Sabtu, 14 Desember 2013

Tahun ini

Kecepatan tulisan baru muncul di blog ini minim banget ya. Padahal awalnya blog ini ditulis untuk balas dendam akibat tugas gaje, haha.

Kenapa baru sadar kalau jarang nulis? Karena kemarin rasanya baru aja nulis tentang Mimpi Merah Muda, dan sekarang... another dream goes by.

Sedih? Pasti. Puaskah? Hmm... gimana ya.... Banyak belajar? Yah, mungkin

Tahun ini saya kehilangan respek ke banyak orang

Tahun ini saya belajar untuk memendam amarah.

Tahun ini saya sangat menyukai berjalan dalam diam

Tahun ini saya belajar bahwa tidak apa untuk membenci orang dalam diam

Tapi tahun ini saya juga menemukan keluarga lain, dan belajar untuk menghormati orang-orang yang pada akhirnya, masuk ke jajaran orang-orang yang paling saya sayang di kampus ini.

Tahun depan?

Masih dipikirkan.

Meskipun saya berdoa mati-matian supaya dipertemukan dengan orang-orang hebat lainnya, meskipun tawaran untuk meneruskan ke "jenjang yang lebih tinggi" sudah datang.

Mungkin saya benci terikat lagi. Merasa tidak akan berkembang jika mengikat diri saya di tempat ini lagi.

Saya ingin rumah lain.

Mungkin harus banyak-banyak berdoa supaya cepet dilamar ya, supaya ditawarin rumah beneran (eh). Alasan ngaco yang juga terpikirkan saat pengen punya anak biar bisa punya peliharaan, haha.

btw, saya mau promosi sebuah web psychology test favorit saya: colorquiz.com.
Try it :')

Kamis, 31 Oktober 2013

Ever the Same

Okay, so this is a post in the middle of mid-term exam, and i'm about to have an exam in the next hours. Freaked out, and i think I've snapped a little nerve, haha.

Does anybody ever realized that love songs, actually, most of the love song you ever heard is like, written when you were having a first met, first time in love, or after a break up? How come no one ever write about how it is like to be in a relationship, trying to work it out together?

Soo, here is a favorite song of mine. It's a real old song, actually, and the first time i heard it and fell in love with it is about 9 or 10 years ago, when I'm still in the grade school. Tell me if I'm wrong.

The title is "Ever the Same" by Rob Thomas. I'm not really sure if you knew him all along, since I myself might never heard of him if it wasn't because of this song. Now I can just sit here and listen to many of his song consecutively.

Look it up :)

Rabu, 03 Juli 2013

Gin no Saji

Gin no Saji: simply love this manga!! I heard this thing is going to be aired as an anime, but i don't know whether it's already going or not. As someone who is going to an agricultural college, i think i can relate a bit to the story (Even though I'm not involved with the field. My major is food science after all). And I already am freaked enough to start screaming: "When does this manga come out in Indonesia as a tankoubon??"

Another great series form Hiromu Arakawa, i guess :)

Jumat, 10 Mei 2013

Mimpi Merah Muda



Sebelum terlalu jauh membayangkan yang tidak-tidak, saya klarifikasi dulu sebentar. Ini bukan postingan tentang cinta paling tidak bukan tentang cinta yang biasa. Bukan pula renungan tentang pria dan wanitalagi-lagi, paling tidak bukan dalam arti yang biasanya diinisiasikan dengan frasa ‘merah muda’.

Bagi saya, ‘Merah Muda’ punya arti yang lain. ‘Merah Muda’ lebih dari sekadar cinta. Frase ini melambangkan perjuangan, kegigihan, putus asa, iri hati, kekaguman, dan seribu rasa lainnya untuk saya dan mungkin, untuk orang tertentu juga. ‘Merah Muda’ adalah sebuah fase, sebuah masa di mana kamisaya terus menerus melihat ke atas dan mengagumi ‘mereka’. Wajar. Orang lain yang bukan termasuk sebagai bagian dari kami pun mengagumi ‘mereka’. Berdasarkan penglihatan dan pendengaran saya, saya pun setuju, dan ikut mengagumi ‘mereka’. Bukan berarti meraka sempurna, sama sekali bukan. Masih ada hal yang harus diperbaiki, tapi siapa peduli? Nobody’s perfect. Begitu pun ‘mereka’. Namun sayakami tetap mengagumi ‘mereka’ yang berhasil membangun sebuah kerajaan di tengah puing-puing terlantar, di antara ketidak pedulian dan egoisme. Saya akui, saya mengagumi kebijakan ‘mereka’, tindakan ‘mereka’, bahkan, mimpi-mimpi ‘mereka’.

