Jumat, 10 Mei 2013

Mimpi Merah Muda



Sebelum terlalu jauh membayangkan yang tidak-tidak, saya klarifikasi dulu sebentar. Ini bukan postingan tentang cinta paling tidak bukan tentang cinta yang biasa. Bukan pula renungan tentang pria dan wanitalagi-lagi, paling tidak bukan dalam arti yang biasanya diinisiasikan dengan frasa ‘merah muda’.

Bagi saya, ‘Merah Muda’ punya arti yang lain. ‘Merah Muda’ lebih dari sekadar cinta. Frase ini melambangkan perjuangan, kegigihan, putus asa, iri hati, kekaguman, dan seribu rasa lainnya untuk saya dan mungkin, untuk orang tertentu juga. ‘Merah Muda’ adalah sebuah fase, sebuah masa di mana kamisaya terus menerus melihat ke atas dan mengagumi ‘mereka’. Wajar. Orang lain yang bukan termasuk sebagai bagian dari kami pun mengagumi ‘mereka’. Berdasarkan penglihatan dan pendengaran saya, saya pun setuju, dan ikut mengagumi ‘mereka’. Bukan berarti meraka sempurna, sama sekali bukan. Masih ada hal yang harus diperbaiki, tapi siapa peduli? Nobody’s perfect. Begitu pun ‘mereka’. Namun sayakami tetap mengagumi ‘mereka’ yang berhasil membangun sebuah kerajaan di tengah puing-puing terlantar, di antara ketidak pedulian dan egoisme. Saya akui, saya mengagumi kebijakan ‘mereka’, tindakan ‘mereka’, bahkan, mimpi-mimpi ‘mereka’.

Kemudian tiba saatnya ketika mimpi, ya, mimpi, ‘Merah Muda’ itu harus berakhir. Segala cerita selesai begitu saja di tengah kericuhan KM yang bergemuruh. Tiba-tiba saja, di dalam bis, setengah perjalanan menuju Semarang, saya menerima sms yang meminta saya untuk ikut menjalin ‘Benang Merah’. Dalam keadaan mabuk oleh euforia dan masih dibayangi oleh mimpi ‘Merah Muda’, saya menerima ajakan tersebut. Setelah itu? Dengan bodohnya saya bersikap stoic dan stagnan, dihantui oleh kerajaan ‘Merah Muda’.

Jujur, saya takut. Bayangan ‘Merah Muda’ masih terlalu kuat. Sanggupkah saya merajut ‘Benang Merah’?

“ Justru sekarang lo yang harus jadi kekuatan buat ‘dia’.”

Kekuatan? Mengutip lagu ‘Adayume’ dari Suga Shikao (iya, saya suka banget lagu ini)bagaimana mungkin anda mengharapkan saya menyalakan lampupenerangan di kamar anda sedangkan langkah kaki saya sendiri pun belum mantap? Buta, hilang arah, saya mencoba merajut ‘Benang Merah’.

“Tugas kita sebagai ‘pemintal’ bukan cuma itu.”

Sulit dipercaya bahwa yang akhirnya membuka mata saya adalah satu cup puding coklat. Ditambah jeritan meminta perhatian (sebenarnya sih bukan jeritan, tapi ini kan masih lebay dan galau mode on :p) yang benar-benar menohok saya. Di saat seharusnya saya memerhatikan mereka, kenapa jadi saya yang harus diberi perhatian agar sadar? Mendadak, saya teringat sebuah fragmen kenangan, beberapa patah kata,

“Gue nggak pengen ikut ‘organisasi’ lagi. Tapi, gue butuh keluarga.”

Astagfirullah. Kenapa saya jadi sibuk dengan diri sendiri, tenggelam dalam mimpi dan depresi sendiri saat di sekitar saya ada sekian banyak orang-orang luar biasa ini? Kenapa saya harus mengenang mimpi ‘Merah Muda’ saat di tangan saya ada seuntai ‘Benang Merah’ yang masih kusut tak berbentuk? Perlukah saya mengenang kehebatan ‘mereka’ saat di hadapan saya ada sekian banyak orang-orang besar (setidaknya, calon)? Memangnya saya harus berlarut-larut membandingkan antara mimpi dan realita, masa lalu dan saat ini, ketika Tuhan dengan suka rela lagi-lagi menempatkan saya di tengah-tengah orang-orang hebat? Mana akal sehat saya yang pada hari itu memutuskan bahwa saya akan mendirikan, bukan kerajaan, melainkan rumah, bagi keluarga ‘Benang Merah’?

Titik balik. Klimaks.


Saya tidak mengatakan bahwa saya melakukan hal yang lebih baik sejak segelas puding itu. Tapi pagi ini, saya berhadapan dengan seseorang yang sangat familiar dengan sebuah kesadaran baru. Entah bagaimana bisa saya baru menyadari bahwa wajah seseorang itu, terlihat jauh lebih dewasa dari yang terakhir saya ingat (tanpa menyebut tua lho, =___=”). Padahal saya bertemu ia nyaris setiap hari. Saat menatap lembaran-lembaran merah di tangan saya, saya tertohok dengan kenyataan lain yang baru saya sadari. Bahwa seseorang ini siap untuk melakukan berbagai macam hal untuk merajut ‘Benang Merah’ ini. Di belakang beliau, sebuah wajah pemintal ‘Benang Merah’ lainnya serius mencatat, saya yakin, untuk memberikan yang terbaik bagi ‘Benang Merah’ (well, mungkin bukan cuma buat ‘Benang Merah’. Itu memang kerjaannya dia sih, tapi sekali lagi, galau dan lebay mode on). Telinga kanan saya menangkap suara-suara tawa dan seruan bersemangat dari arah ‘rumah’.  Dari sudut mata, saya dapat melihat para perajut ‘Benang Merah’ lain yang sibuk menikmati diri dan waktu mereka di ‘rumah’. Gada kesadaran (palu nggak cukup, pakai gada aja) kembali menghantam saya.

Inilah rekan-rekan saya. ‘Mereka’ yang ‘baru’.


Dan saya, jatuh hati.

(Bogor 9 Mei 2013, melancholy time antara Baranangsiang-Kampus Dalam)