Kesepian dan putus asa, namun ia tidak dapat menemukan pengganti wanita yang dicintainya itu. Tidak ada juga orang yang bersedia mendengarkan seluruh keluh kesahnya, menerima cucuran air matanya, ataupun sekedar menepuk punggungnya dalam masa-masa sulit yang dilaluinya setelah patah hati. Ya, kemungkinan yang ini sepertinya adalah kemungkinan yang paling dekat dengan kebenarannya.

Budi mengigit bibirnya saking bersemangatnya. Sebentar lagi ia sudah akan tiba ditempat buruannya berada. Dibelokkannya motornya menuju sebuah jalan kecil yang ditandai sengan sebuah gapura di depannya. Nomor sebelas A... ah, ini dia! Budi segera memarkirkan motornya di tepi jalan begitu menemukan alamat yang dicarinya, Tidak dipedulikannya hujan yang saat itu mulai turun membasahi jaketnya.

Ia mengeluarkan kartu tanda pengenalnya dari dompet, sekedar untuk berjaga-jaga. Kemudian barulah ia menekan bel di sela-sela pagar rumah yang tertutup rapat itu. Setelah menekan bel beberapa kali, seorang pria muda membuka pintu rumah dan bertanya keheranan pada tamunya itu.

"Mencari siapa, ya?" tanyanya heran.

Budi terpaksa berteriak cukup keras agar bisa menandingi suara petir yang tiba-tiba menyambar, "Pak Setyo ada, Pak?" ia balas bertanya.

"Oh, saya Setyo sendiri, ada keperluan apa?"

"Nama saya Budi Harsono, saya wartawan lepas dari majalah Hari Cerah, saya ingin mewawancarai bapak sehubungan dengan berita ini," Budi menjawab sambil melambai-lambaikan koran yang dari tadi dipegangnya. Koran itu kini sudah agak kusut karena terpaan angin dan hujan selama perjalanan tadi. Tapi, Pak Setyo rupanya masih mengenali koran tersebut. Ia tersenyum ramah dan mempersilakan Budi masuk ke rumahnya.

Beberapa saat kemudian, kedua pria itu sudah berada di ruang tamu Pak Setyo. Dua gelas kopi hangat ikut serta menemani mereka, sementara di luar hujan dan angin mengamuk seolah tidak puas akan apa yang bisa diterjang. Budi memulai wawancaranya dengan sebuah pertanyaan.

"Pak Setyo, sebenarnya, kenapa Bapak mau-maunya menikahi sebuah toilet, sementara tentunya masih banyak wanita lain di luar sana yang mungkin menginginkan bapak menjadi pasangan mereka?" tanya Budi sopan.

Setyo tersenyum lebar, dan menjawab, "Alasannya sederhana. yaitu karena saya sendiri merasa saya adalah sebuah toilet," ia menyeruput sedikit kopinya. jawabannya menimbulkan rasa ingin tahu yang lebih dalam pada diri Budi. Baginya, pria di depannya ini tamoak sama warasnya dengan orang biasa, dan cukup tampan pula. Tapi kenapa ia mengatakan hal yang tidak waras begini?

"Sebuah toilet? Anda merasa bahwa anda adalah sebuah toiolet? Kenapa?" tanya Budi hati-hati.

"Karena toilet adalah sebuah benda, sebuah sarana yang diperlukan bila orang ingin mengeluarkan sesuatu, menumpahkan sesuatu, dan ya, dalam hal itu saya merasa bahwa diri saya adalah toilet. Bukan suat hal yang aneh bukan, bila sebuah toilet jatuh cinta pada toilet lainnya? Sama saja dengan manusia yang terlibat asmara dengan manusia lainnya, ataupun seekor hewan yang tertarik dengan sesama jenisnya. Tidak ada hal yang istimewa, kan?" Senyum Setyo bertambah lebar, bahkan senyumnya semakin mirip dengan sebuah seringai. Budi tidak memperhatikannya, ia tetap terfokus dengan pinsil dan buku catatannya, serta tape recorder yang diputarnya. Dan ia masih terus mengajukan pertanyaan.

"Seandainya Bapak adalah benar sebuah toilet, apakah bapak tidak heran dengan kemampuan bapak untuk dapat bercakap-cakap dengan manusia seperti saya ini?" tanya Budi lebih lanjut.

Setyo menggumam tidak jelas, dan hanya kata-kata terakhirnya yang didengar Budi, "...Apa kamu yakin bahwa kamu adalah manusia, dan bukannya toilet seperti saya?" guntur menggelegar, membuat bulu kuduk Budi meremang. Namun ia yakin, bahwa yang menyebabkan bulu kuduknya meremang adalah kata-kata Setyo barusan. Ia tetap berpura-pura tidak peduli dan meneruskan wawancaranya. Kilat menyambar bersusulan, seolah tengah mengadu kekuatannya unuk menghancurkan.

Mereka terus melanjutkan wawancara tersebut hingga pagi menjelang dan hujan pun reda. Wawancara tersebut diakhiri ketika kokok ayam jantan pertama terdengar di komplek perumahan itu. Dengan puas Budi menatap hasil wawancaranya, dan minta diri kepada sang empunya rumah. Ia segera menuju kantor penerbitan majalah tempatnya bekerja, hatinya dipenuhi perasaan bangga yang meluap-luap. Ia telah berhasil mendapatkan kesaksian sampah dari seorang yang gila, betul-betul gila orang itu, menyangka dirinya toilet! Tidak dipedulikannya kemacetan yang sudah terjadi sejak dini hari, bahkan suara klakson yang sahut menyahut pun didengarnya sebagai suatu nyanyian indah. Hari itu adalah hari yang membawa harapan baru baginya.

Tidak berapa lama kemudian sampailah ia di kantor majalah 'Hari Cerah'. Disapanya setiap orang yang dilihatnya, dienyuminya mereka. Dengan wajah berseri-seri, ia menaiki lift untuk sampai di ruangan seorang editor yang sering bekerja sama dengannya. Ditunggunya dengan sabar ketika lift mulai membuka dan kerumunan orang dari dalam lift berhamburan bagaikan ombak pasang yang menerjang. Nyaris tanpa memperhatikan jalan, ia berusaha merangsek masuk ke dalam lift. Sesampainya di dalam lift, barulah ia berhasil memusatkan perhatiannya kepada tombol yang ingin ditekannya, tombol yang akan membawa lift ini menuju sebuah masa depan indah yang baru baginya. Setelah selesai, ia mengedarkan pandangannya kesekelilingnya.

Ia sendirian di dalam lift itu. Tetapi Budi menjerit sekuat tenaga, menjerit seakan-akan rohnya dilepaskan dari tubuhnya, ketika ia menatap ke dinding lift itu. Di dinding lift yang dihiasi oleh kaca, seharusnya berdirilah wartawan Budi Harsono.

Tetapi yang dilihatnya tengah berdiri dan balas menatapnya di sana, adalah sebuah toilet....

~*~

Naskah wawancara tersebut tetap sampai ke si editor yang amat menghargai karya Budi, meskipun wartawan itu sendiri tidak pernah lagi menampakkan ujung rambutnya di kantor itu. Editor itu menemukan naskah wawancara tersebut di lantai lift, dengan tulisan tangan Budi yang besar-besar dan rapi. Lengkap dengan nama reporternya. Dan dari sana, naskah itu dicetak, diterbitkan sebagai judul utama majalah, dengan huruf-huruf besar dan mencolok, hasil dari sebuah strategi desain yang pasti akan langsung mendapatkan perhatian setiap mata yang sempat melihatnya, walaupun hanya dengan ujung mata. Nama wartawan Budi Harsono segera melonjak di media massa. Artikel itu tetap terkenal meskipun bertehun-tahun roda waktu bergulir. Dan si rumahnya, Setyo hanya mampu mendesah lirih.

"Sayang...sungguh sayang...Sebentar lagi dunia ini akan dipenuhi oleh toilet. Atau memang sudah?"

Sabtu, 14 Maret 2009

Nggak tau apa lagi yang mau dikerjain...

Disuruh Dita nyoba:

Your view on yourself:

Other people find you very interesting, but you are really hiding your true self. Your friends love you because you are a good listener. They'll probably still love you if you learn to be yourself with them.