Kemudian tiba saatnya ketika mimpi, ya, mimpi, ‘Merah Muda’ itu harus berakhir. Segala cerita selesai begitu saja di tengah kericuhan KM yang bergemuruh. Tiba-tiba saja, di dalam bis, setengah perjalanan menuju Semarang, saya menerima sms yang meminta saya untuk ikut menjalin ‘Benang Merah’. Dalam keadaan mabuk oleh euforia dan masih dibayangi oleh mimpi ‘Merah Muda’, saya menerima ajakan tersebut. Setelah itu? Dengan bodohnya saya bersikap stoic dan stagnan, dihantui oleh kerajaan ‘Merah Muda’.

Jujur, saya takut. Bayangan ‘Merah Muda’ masih terlalu kuat. Sanggupkah saya merajut ‘Benang Merah’?

“ Justru sekarang lo yang harus jadi kekuatan buat ‘dia’.”

Kekuatan? Mengutip lagu ‘Adayume’ dari Suga Shikao (iya, saya suka banget lagu ini)bagaimana mungkin anda mengharapkan saya menyalakan lampupenerangan di kamar anda sedangkan langkah kaki saya sendiri pun belum mantap? Buta, hilang arah, saya mencoba merajut ‘Benang Merah’.

“Tugas kita sebagai ‘pemintal’ bukan cuma itu.”

Sulit dipercaya bahwa yang akhirnya membuka mata saya adalah satu cup puding coklat. Ditambah jeritan meminta perhatian (sebenarnya sih bukan jeritan, tapi ini kan masih lebay dan galau mode on :p) yang benar-benar menohok saya. Di saat seharusnya saya memerhatikan mereka, kenapa jadi saya yang harus diberi perhatian agar sadar? Mendadak, saya teringat sebuah fragmen kenangan, beberapa patah kata,

“Gue nggak pengen ikut ‘organisasi’ lagi. Tapi, gue butuh keluarga.”

Astagfirullah. Kenapa saya jadi sibuk dengan diri sendiri, tenggelam dalam mimpi dan depresi sendiri saat di sekitar saya ada sekian banyak orang-orang luar biasa ini? Kenapa saya harus mengenang mimpi ‘Merah Muda’ saat di tangan saya ada seuntai ‘Benang Merah’ yang masih kusut tak berbentuk? Perlukah saya mengenang kehebatan ‘mereka’ saat di hadapan saya ada sekian banyak orang-orang besar (setidaknya, calon)? Memangnya saya harus berlarut-larut membandingkan antara mimpi dan realita, masa lalu dan saat ini, ketika Tuhan dengan suka rela lagi-lagi menempatkan saya di tengah-tengah orang-orang hebat? Mana akal sehat saya yang pada hari itu memutuskan bahwa saya akan mendirikan, bukan kerajaan, melainkan rumah, bagi keluarga ‘Benang Merah’?

Titik balik. Klimaks.


Saya tidak mengatakan bahwa saya melakukan hal yang lebih baik sejak segelas puding itu. Tapi pagi ini, saya berhadapan dengan seseorang yang sangat familiar dengan sebuah kesadaran baru. Entah bagaimana bisa saya baru menyadari bahwa wajah seseorang itu, terlihat jauh lebih dewasa dari yang terakhir saya ingat (tanpa menyebut tua lho, =___=”). Padahal saya bertemu ia nyaris setiap hari. Saat menatap lembaran-lembaran merah di tangan saya, saya tertohok dengan kenyataan lain yang baru saya sadari. Bahwa seseorang ini siap untuk melakukan berbagai macam hal untuk merajut ‘Benang Merah’ ini. Di belakang beliau, sebuah wajah pemintal ‘Benang Merah’ lainnya serius mencatat, saya yakin, untuk memberikan yang terbaik bagi ‘Benang Merah’ (well, mungkin bukan cuma buat ‘Benang Merah’. Itu memang kerjaannya dia sih, tapi sekali lagi, galau dan lebay mode on). Telinga kanan saya menangkap suara-suara tawa dan seruan bersemangat dari arah ‘rumah’.  Dari sudut mata, saya dapat melihat para perajut ‘Benang Merah’ lain yang sibuk menikmati diri dan waktu mereka di ‘rumah’. Gada kesadaran (palu nggak cukup, pakai gada aja) kembali menghantam saya.