The type of girlfriend/boyfriend you are looking for:

You like serious, smart and determined people. You don't judge a book by its cover, so good-looking people aren't necessarily your style. This makes you an attractive person in many people's eyes.

Your readiness to commit to a relationship:

You prefer to get to know a person very well before deciding whether you will commit to the relationship.

The seriousness of your love:

You are very serious about relationships and aren't interested in wasting time with people you don't really like. If you meet the right person, you will fall deeply and beautifully in love.

Your views on education

Education is very important in life. You want to study hard and learn as much as you can.

The right job for you:

You have plenty of dream jobs but have little chance of doing any of them if you don't focus on something in particular. You need to choose something and go for it to be happy and achieve success.

How do you view success:

Success in your career is not the most important thing in life. You are content with what you have and think that being with someone you love is more than spending all of your precious time just working.

What are you most afraid of:

You are afraid of having no one to rely on in times of trouble. You don't ever want to be unable to take care of yourself. Independence is important to you.

Who is your true self:

You are mature, reasonable, honest and give good advice. People ask for your comments on all sorts of different issues. Sometimes you might find yourself in a dilemma when trapped with a problem, which your heart rather than your head needs to solve.

Dan sesuatu yang lain, tentang hari ini:

Ah, from the town I was born and grew up where cultivated my reckless zeal,
When every time things doesn't go my way I couldn’t believe myself


Somehow or the other I just stopped caring
And skipped out on this morning
By making an obvious excuse,
I just became more depressed.

Just like always,
When I turn that corner,
I merge into a wave of people
And just disappear

Smeared with discouragement and lost in fads
I pretend to be happy as I sing
“Run further” I’m urging myself, thoughtlessly also softly to where the wind is blowing


I lose my way completely,
And can find no words to say

If you call the soil treaded upon, a road
Then is even closing your eyes love?

If you call letters that start to talk, a novel
Then are words that don’t reach, a dream?

If it’s an illusion, then I’ll love the illusion
And I can even throw it away tomorrow
Tell me a reason to fear it


Timidness, bluffing, and the things that I protected obstruct me
And I can't even take a single step forward, tomorrow is scary


Is it okay to not be strong enough? Is that okay?

If these dull emotions could just
Disappear sooner without a word
It would have been easier

Everyone says, “Grow up”
Forget about the dreams that even I can’t see for myself
It’s as if I’ve gotten the habit of saying, “Sorry”
Enough with the excuses, I really have to go


But it's still just as good...

Basking in the light of the moon, taking a deep breath
In a world where there’s no yelling voice or sound of the plates breaking
Without sharing warmth, life can continue
However, just living is not enough for us


I keep it in my mind, I want to be strong now
Even if more breakups are to come…


Even when I fall down and cry, I’ve come to feel that everything has a reason.

Sabtu, 07 Maret 2009

Hari Jum'at Sore...

Jum'at kemarin panas terik banget, ya. Sampe nggak percaya kalo hari udah sore, kalo nggak ngeliat beberapa buah jam dulu untuk memastikan.

Kemarin, liqo tetep jalan, meskipun nggak ada Kak Fitri. Awalnya sih oke, kita memutuskan untuk membahas materi pk, tentang Al Qur'an. Tapi lama-lama malah ngalor ngidul nggak jelas. Tapi tetep membahas beberapa topik, kok. Dan masih ada yang bisa diambil.

Beberapa pertanyaan yang masih mengganjal dari kemarin:

1. Apakah kita hidup?
2. Kenapa kita hidup? Kenapa harus kita?
3. Perasaan orang-orang yang dilahirkan sebagai non muslim, apakah sama seperti kita?

Masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang lain, sayangnya aku rada lupa. kalo nggak salah sih sempet membicarakan tentang agama-agama gitu, tentang benar dan salah, tentang menguatkan keyakinan, tentang Zionis, dll.

Waduh, menyimpang banget dari topik utama, ya. Seenggaknya dapet beberapa kesimpulan untuk dilaporkan ke Kak Fitri minggu depan ^^.

Oh yeah, wait for the next stories, 'Seribu Bintang dalam Cermin' and 'Pensil'. Mudah-mudahan dengan ngejanjiin kayak gini aku bener-bener akan nyelesaiin tuh cerpen, idenya sih ada, tapi lagi nggak mood nulis.

Rabu, 25 Februari 2009

Kesalahan Turun Temurun

Dua hari yang lalu, kayaknya, aku dikasi liat sebuah email, judulnya :

Renungan: PERHITUNGAN YANG

KELIRU

Silakan baca dulu, deh:

Seorang teman saya yang bekerja pada sebuah perusahaan asing, di PHK
akhir tahun lalu. Penyebabnya adalah kesalahan menerapkan dosis
pengolahan limbah, yang telah berlangsung bertahun-tahun. Kesalahan ini terkuak ketika seorang pakar limbah dari suatu negara Eropa mengawasi secara
langsung proses pengolahan limbah yang selama itu dianggap selalu gagal.

Pasalnya adalah, takaran timbang yang dipakai dalam buku petunjuknya
menggunakan satuan pound dan ounce. Kesalahan fatal muncul karena yang
bersangkutan mengartikan 1 pound = 0,5 kg. dan 1 ounce (ons) = 100
gram, sesuai pelajaran yang ia terima dari sekolah. Sebelum PHK dijatuhkan,
teman saya diberi tenggang waktu 7 hari untuk membela diri dgn. cara
menunjukkan acuan ilmiah yang menyatakan 1 ounce (ons) = 100 g.

Usaha maksimum yang dilakukan hanya bisa menunjukkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang mengartikan ons (bukan ditulis ounce) adalah satuan
berat senilai 1/10 kilogram. Acuan lain termasuk tabel-tabel konversi yang
berlaku sah atau dikenal secara internasional tidak bisa ditemukan.

SALAH KAPRAH YANG TURUN-TEMURUN.

Prihatin dan penasaran atas kasus diatas, saya mencoba menanyakan hal
ini kepada lembaga yang paling berwenang atas sistem takar-timbang dan
ukur di Indonesia , yaitu Direktorat Metrologi . Ternyata, pihak Dir.
Metrologi-pun telah lama melarang pemakaian satuan ons untuk ekivalen
100 gram.

Mereka justru mengharuskan pemakaian satuan yang termasuk dalam Sistem
Internasional (metrik) yang diberlakukan resmi di Indonesia . Untuk
ukuran berat, satuannya adalah gram dan kelipatannya. Satuan Ons
bukanlah bagian dari sistem metrik ini dan untuk menghilangkan kebiasaan
memakai satuan ons ini, Direktorat Metrologi sejak lama telah memusnahkan
semua anak timbangan (bandul atau timbal) yang bertulisan "ons" dan "pound".

Lepas dari adanya kebiasaan kita mengatakan 1 ons = 100 gram dan 1
pound = 500 gram, ternyata tidak pernah ada acuan sistem takar-timbang
legal atau pengakuan internasional atas satuan ons yang nilainya
setara dengan 100 gram. Dan dalam sistem timbangan legal yang diakui dunia
internasional, tidak pernah dikenal adanya satuan ONS khusus Indonesia
.
Jadi, hal ini adalah suatu kesalahan yang diwariskan turun-temurun.
Sampai kapan mau dipertahankan ?

BAGAIMANA KESALAHAN DIAJARKAN SECARA RESMI ?

Saya sendiri pernah menerima pengajaran salah ini ketika masih di
bangku sekolah dasar. Namun, ketika saya memasuki dunia kerja nyata,
kebiasaan salah yang nyata-nyata diajarkan itu harus dibuang jauh
karena akan menyesatkan.

Beberapa sekolah telah saya datangi untuk melihat sejauh mana
penyadaran akan penggunaan sistem takar-timbang yang benar dan sah
dikemas dalam materi pelajaran secara benar, dan bagaimana para murid
(anak-anak kita) menerapkan dalam hidup sehari-hari. Sungguh
memprihatinkan. Semua sekolah mengajarkan bahwa 1 ons = 100 gram dan 1
pound = 500 gram, dan anak-anak kita pun menggunakannya dalam kegiatan
sehari-hari. "Racun" ini sudah tertanam didalam otak anak kita sejak
usia dini.

Dari para guru, saya mendapatkan penjelasan bahwa semua buku pegangan
yang diwajibkan atau disarankan oleh Departemen Pendidikan Indonesia
mengajarkan seperti itu. Karena itu, tidaklah mungkin bagi para guru
untuk melakukan koreksi selama Dep. Pendidikan belum merubah atau
memberi-kan petunjuk resmi.

TANGGUNG JAWAB SIAPA ?

Maka, bila terjadi kasus-kasus serupa diatas, Departemen Pendidikan
kita jangan lepas tangan. Tunjukkanlah kepada masyarakat kita terutama
kepada para guru yang mengajarkan kesalahan ini, salah satu alasannya
agar tidak menjadi beban psikologis bagi mereka ;

"acuan sistem timbang legal yang mana yang pernah diakui /
diberlakukan secara internasional , yang menyatakan bahwa :

1 ons adalah 100 gram, 1 pound adalah 500 gram."?

Kalau Dep. Pendidikan tidak bisa menunjukkan acuannya, mengapa hal ini
diajarkan secara resmi di sekolah sampai sekarang ?

Pernahkan Dep. Pendidikan menelusuri, dinegara mana saja selain
Indonesia berlaku konversi 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram ?

Patut dipertanyakan pula, bagaimana tanggung jawab para penerbit buku
pegangan sekolah yang melestarikan kesalahan ini ?

Kalau Dep. Pendidikan mau mempertahankan satuan ons yang keliru ini,
sementara pemerintah sendiri melalui Direktorat Metrologi melarang
pemakaian satuan "ons" dalam transaksi legal, maka konsekwensinya
ialah harus dibuat sistem baru timbangan Indonesia (versi Depdiknas)..
Sistem baru inipun harus diakui lebih dulu oleh dunia internasional sebelum
diajarkan kepada anak-anak. Perlukah adanya sistem timbangan Indonesia
yang konversinya adalah 1 ons (Depdiknas) = 100 gram dan 1 pound
(Depdiknas) = 500 gram. ? Bagaimana "Ons dan Pound (Depdiknas)" ini
dimasukkan dalam sistem metrik yang sudah baku diseluruh dunia ?
Siapa yang mau pakai ?.

HENTIKAN SEGERA KESALAHAN INI.

Contoh kasus diatas hanyalah satu diantara sekian banyak problema yang
merupakan akibat atau korban kesalahan pendidikan. Saya yakin masih
banyak kasus-kasus senada yang terjadi, tetapi tidak kita dengar.
Salah satu contoh kecil ialah, banyak sekali ibu-ibu yang mempraktekkan
resep kue dari buku luar negeri tidak berhasil tanpa diketahui dimana kesala
hannya.

Karena ini kesalahan pendidikan, masalah ini sebenarnya merupakan
masalah nasional pendidikan kita yang mau tidak mau harus segera
dihentikan.

Departemen Pendidikan tidak perlu malu dan basa-basi diplomatis
mengenai hal ini. Mari kita pikirkan dampaknya bagi masa depan
anak-anak Indonesia . Berikan teladan kepada bangsa ini untuk tidak malu
memperbaiki kesalahan.

Sekalipun hanya untuk pelajaran di sekolah, dalam hal
Takar-Timbang- Ukur, Dep. Pendidikan tidak memiliki supremasi
sedikitpun terhadap Direktorat Metrologi sebagai lembaga yang paling berwenang di Indonesia . Mari kita ikuti satu acuan saja, yaitu Direktorat
Metrologi.

Era Globalisasi tidak mungkin kita hindari, dan karena itu
anak-anak kita harus dipersiapkan dengan benar. Benar dalam arti
landasannya, prosesnya, materinya maupun arah pendidikannya. Mengejar
ketertinggalan dalam hal kualitas SDM negara tetangga saja sudah merupakan
upaya yang sangat berat.

Janganlah malah diperberat dengan pelajaran sampah yang justru bakal
menyesatkan. Didiklah anak-anak kita untuk mengenal dan mengikuti
aturan dan standar yang berlaku SAH dan DIAKUI secara internasional,
bukan hanya yang rekayasa lokal saja. Jangan ada lagi korban akibat
pendidikan yang salah. Kita lihat yang nyata saja, berapa banyak TKI diluar
negeri yang berarti harus mengikuti acuan yang berlaku secara internasional.

Anak-anak kita memiliki HAK untuk mendapatkan pendidikan yang benar
sebagai upaya mempersiapkan diri menyongsong masa depannya yang akan
penuh dengan tantangan berat.

ACUAN MANA YANG BENAR ?

Banyak sekali literatur, khususnya yang dipakai dalam dunia tehnik,
dan juga ensiklopedi ternama seperti Britannica, Oxford , dll. (maaf, ini
bukan promosi) menyajikan tabel-tabel konversi yang tidak perlu
diragukan lagi.

Selain pada buku literatur, tabel-tabel konversi semacam itu dapat
dijumpai dengan mudah di-dalam buku harian / diary/agenda yang
biasanya diberikan oleh toko atau produsen suatu produk sebagai sarana promosi.

Salah satu konversi untuk satuan berat yang umum dipakai SAH secara
internasional adalah sistem avoirdupois / avdp. (baca : averdupoiz).

1 ounce/ons/onza = 28,35 gram (bukan 100 g.)

1 pound = 453 gram (bukan 500 g.)

1 pound = 16 ounce (bukan 5 ons)

Bayangkan saja, bagaimana jadinya kalau seorang apoteker meracik resep
obat yang seharusnya hanya diberi 28 gram, namun diberi 100 gram.
Apakah kesalahan semacam ini bisa di kategorikan sebagai malapraktek ?
Pelajarannya memang begitu, kalau murid tidak mengerti, dihukum !!!
Jadi, kalau malapraktik, logikanya adalah tanggung jawab yang
mengajarkan. (ini hanya gambaran / ilustrasi salah satu akibat yang bisa
ditimbulkan, bukan kejadian sebenarnya, tetapi dalam bidang lain banyak sekali
terjadi)

KALAU BUKAN KITA YANG MENYELAMATKAN - LALU SIAPA ?.

Melalui tulisan ini saya ingin mengajak semua kalangan, baik kalangan
pemerintah, akademis, profesi, bisnis / pedagang, sekolah dan orang
tua dan juga yang lainnya untuk ikut serta mendukung penghapusan satuan
"ons dan pound yang keliru" dari kegiatan kita sehari-hari. Pengajaran
sistem timbang dgn. satuan Ounce dan Pound seharusnya diberikan sebagai
pengetahuan disertai kejelasan asal-usul serta rumus konversi yang
benar. Hal ini untuk membuang kebiasaan salah yang telah melekat dalam
kebiasaan kita, yang bisa mencelakakan / menyesatkan anak-anak kita,
generasi penerus bangsa ini.


Untungnya orang itu bekerja di bidang pengolahan limbah :p Coba kalau sebagai apoteker.

Oh, dan sedikit pelajaran minggu ini:

Jangan mulai menyalahkan orang lain kalau tidak mau disalahkan. Karena manusia akan mulai mempertahankan dirinya pada saat mereka disalahkan. Dan, tahu nggak apa cara yang paling cepat untuk mempertahankan diri saat disalahkan? Yap, menyalahkan orang lain. Membalikkan. Kadang, kita justru lebih baik meninggalkan orang itu dalam diam, jadi mereka bakal ngerasa bersalah dengan sendirinya.

Sabtu, 21 Februari 2009

...dan Rumput pun Berhenti Bergoyang...

"Syukurlah ada pohon ini. Akhirnya aku bisa menutup tubuhku dari pandangan setiap binatang, juga jin dan iblis," kata Adam.

Syukurlah, kami senang bisa membantu

"Oh, ternyata buah ini bisa dimakan! Kita tidak akan kelaparan!!" ujar manusia nomaden.

Ya, kami bermanfaat untukmu, kan?

"Aha!! Jadi rupanya ini yang menyebabkan perbedaan antara orang tua dengan anaknya," kata Mendel

Kami jauh lebih mudah untuk di teliti, kau tahu itu. Terima kasih telah memanfaatkan kami.

"Yah, lihat, aku bisa membuat mainan dari kayu sisa ini, lho!!" ujar Adi kepada ayahnya.

Terimakasih karena kau tidak menyia-nyiakan kami...

"Hmm...produksi karet tahun ini kurang banyak. Mungkin kita harus mencari lebih jauh lagi," kata seorang penyadap.