Inilah rekan-rekan saya. ‘Mereka’ yang ‘baru’.


Dan saya, jatuh hati.

(Bogor 9 Mei 2013, melancholy time antara Baranangsiang-Kampus Dalam)

Minggu, 27 Januari 2013

The Tale of The Dark Unicorn (my version)

Enough blabbing about time. It was of no use after all.
Off to the topic :)
This was supposed to be an answer to a challenge from a friend of mine, Putri Khairunnisa. Here is the challenge. And here is my answer; but i was too (damn!) late to collect it, so here you go:

The Tale of The Dark Unicorn (lanjutan versi saya *muhahahahaha)



Who says that a fairy tale always had a happy ending? Well this is exactly what happened to the two brothers; as soon as the unicorn saw the brothers, it started to step heavily into the ground with its hooves, and it heads toward the younger brother. The older brother managed to grab his sibling by his collar and pull him aside, but the unicorn was too quick in changing direction and now he, the older brother, is being the one targeted by the unicorn. There is no helping him then. The unicorn simply stabbed him to death with its sharp horn. 

The younger brother can’t do anything for a while. In fact, his whole body feels numb and didn’t feels like it belongs to him when he just stay there, staring at his brothers body which being gobbled by the unicorn. He stand there, trying not to believe in all of his senses when he watched the unicorn tear the older brother limbs apart and started to chew on it before it moves to the stomach where it gruesomely gouged by the unicorn horns. For a moment the unicorn stand there and glowering at the younger brother while it masticated the gut of his older brother. Then the unicorn seemed to grow tired of the older brother and started hovering for the younger brother.

The younger brother yelps and jumps straight away, but this act has no use. In a second the unicorn was able to tackle the younger brother down, and screeching it piercing teeth down the younger brother legs. The younger brother screamed at the top of his lung when his skin and flesh ripened away, showing his white bone. The next thing he knew, he was no longer able to even saying a word since the unicorn has shifted its position so the younger brother now trampled below the unicorn hooves. The unicorn continued to trodden the younger brother and he began to feel out of breath- to the point that he can no longer feel any pain at all. This is somehow relish him, and he began to wonder when will the angel of death come and get him, and soon his soul was leaving his body forever.
~*~

Years after the villagers left their houses, a young man came to the village. The poor adolescent had been warned about the darkness of the forest, along with its ominous creatures. Of course, the most ferocious one, the black unicorn as well. Yes, the unicorn is now living in the forest, since it succeeded in escaping the hell. Not even the devilish monsters in hell could forbid the unicorn from its way to liberty.  But after all, this brave juvenile didn’t have many options either. He has to go through the forest in order to get a rare herb, a main thing needed for his sister medicine, for his sister is  now awfully sick and may even dead for any moment.

Ever since the young man arrived at the deserted village, he began to have strange dreams. He kept seeing a giant door, and since it seems that he have to come across that door, he knocked on the door over and over, kept pestering it with all his might, trying to barge in whenever he can. But it was no use, and the door keep bulking in, stood there with all its mightiness. And even after all that useless labor, he would start it all over again until suddenly an immense power pulled and pushed him away from the door. Then he would fall through some thick mist when out of nowhere, two icy cold hands appear and abruptly hold his hands. His dreams always ended here, and he usually wakes up with a jerk and shivers, a cold run down through his spine. He feels as if someone, somewhere, was watching him all the time, but he can’t even trace that person whereabouts. He remembered the ghastly story being told after him, and horror came into his mind. He embarks on disguising himself in every camouflage possible, and he never again rest undefended. The shadow of monsters and the black unicorn haunted him everywhere.

That way, the young man continued his journey and begins to explore the forest. He endured his fear and persisted in his objective, to find the rare herb. After such tiring expedition, he finally found the herb. It shrub were full of large, hairy leaves with it small stem which seems vulnerable if not for its tremendous thorns. He started to pick on it, and from it stems a white, milky liquid trickled down and mixed with morning dew. It was such a pleasant morning until an enormous black shadow appears out of the blue behind him. 

He turns around in alarm, and terror overcomes him when he catches a glimpse of a black unicorn at his rear. Screaming at the top of his voice, he dash into massive bushes, hoping that it would cover him from the black unicorn. A gleaming sphere swiftly soars in his direction, startles him and caused him to trip over a plants root and fell. He rolls and bumps into the ground, and suddenly he stop. He realized that he was in some kind of underground cave covered by roots and bushes, and through some hard effort, he peeked outside.