Jangan lupakan kami, kami akan tetap ada untukmu walaupun kami jauh...


"Pestisidanya kurang ampuh. Mungkin harus ditambah dosisnya," kata petani.

Hei, hei...

"Kapten!! Kebakaran di area C sudah semakin masuk ke dalam! Truk pemadam kita tidak akan bisa memadamkan area itu!" ujar seorang pemadam kebakaran kepada kaptennya.

Tolong cepat padamkan...Di sini panas...

"Waduh! kertasnya kurang, nih!" teriak Wahyu. "Udah, pake yang baliknya aja!" balas Nita. "Aaah!! Ngapain repot-repot segala, sih! Pake kertas baru aja, kan bisa! Nih, pake kertas gue!" kata Rani.

Hei, tidakkah kau lihat keadaan kami?


"Nah, tanah di sini sepertinya bagus, ayo kita buka lahan di sini!" ujar peladang

Jangan usir kami...kami hidup di sini seumur hidup kami...

"Panas banget nih, gue nyalain AC nya, ya!" pinta Kina.

Lebih baik jangan...tolong...

"Bu, air bekas cuciannya jangan dibuang langsung ke tanah, kasian tanamannya," kata Ani. "Biarin aja, lah! Cuma sedikit ini!" balas ibu

Setiap orang yang melakukan itu mengatakan hal yang sama, kau tahu?

"Udah berapa kali dibilang, jangan buang sampah ke dalam got! Kamu nggak tahu efeknya terhadap lingkungan sekitar kita?" ujar Pak Guru marah. "Iya, tahu kok Pak, mentang-mentang sekolah kita mau ikut Adipura, kan?" balas murid

Kau kemanakan nasib kami?

"Bahan buat presentasi besok harus difoto kopi dan dibagikan ke seluruh kelas! Jangan lupa untuk mengerjakan presentasinya di atas karton!" tegas seorang guru pada akhir jam pelajaran. "Pak, kenapa nggak dibuat power pointnya aja?" tanya murid. "Nggak boleh! Harus pakai kertas, nggak boleh yang lain!" perintah guru.

Kalau sudah ada penggantinya, kenapa harus memakai yang lama? Belajarlah!!

" Masih kurang 200 lagi! Bos baru dapet order baru dari Jakarta!!" teriak seorang penebang kepada teman-temannya.

Terus saja habisi nyawa kami

"Duh, lo punya tissue, nggak?"tanya Neta. "Nggak ada. Minta aja ke Sari. Eh, lo nggak papa tuh pake tissue terus-terusan? Ntar global warming lagi!" jawab Tyas. "Global warming! kalo lo terus-terusan mikirin global warming, lo nggak bakalan bisa hidup, tau!" balas Neta.

Hei, lihatlah kami sekarat

"Global warming itu siklus. Jadi, nggak peduli mau seberapa banyak pun lo ngedaur ulang ataupun ngehemat, tetep aja bakal terjadi! Makanya, mending nggak usah repot-repot," kata Sita sambil tertawa.

Apa kalian hanya peduli pada kami karena global warming? Apa kalian pikir kami tak punya jiwa? Apa kalian pikir kami bukan makhluk hidup yang sama dengan kalian? Mengapa kalian, manusia, begitu egois? Baik, kalau memang kalian hanya peduli pada nasib kalian, tengoklah ke jendela. Lihatlah kami mati di luar sana. Dan renungkanlah...apa yang akan terjadi jika kami tidak di sini untuk kalian.

* ditulis untuk mendukung proker pokja C. Ayo, maju! Jangan pesimis dulu sebelum di coba!

Kamis, 19 Februari 2009

Rantai

Aku menghela nafas, dan lagi-lagi, aku menunduk, membaca data dari pasien yang kutangani. Sekali lagi, aku berusaha mencari tahu apa yang membebani orang ini. Ia mempunyai istri yang baik, ramah, dan parasnya, lumayanlah, tidak terlalu cantik tetapi juga tidak jelek. Ia juga mempunyai dua orang anak, keduanya kini tengah menempuh pendidikan di SMA, dan keduanya tidak pernah membawa masalah yang berarti bagi keluarga. Pekerjaannya baik-baik saja, tentu, sebelum ia mulai mengalami gangguan dan akhirnya keluarganya membawanya padaku. Dan yang terpenting, ia juga seorang psikiater, sama sepertiku. Dia terkenal, justru sebagai psikiater andal di kota ini. Dan sekarang, ia mengalami gangguan yang menyebabkan ia terpaksa datang padaku, seorang psikiater kelas dua.

Kemarin, ia datang menemuiku. Aku membayangkan kembali saat itu, seolah-olah aku melihat lagi sosoknya yang cukup berantakan, pasti, dibandingkan dengan penampilan sehari-harinya, duduk di kursi di depanku, ah, bukan, lebih tepat kalau kukatakan setengah berbaring. Kalimat pertama yang diucapkannya adalah, “Anda seorang psikiater, kan?” Dia menanyakan itu, bahkan sebelum aku memperkenalkan diriku dan menanyakan apapun padanya. Kujawab, “Ya.”

Dia memandangku dengan cara yang tidak kusukai, seolah-olah dia sedang berusaha menilai sejauh mana kemampuanku. Akhirnya dia melanjutkan kata-katanya, “kalau begitu, bisakah anda membantu saya?”

Aku, tentu saja langsung tersinggung dengan kalimat ini. Seolah dia meremehkanku, atau setidaknya begitu yang kupikir. Maka aku menjawab dengan nada tidak suka, “kalau anda kira saya bisa membantu anda, yah, saya akan berusaha melakukan apa yang saya bisa,” kataku.

Tampaknya dia menyadari perubahan nada suaraku, karena ia menjawab, “Jangan tersinggung. Saya hanya ragu, karena…saya sendiri tidak sanggup untuk menolong gadis itu,” katanya dengan nada meminta maaf.

Heh, orang ini cukup waras, pikirku waktu itu. Namun mau tidak mau aku tertarik juga dengan perkataannya barusan. “Menolong gadis itu? Siapa gadis itu?” tanyanku penasaran.

Bukannya menjawab perkataanku, dia justru kembali menanyakan sesuatu, kali ini dengan pandangan menerawang. “Anda tahu...Ivan Illich atau Ki Hadjar Dewantara?” tanyanya.

“Ki Hadjar Dewantara? Tokoh pendidikan nasional itu, kan?” jawabku yakin.

“Ya. Kalau Ivan Illich?” tanyanya kembali. Mendadak aku jadi teringat masa-masa ketika aku bersekolah, dan guru menanyakan sesuatu padaku. Ya, perasaanku sekarang sama persis dengan waktu itu.

“Tidak tahu,” jawabku agak malu, seolah-olah aku mendapatkan nilai jelek dalam ujian karena tidak belajar sebelumnya.

Sampai di sini, aku memutus lamunanku itu. Kunyalakan komputer di kamarku, membuka sebuah search engine terkenal, dan mengetikkan nama tersebut. Ivan Illich. Ya, ini dia.

Aku mengeklik salah satu hasil pencarian itu. Dan membacanya, berusaha mengerti. ‘The book that brought Ivan Illich to public attention was Deschooling Society (1971), a critical discourse on education as practised in "modern" economies. Ah, rupanya itu yang dimaksudnya. Jadi, si Ivan Illich ini juga kritikus pendidikan?

Pikiranku kembali melayang ke siang hari yang lalu. Dia, psikiater itu, tersenyum, seolah mengingat sesuatu yang lucu.

“Apa yang lucu?” sergahku kasar, karena merasa diremehkan.

“Oh, tidak, tidak apa-apa. Hanya saja…” kata-katanya terputus di tengah jalan.

“Hanya saja?” tanyaku penasaran

“Yah, hanya saja…saya rasa begitulah ekspresi wajah saya ketika gadis itu menanyakan pertanyaan yang sama pada saya,” matanya mulai menerawang. Untuk beberapa saat aku takut kalau pasienku ini akan kehilangan kesadarannya. Tapi ternyata tidak. Ia justru melanjutkan pembicaraan kami tadi.

" Dia dibawa oleh keluarganya mendatangi saya. Keluarganya mengatakan bahwa gadis itu mengalami...didaskaleinophobia," katanya. Aku segera mengerti, didaskaleinophobia adalah semacam rasa takut untuk pergi sekolah, namun biasanya rasa takut ini terjadi pada anak-anak, bukan pada seorang gadis.

" Dia menolak untuk pergi sekolah selama dua bulan. Seluruh keluarganya khawatir padanya," Aku mangut-manggut setuju. Memang begitulah biasanya keluarga pasien.

Sejenak dia berhenti. Menghela nafas beberapa kali, dan melanjutkan, "Tapi mereka salah. Saya tahu itu," katanya, matanya terlihat sedikit berair.

Lagi-lagi aku takut kalau pikirannya akan terganggu, tapi dia meneruskan kata-katanya. " Dia menanyakan pertanyaan yang sama dengan yang saya ajukan tadi kepada anda. Ya..." dia tersenyum, "sama persis. Sama persis sampai saya bisa melihat bayangan diri saya waktu itu pada reaksi anda sekarang."

Aku mulai lelah dengan pembicaraan yang berputar-putar ini. Untunglah dia segera melanjutkan dengan membawa topik baru, "Bagaimana anda bisa menjadi seorang psikiater?" tanyanya.

Aku mulai kesal lagi. Apa sih maunya orang ini? Tapi aku tetap menjawab pertanyaannya. Aku tidak mau terlihat bodoh di depan orang ini. "Karena saya belajar. Saya belajar untuk menjadi seorang psikiater, dan saya lulus, saya mendapat lisensi untuk bisa membuka praktek di sini" tandasku. Tapi ia masih melanjutkan, " Bagaimana kalau anda tidak mendapat lisensi itu?" tanyanya.

Aku bingung. "Tentu saja saya tidak akan membuka praktek di sini" jawabku

"Aaah," desahnya, "Anda benar-benar membuka jalan bagi saya untuk meneruskan," lanjutnya dengan senyum yang tidak dapat kumengerti. "Apa anda ingin menjadi seorang psikiater?"

"Ya," jawabku berhati-hati. Dia kembali bertanya, "Kalau begitu, anda pasti harus mendapat lisensi itu, kan?" tanyanya.

"Ya. Kalau tidak, apa gunanya saya mengambil mata kuliah psikologi dulu? Lebih baik saya mengambil yang lainnya, kan?"

"Hmm...jadi, anda pasti mengambil mata kuliah kedokteran dan melanjutkan ke psikologi, kan? Bagaimana anda bisa masuk ke fakultas kedokteran?"tanyanya, kembali berputar.

"Tentu saja dengan kerja keras! Saya harus belajar untuk mendapat nilai SPMB yang tinggi untuk itu!"

"Tapi, kalau nilai UN anda jeblok, anda pasti tidak akan pernah melanjutkan cita-cita anda, ya kan?"

Aku terdiam sejenak, dan berkata, "Ya."

"Bagaimana agar nilai UN anda tidak jeblok?" tanyanya lagi.

"Ya, tentu saja saya harus belajar yang baik di sekolah. Dan tentu saja saya harus mendapatkan nilai-nilai yang juga memuaskan di sekolah, agar bisa lulus, bahkan naik ke kelas tiga SMA," jawabku sebelum dia mengajukan pertanyaan untuk itu.

"Seandainya anda tidak lulus dari SMP?"

"Tentu saja saya terpaksa harus mengulang satu tahun. Bila saya harus keluar, tentu saya tidak akan menjadi seorang psikiater. Dan kalau saya tidak lulus SD, saya mungkin hanya akan menjadi tukang bangunan, atau mengerjakan pekerjaan kasar lainnya," lagi-lagi aku menyerobot pertanyaannya.

"Ah. Dan bila anda tidak pernah sekolah?"

"Saya mungkin akan menjadi salah satu dari anak jalanan. Menggelandang, mengamen, mengemis, dan entah apalagi."

"Apa itu alasan anda sekolah?"

Aku berpikir sejenak. Aku tidak boleh salah menjawab. Itukah alasanku sekolah? Kalau tidak, untuk apa aku berusaha keras belajar? Untuk apa aku marah-marah, kecewa ketika nilai ulanganku jelek? Untuk apa aku berusaha mengelabui guruku dengan jalan mencontek? Untuk apa?

"Mungkin...ya," jawabku akhirnya

"Itu yang dinamakan stereotype, kan?" tanyanya kali ini, sedikit menyimpang dari pembicaraan kami sebelumnya. Aku terpana.

"Bukannya anda seharusnya lebih tahu daripada saya?" tanyaku dengan rasa tidak suka.

"Di ruangan ini, saat ini, saya adalah pasiennya, dan anda dokternya. Jadi, saya beranggapan bahwa anda lebih tahu dari saya," katanya. Aku mengernyitkan dahi, dan menjawab,"Oh, baiklah. Ya, itu yang dinamakan stereotype."

" Begitu. Saya mengerti," katanya, menghembuskan nafas panjang. "Begitu pula cara saya menjawab. Dan sampai sekarang, saya masih menyesali jawaban saya itu," suaranya terdengar bergetar sekarang.

"Apa alasan anda sekolah?" tanyanya lagi. Aku benar-benar jengkel sekarang. Orang ini benar-benar sudah gila, kumaki diriku sendiri dalam hati. Dan aku semakin kesal ketika mendapati aku menjawab pertanyaannya.

"Agar saya bisa menjadi orang, orang yang berguna untuk masyarakat, orang yang...yang..."

"Yang sukses?" katanya membantuku. Merasa tak berdaya, aku mengangguk.

" Rata-rata orang akan menjawab begitu. Sedikit yang akan mendapati bahwa mereka tak punya alasan untuk tetap sekolah. Dan sisanya akan menjawab, untuk mencari ilmu. Tapi, apa itu benar?" Lagi-lagi ucapanya menggantung.

" Kalau hanya untuk mencari ilmu, bisa dilakukan sendiri-sendiri. tanpa harus terikat pada peraturan sekolah. Tanpa harus terikat pada seragam. Tanpa harus terikat pada bayaran sekolah. Tanpa harus terikt pada buku yang ditentukan. Tanpa harus terikat pada guru yang ditentukan. Tanpa harus terikat pada ilmu yang ditentukan....Setidaknya, begitulah kata gadis itu," ia kembali memejamkan mata, ekspresinya seolah menahan perih. "Dan anda harus mengakui, bahwa memang ada cara seperti itu untuk menuntut ilmu," tambahnya.

"Awalnya, saya hanya mengira ia seorang pembolos. Pembolos yang mencari-cari alasan untuk bisa membolos dari kelas. Pembolos yang mencari alasan sekenanya, meskipun dari awal saya sudah takjub dengan pengetahuannya. Berapa orang murid SMA yang tahu tentang Ivan Illich? Berapa orang dari murid SMA yang tahu mengenai teori ruang kelas dengan tiga dinding Ki Hadjar Dewantara?"

Aku menyela kata-katanya, aku mulai tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. "Teori ruang kelas dengan tiga dinding? Segitiga?"

"Bukan, meskipun memang bisa dilihat seperti itu juga. Namun yang dimaksud adalah konsep untuk menyatukan ruang kelas dengan dunia luar, dan bukan sebagai tempat eksklusif bagi murid dan guru," jawabnya.

"Saya kira dia akan mulai mengajukan alasan seperti Thomas Alfa Edison yang bisa menjadi salah satu orang paling bersejarah di dunia ini, meskipun ia dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap bodoh. Tapi ternyata tidak. Dia justru mengajukan pertanyaan terus menerus tentang efisiensi dan efektivitas dalam sistem."

"Dia bertanya, berapa umur anda saat anda menjadi seorang psikiater? Kujawab, 37 tahun saat saya mulai membuka praktek sendiri," dia menarik nafas dalam-dalam, dan melanjutkan, " Kemudian dia bertanya lagi, berapa banyak kekayaan yang anda miliki saat ini? Tentu saja saya kaget, nyaris saja saya mengatakan,' itu privasi saya!' Namun ada sesuatu yang membuat saya ingin menjawabnya. Maka saya menjawab, 'ya, sekitar rumah ini, mobil saya, dan tabungan, mungkin beberapa hal-hal lain yang tidak ingin saya sebutkan.' Dia berhenti sejenak, dan melanjutkan, 'pernahkah anda berpikir, mungkin saja anda bisa memperoleh semua itu ketika anda masih berusia, katakanlah, tujuh belas tahun?'"