 Two gleaming spheres were floating around the unicorn; halt it to chase the young man. The unicorn snarl in frustration at those two spheres, and finally turns it back in condemned retreat. The spheres slowly dissolve into thin air. The young man breathes a sigh of relief, but he is still panting heavily and his heart pulsating wildly. Suddenly the cave brightens, and the adolescent twitch in anxiety. He spins and finds the two gleaming spheres behind him, and he watched wearily when those two spheres gradually swift their shapes.

“No need to afraid, my dear man,” without warning, a voice resonating dimly within the cave. The voice originated from one of the spheres, but it no longer has it shape. Instead, a figure of man stands facing the adolescent. “We don’t mean any harm to you.”

Another figure derived from the other sphere began to speak as well. “We were the two brothers who created those beasts and the black unicorn. We were killed by the black unicorn and our souls supposedly transcend to heaven, but the door to heaven forbids us to get in. Then we realized that we still have to take our responsibility for at least, creating the black unicorn. It seems that the other beasts were quite harmless if we compare it to the unicorn.” It stiffs for a while and continues, “We need you to help us defeating the black unicorn. Please, my brave man, would you lend us a hand?”
The young man staring devastated at the two figures. “But you just prevent it from assault me! Surely you can put it down by yourselves without my help!”

A figure shakes his head weakly. “We can’t. While it is true that we now had more power to stop it, all we can do is simply push it away for a moment. We can’t confront it, thus we can’t kill it.”
“Seems like we can’t touch it,” the other figure says in addition to his brother explanation. “Not by ourselves, at least. But you,” it stops and deepen its voice, “You can touch it. If there is any chance for you to get near it, you can even kill it.”

“Why does it have to be me?” the young man whimper in distress.

“To tell the truth, it doesn’t have to be you. But if we prolonged the execution, there is a chance that it may get stronger and we can no longer inhibit him to leave this forest. Imagine that beasts come striding down your street. There would be a lot of ruckus; it will frighten all of your people. It will send terror down your hills and make you unable to sleep even in the most peaceful night.  There would be a lot of people beaten to death by the unicorn. Would you want that to happen?”

The young man takes his time to picture all that said by the brothers. Then slowly, he lit his face up. Without any further preach, the two brothers know that this juvenile, though still trembling with fear, is determined to banish the most horrendous creature they ever created, the unicorn. One of the brothers starts to give the young man some advice and instruction, “To kill the unicorn, you must stab it straight in its heart, or core, for it has no heart,” he adds bitterly. “The right spot is just between its front legs, right below his neck. You have to aim at it with something sharp do you have anything like that?” Turns out the young man have an arm-length knife with him, so the figure continues its speech, “After you stabbed its core, you have to quickly run away and defend yourself since the darkness from its core will pour out tremendously. If you don’t be careful, it may possess you.” He lower his voice, “Do you understand what I’m saying?” the young man nod, and the figure seems pleased. “We will guard you all the time. Don’t worry, we will try to catch its attention and prevent it from hurt you.”

The young man gritted his teeth and nodded to show that he understands and ready. Suddenly they freeze to hear a brisk sound nearby. And close enough, they see the unicorn stand outside the thorny bushes. It snorts, ready to attack anyone in sight. The young man climb up from the cave, and cautiously he approaches the unicorn, trying to keep himself out of its sight. The next thing he knew, he already jump from the bushes toward the unicorn, trying to avoid its flexing hooves. The unicorn jolt in alarm and the two spheres take this chance to appear right in front of the unicorn, startle it. The unicorn duck at the two spheres, loses its balance and fell to the ground, bringing the young man, who is still between it front legs down with it. The young man barge and shove his knife through the middle of the unicorn front, right between its front legs and below its neck. The unicorn struggles with all its might, but it no longer have the power to run or release itself from the knife. The young man, writhe from pain and trying to escape from the weight of an unicorn, pull his knife out and stab it again, hoping that its wriggle will release him free from its legs. 

But soon after the young man pulls his knife out, a dark vapor accumulates from the unicorns wound. It mists over the young man, and before he knew it, he was already engulfed in a heap of black mist. He tried to get out, but the fog choked him, restrained him even after he was freed from the unicorn hooves. Tear began to come on his eyes as he realized that the dark vapor start to seep into his body. He closes his eyes in anticipation, fearing what may come next.