"Saya terdiam sejenak, dan berkata, 'mungkin saja.' Tapi dia berkata, 'bagaimana kalau saya katakan itu tidak mungkin?' Saya menjawab, 'berarti kamu orang yang pesimis.' Kali ini dia yang terdiam sejenak, namun dia lagi-lagi membalas kata kata saya,' ya, mungkin saya memang orang yang pesimis. Tapi coba anda pikir, berapa banyak perusahaan yang mau menerima karyawan yang belum menamatkan sekolahnya? berapa banyak perusahaan yang mau menerima karyawan yang tidak berpengalaman?'"

"Maka saya menjawab lagi, 'yah, kamu bisa mencari uang dengan cara mandiri, wiraswasta mungkin?' dan saya kembali dipojokkan. Ia kembali menyerang saya, 'berapa banyak sekolah yang mengizinkan murid-muridnya berusaha? bukankah mayoritas dari sekolah memfokuskan diri untuk menjaga agar siswanya meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi? Bukankah banyak sekolah yang menyita waktu siswanya dengan cara membuat mereka selama mungkin berada di sekolah? dan setelah pulang pun, mereka dijejali dengan begitu banyak PR, yang mencegah mereka untuk keluyuran dari rumah?' saya memotong kata-katanya, dan berkata, ' bukankah itu hal yang bagus? banyak remaja yang terjebak pergaulan bebas saat ini, bukan?' Ia tersenyum, seolah mengejekku, dan berkata, 'begitulah cara pikir kalian. Tapi, tidakkah kalian sadar, bahwa itu juga menghalangi kami dari melihat dunia luar. Seorang siswa seolah-olah adalah seekor kucing rumah yang dipelihara dengan baik sejak lahir, lalu tiba-tiba dilepaskan begitu saja, dan terpaksa mencari makan sendiri. Ia tidak punya pengalaman, dan kemudian, yang terjadi adalah hukum rimba, yang terkuat yang akan bertahan hidup. Yang lainnya? Mati kelaparan, matikedinginan, mati diterkam oleh binatang lain.'"

Sampai di sini ia berhenti, mungkin kehabisan nafas karena bicara begitu berapi-api. Aku menawarkan minuman, namun dengan halus ditolaknya. Setelah beberapa saat, ia melanjutkan lagi pembicaraannya.

"Gadis itu berkata, 'berapa tahun yang kita butuhkan untuk menyelasaikan sekolah? katakanlah, enam tahun pada SD, tiga tahun saat SMA, dan tiga tahun saat SMA. Kemudian ditambah sekitar 4 tahun saat perguruan tinggi. Itu kalau hanya mengambil S1. Belum kalau mengambil S2. Bisa-bisa memakan waktu 20 tahun sendiri. Kira-kira umur pada saat kita masuk SD adalah 6 tahun. Maka, umur kita pada saat lulus S1 sekitar 22 tahun. Dan baru saat itulah kita bisa mulai bekerja, mulai mencari penghasilan sendiri, dan boleh dikatakan, mulai berperang'"

"'Itupun, seandainya kita tidak salah memilih jurusan nantinya. Kalau sampai salah, bayangkan betapa sia-sianya waktu dan usaha yang kita berikan selama ini,' aku menyela lagi, 'Tapi, bukankah semua ilmu itu ada gunanya?' Ia menjawab, 'ya. tapi, dengan adanya ijazah, bisakah anda bekerja sebagai dokter kalau ijazah anda berkata bahwa anda adalah seorang arsitek? Bisakah anda menjadi seorang psikiater kalau ijazah anda mengatakan bahwa anda adalah dokter gigi?'"

Ia mulai terbatuk-batuk, tapi ia tetap meneruskan ceritanya, " Ia juga memprotes kurikulum yang ada saat ini. Katanya, 'kenapa kami harus belajar sejarah kalau hanya untuk menghafalkan nama, tempat dan tanggal kejadian? Bukankah tujuan dari pelajaran ini adalah belajar dari masa lalu agar tidak mengulangi kesalahan yang sama? Kenapa pelajaran Pkn dan sosiologi tidak digabungkan saja ke dalamnya? Jadi kami tidak hanya mempelajari tanggal-tanggalnya, namun juga latar belakang kejadian secara sosial, psikologi, dan juga politik. Juga mencari solusi jika kejadian serupa terulang? Atau, mengapa pelajaran BK tidak diganti dengan dasar-dasar psikologi? setidaknya itu akan membantu kami dalam bersikap, dalam bermasyarakat, bukannya menina bobokan kami, mencekoki kami dengan cara-cara belajar, atau dengan pilihan-pilihan perguruan tinggi. Bukankah mata pelajaran ini dinamai bimbingan konseling? Kenapa harus dibatasi dengan masalah seputar sekolah, bukannya seputar dunia, agar kami juga belajar untuk hidup di dunia luar?'"

"Kemudian, lagi-lagi saya memutus bicaranya. Saya bertanya, 'Apa kamu sedemikian membenci sekolah?' Ia menimbang-nimbang, baru menjawab, 'mungkin ya. Tetapi, saya bukannya membenci sekolah, melainkan membenci bagaimana sekolah dijalankan. Sekolah dijadikan ajang politik, ajang kekuasaan, bukannya ajang pendidikan, dimana kami diminta untuk mencari pencerahan sebagai generasi penerus bangsa ini. Justru, di sekolah kami diajari bagaimana cara bersikap dalam masyarakat sekarang, agar kami dapat membaur, bukannya membuat suatu perubahan yang nyata untuk mengangkat harkat negara ini. Bagaimana kami bisa mencari solusi, bagaimana kami bisa menajdi generasi penerus dengan cara seperti ini? Sementara kami terus-terusan ditekan untuk bersikap baik, patuh pada sistem yang ada, tanpa memiliki keinginan untuk memprotes segala sesuatunya. Bagaimana kami bisa diharapkan untuk menmbuat sebuah perubahan jika yang mengharapkan kami membuat perubahan justru takut pada perubahan itu sendiri?'"

"'Dan begitulah seterusnya, dari generasi ke generasi. Dari zaman anda dahulu, sampai ke zaman, mungkin, anak anda, sekolah tetap seperti itu. Apanya yang berubah? Semuanya tetap menilai dari hasil, bukan proses. Semuanya tetap memberi nilai. Semuanya mengkritik bahwa kami adalah generasi yang tak bisa diharapkan, bahwa kualitas dari generasi ke generasi makin menurun, tapi sadarkah anda, bahwa yang mendidik kami untuk berbuat begini adalah generasi anda! Terwujudnya kekerasan di sekolah, korupsi, dan segala macam tindak kriminal, mungkin juga berasal dari sana. Mungkin, bila sekolah diubah, juga akan mengubah paradigma bangsa ini tentang segala sesuatu...'"

"' Sayangnya...tidak ada, atau sedikit, yang dapat mengerti saya. Kebanyakan orang, bahkan orang tua saya, menganggap saya gila. Dan anda tahu? Paradigma itu juga disebabkan oleh sekolah. Stereotype yang ada, semuanya, mungkin berasal dari sana. Seandainya tak ada predikat orang yang tidak sekolah, orang yang tidak berpendidikan, predikat yang membedakan satu dari yang lainnya, stereotype yang membuat jurang diantara satu dan lainnya, yang menciptakan kesenjangan, paradigma yang membuat orang berpikir sempit. Semuanya...bagaimana saya harus mulai berubah?'"

Ia menghela nafas dalam-dalam, lalu melanjutkan ," Saat itu, anak saya yang masih duduk di SD, masuk ke ruang kerja saya. Gadis itu menatapnya dengan pendangan aneh, dan berkata, 'hati-hatilah, mungkin anak anda juga akan terjebak dalam rantai itu,' Kata-kata itu terus menghantui saya. Saya berusaha, sedikit demi sedikit, mempengaruhi orang dengan cara pikir saya. namun, seperti yang gadis itu katakan, orang-orang menganggap saya aneh. Namun saya masih belum mau menyerah, sampai saya kembali mendengar kabar dari gadis itu,"

"Beberapa hari sebelum kejadian itu, orang tua gadis itu sempat menelepon saya dan mengucapkan terima kasih karena putri mereka mau masuk sekolah kembali. Tapi, suasana damai itu hanya untuk beberapa hari. Kelihatannya gadis itu mulai mengutarakan ide-idenya lagi, yang menyebabkan ia dipanggil oleh guru-gurunya, bahkan sampai menghadap kepala sekolah segala. Dan di situlah, keputusannya untuk menunjukkan pendiriannya sudah bulat. Ia mengangkat sebuah kursi dan mengayunkan kursi tersebut ke jendela. Tentu saja, jendela-jendela itu pecah. Maka, sekolah mengirimkan surat kepada orang tua gadis itu bahwa...bahwa...putri mereka menderita gangguan jiwa,"

Kali ini punggungnya bergetar. Dan bukan hanya punggungnya, tapi juga suaranya, bahkan matanya pun menjadi liar. " Dia tidak apa apa!! Gadis itu tidak apa-apa, ia hanya memiliki idealisme, dia tidak apa-apa, dia tidak seharusnya berada di sana...dia tidak seharusnya menjalani karantina di sana...bersama orang-orang gila...kriminal...dia...." dan tangisnya pun pecah.

" Sejak saat itu, saya melarang tiga orang putra putri saya untuk pergi ke sekolah. Dan itu pula...yang menyebabkan...keluarga saya mengirim saya ke sini....."

Lamunanku kembali terputus, kali ini oleh ketukan di pintu. Dina, asistenku, melongokkan kepalanya ke dalam kantor.

"Pak, ada telepon dari keluarga Pak Marsal, pasien yang kemarin sore datang...katanya, mereka telah memutuskan untuk memasukkan beliau ke pusat rehabilitasi, jadi janji sore ini dibatalkan," katanya.

Kepalaku mendadak pusing. "Ke...Kenapa?" tanyaku terbata.

"Katanya, tadi siang Pak Marsal menghancurkan nyaris separuh ruang kelas putranya. Beliau menghancurkan jendela-jendela, bahkan kursi-kursi yang ada. Padahal, saat itu tengah berlangsung rapat orang tua murid di sekolah putranya itu. akrena itu pihak keluarga memutuskan untuk membawa Pak Marsal ke sana," jelas Dina.

Aku terhuyung, tanganku berusaha mencari pegangan untuk menopang tubuhku. Seketika aku teringat dua putriku yang masih SD.

Dina yang mungkin panik melihat keadaanku, segera mengambilkan kursi dan bertanya, "Pak, Bapak baik-baik saja? Perlu saya bawakan sesuatu?"

Dengan keadaan setengah sadar, aku menjawab lemah, "Ya...panggilkan aku...seorang psikiater..."

Rantai

Bakal ada satu postingan lagi dengan judul ini, tapi dalam bentuk cerpen. Dan nggak, temanya bukan dari ini. Beda jauuh...banget. Dari sabang sampai merauke.

Yah, aku selama ini selalu percaya dengan yang namanya timbal balik. Nggak ada sesuatu yang bisa disebut kebetulan. Yang ada hanya satu kejadian yang berkaitan dengan yang lainnya. kejadian yang memang harus terjadi, bukan karena kebetulan terjadi. Kejadian yang ada karena sesuatu yang kita pilih. Kejadian yang merupakan hasil dari sebuah pilihan

Jadi diulang, kan. Meskipun dengan kalimat yang beda.

Oke, jadi ada yang dinamakan rantai. Roda. Efek. Timbal balik. Makan dan dimakan (lho?). Tapi itu bener.

Jadi lupa mau nulis apa, kan. Oh iya.

Akhir-akhir ini aku sedang amat sangat, banget, atau apalah kata yang berfungsi untuk menguatkan kata lainnya itu - labil.

Tahu apa yang kulakukan salah, tapi nggak ada usaha untuk menghentikan itu. Tahu tindakanku kekanak-kanakan, tapi masa bodo dengan itu. Tahu aku nggak usaha, tapi nggak memperbaiki. Tahu kalau ada sesuatu yang beda, tahu apa yang salah, tapi tetep - diam. Ya, diam.

Atau cuek? Atau terlalu malas?

no 1: Efek

Semuanya berbalik ke diriku sendiri. Semuanya. Kenapa?

no 2: Rantai

Kubalikkan lagi ke yang lain. Atau kudiamkan. dua-duanya sama saja, membentuk rantai. Nggak akan putus sebelum aku yang mencoba memutuskannya. Nggak peduli. Masih senang disakiti dan menyakiti. Masih manusia.

no 3: Makan dan dimakan

Makan hati orang lain, dan dimakan hatinya oleh orang lain. Bodo amat

no 4: Roda

Harus tetep jalan, meskipun berputar-putar di tempat yang sama. Kenapa?

no 5: Timbal balik

Apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai. Masa?

Nggak adil. Kenapa kita mesti terus-terusan nyoba untuk mendengarkan, padahal belum tentu ada yang mendengarkan kita? kenapa sekalinya kita nggak mendengarkan malah dicap sombong, nggak tahu adat, dll? Kenapa harus peduli? Kenapa harus peduli kalau nggak yakin ada yang lain di muka bumi ini yang peduli? Kenapa harus menunggu kalau nggak ada yang menunggu? Kenapa, sekali saja kita ngelepasin usaha-usaha itu, semuanya menjauh? Kenapa orang lain bisa bebas melepaskan usaha itu dan tetap dekat? Kenapa?

Kenapa, mengapa, kamana? kemana rantai itu? Kemana roda itu? Kemana mangsa-mangsa itu? Kemana? Mati kelaparan? Atau juga dimakan oleh predator-predator itu?

Jadi inget, ada satu kalimat yang aku suka banget dari sebuah buku. Udah lupa judulnya, kalo nggak salah sih Billy 24 wajah atau apa... gitu. Kalimatnya kayak gini:

'Dunia tanpa rasa sakit adalah dunia tanpa perasaan, tapi dunia tanpa perasaan adalah dunia tanpa rasa sakit'

Apa perlu membuang semua perasaan untuk nggak merasa sakit? Ya. Paling nggak, aku tahu itu.

Postingan yang ditulis dengan bahasa acak-acakan.

Sedikit tambahan yang sama sekali nggak berkaitan dengan di atas, aku lagi benci banget dengerin Bella's Lullaby. Bawaannya pengen nimpukin sesuatu terus-terusan. Jadinya selalu kulewatin kalo lagi dengerin playlist instrument. Lagi seneng Kizuna dan La Sola, biar sekalian depresi.

Selasa, 17 Februari 2009

Tiga Hari (penutup)

Baik, sudah lalu
Tiga hari
Bagai sekerdipan mata
Tapi, hei, lihat!
Getaran dan kepalan itu sudah pergi
Bahkan mata yang perih pun tak ada lagi

Tak ada yang perlu dikatakan lagi.
Walau hanya 12, kami menyelesaikannya
Walau hanya tiga hari, kami memuaskannya
Walau hanya 12, kami berani mengatakan kalimat
Kerja kami terbayar

Kamis, 12 Februari 2009

Tiga Hari (pembuka)

Tiga hari
Ya, hanya tiga hari
Dua bulan
Atau nyaris dua bulan
Untuk tiga hari
Tiga hari
Yang diharapkan
Semoga, terus, untuk selamanya

Tiga hari
35 anak panah
Menuju 9 sasaran
Dengan beberapa* busur
Melihat ke satu arah
Dengan wajah terpaling
Bukan, bukan terpaling,
hanya sekilas menoleh
pada tiga hari lainnya

Tidak, tak ada lagi bayang sesal pada kami
Bahkan bila tiga hari ini masih sama dengan yang lalu
Tiga hari yang telah lalu
Tetap, hati masih tertinggal di sana
Bahkan hal-hal yang kami buat sama

Sudah, jangan tertawa atau tersenyum lagi
Kalau mata sudah terasa pedih
Baik, carilah obat mata
Biar dapat sembunyikan tangis dalam tawa
Sisir rambutmu
Simpan kepal tanganmu
Tegapkan bahumu,
jangan biarkan satu getar pun tampak

Setidaknya, sampai jadi tiga hari
Setelah itu, kita lihat lagi

Rabu, 04 Februari 2009

Selamat Jalan....

Hujan baru saja berhenti membasahi kota Jakarta ini. Bau tanah basah yang menyengat seakan meruap dari setiap sisi. Dengan berat hati kulangkahkan kakiku menuju ke tempatmu. Bukan, bukan karena aku tidak ingin lagi melihatmu…sungguh, aku sudah berkali-kali mengatakannya. Aku menyayangimu…masih, sangat menyayangimu...tapi... kau tetap saja meninggalkanku…

Sejenak langkahku terhenti ketika melewati sebuah taman. Kita biasa jalan-jalan berdua di taman ini. Makan siomay kesukaanmu, atau sekedar duduk-duduk berduaan. Oh, apa kau ingat pertama kalinya kita bertemu? Ya, di taman ini. Saat itu aku melihatmu, sendirian, basah oleh hujan. Kau berjalan sempoyongan, bahkan bisa dibilang hampir jatuh. Karena kelihatannya kau sedang sakit dan kedinginan, aku mengundangmu ke rumahku. Pada awalnya kau menolak, tentu, kau belum mengenalku. Akhirnya aku melepaskan jaketku dan mengerudungimu dengan jaket itu. Untunglah aku melakukan itu, sebab tubuhmu tak kuat lagi bertahan dalam hujan, dan kau pun roboh. Aku membopongmu pulang ke rumahku, yang untungnya tidak begitu jauh dari taman. Orang tuaku sepertinya tidak terlalu suka dengan kedatanganmu yang tiba-tiba. Tapi mereka tetap bersikap ramah padamu, Mereka tidak akan bersikap tidak sopan terhadap tamu yang datang, apalagi kau sedang sakit.

Sementara aku mengenang saat pertama kita bertemu, mataku bergerak menyusuri setiap jengkal taman. Taman itu sepi, tidak ada siapapun di sana. Hujan yang baru reda dan langit yang masih gelap menambah kesan suram. Bahkan bunga kesukaanmu pun seolah menyadari perasaanku saat ini. Bunga itu layu, meskipun hujan baru saja turun. Ah, rupanya batangnya patah. Bukan kau kan, yang mematahkannya? Ya, aku tahu. Aku percaya padamu, terus percaya, bahkan bila kau bersalah, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk melindungimu.

Aku harus memaksakan kakiku untuk tetap berjalan, karena masa lalu mulai datang dan menghantuiku. Aku tidak ingin menangis dan terlihat cengeng di depanmu. Meskipun jika kau melihatku sedih, biasanya kau pasti akan segera datang dan menghiburku dengan suaramu yang lembut. Dalam sekejap, aku sudah mampu untuk tersenyum dan tertawa lagi melihat tingkahmu yang lucu, menurutku, ya, mungkin hanya menurutku. Tapi, aku tahu, sekarang kau tak akan lagi repot-repot menenangkanku, atau sekedar mengelus tanganku, seperti yang biasa kau lakukan. Tenanglah, kau tak perlu melakukannya lagi. Aku bisa menjaga diriku sendiri.

Dua minggu yang lalu, kau sempat marah padaku. Waktu itu aku sedang sibuk belajar demi mempersiapkan ujian yang akan kuhadapi. Tiba-tiba saja kau menghampiriku. Kau tentu tahu, bahwa ujian tinggal sehari lagi, jadi aku tidak ingin diganggu oleh siapapun seharian penuh. Bahkan aku tidak mengangkat telepon maupun SMS seharian itu. Dalam situasi yang lain, tentu aku akan segera mengerti, bahwa kau sedang ingin bermanja padaku. Tapi, saat itu pikiranku sedang terfokus ke pelajaran, sehingga aku mengusirmu dengan cukup kasar. Kau pergi dengan sedih dan marah. Bahkan katanya kau tidak mau makan selama tiga hari itu. Aku mencoba untuk menemanimu. Syukurlah, akhirnya kau mau makan juga. Waktu itu aku merasa sangat bersalah, maka kucoba untuk meminta maaf padamu. Tapi, bahkan sebelum aku mengatakannya, aku tahu kau sudah memaafkanku. Sinar matamu saat kau bertatapan denganku sudah cukup untuk menyatakan itu.

Tiga hari yang lalu, kau datang lagi. Saat itu, entah kenapa, aku tidak ingin membiarkanmu pergi, bahkan untuk lima menit saja. Seolah ada sesuatu yang meremas ulu hatiku dan kepalaku. Tapi, kau tetap saja membandel. Kau berlari-lari ke jalanan, hanya untuk menggodaku, dan aku berusaha menghentikanmu, tapi terlambat. Deritan rem masih jelas terdengar di telingaku sampai saat ini. Jeritanmu juga, masih terngiang-ngiang di kepalaku, ”meeeoooooonnnggg!!!!” Aku shock, badanmu berlumuran darah dari kepala sampai kaki karena terseret di jalan. Aku mencoba membawamu menemui dokter, tapi lagi-lagi aku terlambat. Kau menghembuskan nafas terakhirmu bahkan sebelum aku sempat menyalakan motorku untuk mengantarmu.

Lihatlah, aku sudah sampai di sini, membawa sekuntum bunga putih tanda berduka cita. Gundukan tanah merah basah seolah siap menantiku, menggantikan sosokmu yang manis dan lucu. Sekali lagi, mungkin hanya menurutku. Tapi...tetap saja...Dan kali ini, aku tak bisa menghentikan air mataku yang perlahan menetes. Tetes demi tetes, langsung tercampur dengan genangan air di sekitar pusaramu.

Kau tahu, suatu hari aku bisa saja mencari penggantimu, aku bisa saja melupakan lembutnya suaramu, melupakan warna matamu, melupakan hangat tubuhmu, bahkan mungkin melupakan kedamaian yang kudapat dari sorot matamu. Tapi, ada satu hal yang kujanjikan tak akan pernah berubah. Aku akan selalu ingat, bahwa aku pernah menyayangimu. Selamanya, aku akan terus ingat itu.

Senin, 26 Januari 2009

Soundtrack of My Life...

Pengen ngerjain aja, nggak tau kenapa.

rules: buka playlist lo, shuffle the playlist dan isi lagu yang muncul sesuai dengan nomor yang dibawah, berurutan, nggak boleh enggak


1. OPENING CREDIT
Kazemachi Jet- Maaya Sakamoto (bolehlah…)


2. WAKING UP

My Will-Dream (Duh, pagi-pagi udah mikir gitu aja, sih…)


3. FIRST DAY AT SCHOOL
Haruka Kanata- Asian Kung-fu Generation (Hari pertama yang sangat semangat dan penuh perjuangan )


4. FALLING IN LOVE
Sanctuary-Utada Hikaru (bisa diterima)


5. "THE RELATIONSHIP"
Split- Suneohair (very nice song! Dan cocok sampai saat ini )


6. BREAKING UP
Going- Yoshida Jungo (Lagu yang sangat optimis untuk situasi ini)


7. PROM
One day one dream- Tackey & Tsubasa (…)

8. LIFE
D-tecnolife- UVERworld (Oke…jalani aja hidup ini, jangan patah semangat, ya
kan?)


9. MENTAL BREAKDOWN
Hikari E- The Babystars (Langsung bangkit dan introspeksi diri )


10. DRIVING

Purachina- Maaya Sakamoto (…bahaya nih kalo buat nyetir…'aku seorang pemimpi'…)


11. FLASH BACK
Karinui- Mamiko Noto (kayaknya nggak sesuram itu deh, tapi bolehlah…)


12. GETTING BACK TOGETHER

First Love- Utada Hikaru (berharap, btw, who’s my first love?)


13. MARRIED
Cacth You Catch Me- Gumi (Kyaa! Ngepas banget, ceria, dan optimis…Ko-i-shi-te-ru)


14. BIRTH OF CHILD

Ne, Nande…-Yoshizawa Rie (hiks…nggak dapet terjemahannya di mana-mana…)


15. FINAL BATTLE
Life is Like a Boat- Rie Fu (nice song…liriknya juga oke)


16. DEATH SCENE
Kaze no Uta- Minako Honda (pas banget…lagu tentang perpisahan banget)


17. FUNERAL SONG
Every Heart- BoA ( ‘Suatu hari, setiap jiwa akan menemukan tempatnya masing-masing’ hehehe)


18. END CREDIT
Nakushita Kotoba- No Regret Life (a very sad song, but it’s also very sweet…)


Banyak yang pas, ya? hehehe M(^^)M. Lagi buka folder japanese, dan beginilah jadinya.