An illuminating light unexpectedly appear inside of his eyelids. He was astonished and slowly opened his eyes again. Just from the corner of his eyes, he sees the two spheres sluggishly absorb the darkness engulfing him. 

“Dear son,” one of the spheres says, “Please make sure to run this time. After some time we will explode, carrying each tiny pieces of this darkness in our severed body.” 

 The young man watched in horror while those two spheres continued to engross the darkness and bulking up. “Then, what will happen to you?”

Sadly, the spheres answer, “It is our destined fate to hold the responsibility of preventing these darkness to  unite again. Do make sure of this thing young boy, passed this story along with your successors. It would be good if they have no trace of this darkness in their body, but even if they catch it, it better be in a really small amount. Never let the darkness grow inside of you or you’ll swallowed by it.” The sphere stops, and as it seems that it will really go explode, the spheres shouted, “Run, brave man! Ensure you didn’t have any trace of darkness inside your body!” 

With that words, the young man turn around and run with all his might. From the corner of his eyes, he can see the spheres explode with a loud bang, but instead of releasing the darkness into a heap of mist again, the darkness sprays, just like an aerosol. The young man covers himself by hiding behind a giant tree, and he watches the darkness in really tiny spheres, almost resembles a dot, being thrown out of the forest. Then it’s quiet for a while, and abruptly, like someone has waked them up, the forest crowd began to chatter in each language, overwhelming the silence.
~*~
And thus, is the story about how the darkness was able to bring itself in our heart. And like the brothers said, it is fine to have a little trace of darkness, but never, ever let it consumed your utter self.

THE END

Well, it's not much, but hopefully you'll be able to enjoy it. And a little prayer on the fantasy side: dear God, please give me strength to finish my TLT :'( it's been three years now and i haven't even been able to move from the third chapter. 

See you soon, I hope :)


Dongeng Hitam Putih

“Bosan,” Keluhan itu terluncur begitu saja dari mulut Panca.
Aku menahan radang. Di luar hujan belum lagi berhenti, masih menyisakan bunyi cerecah air membelah tanah, dan guntur serta kilat yang bersahut-sahutan. Kepalaku basah kuyup, sisa kehujanan barusan. Belum lagi bajuku. Basah, lepek, lemas, kusut, lengket, itulah keadaannya saat ini. Dan juga keadaanku, mungkin. Syukur tak ada cermin tempat aku dapat melihat diriku sendiri.

“Panca mau didongengi apa?” tanyaku mencoba bersabar. Baru saja aku sampai di rumah, putraku ini sudah rewel. Memang jadi kebiasaannya untuk minta didongengi sebelum tidur. Dalam keadaan biasa, tentu aku tak keberatan. Masalahnya, pekerjaanku baru saja selesai, tidak, belum selesai malah, dan aku pun baru saja sampai di rumah setelah mati-matian menembus hujan. Ragaku penat, otakku pepat.

Kuulurkan tanganku ke rak buku yang terletak di samping tempat tidur. Berbagai buku dongeng terpampang di situ. “Mau dongeng apa?” ulangku. “Sangkuriang? Pahit Lidah?” Panca masih menggeleng mendengar tawaranku. Aku putus asa. “Robin Hood? Peter Pan?” tawarku lagi. Ayolah, mengangguklah, desisku dalam hati. Cepatlah, aku sudah tak sabar ingin mandi. Cepat pilih, agar cepat pula aku mendongengimu. Cepat pilih, agar cepat pula kau tertidur. Cepat pilih, maka semakin cepat pula aku mandi. Suamiku pasti sudah di kamar tidur saat ini. Ia memang tak pernah mau mendongengi Panca. Tak punya jiwa, katanya. Lantas bagaimana ia bisa hidup jika tak ada jiwa?

“Bosan,” kata yang sama lagi. “Mama sudah pernah cerita itu sebelumnya,” Alasan itu meluncur dari bibirnya yang mungil. Ah, buah hatiku yang tampan! Tak sia-sia aku menamaimu Panca. Bukan, bukan sebab ia putraku yang kelima maka ia kunamai demikian. Ia anak sulung. Dan karena ia anak sulung, pikiranku dipenuhi kemungkinan-kemungkinan mengerikan yang dapat meruntuhkan hati seorang ibu ketika ia mengandung. Bagaimana jika ia lahir kelak? Sempurnakah ia? Tak ada yang kurang dengan tangannyakah? Kakinya? Jari-jarinya? Telinganya? Bisakah ia mendengar? Bagaimana bibirnya? Sumbingkah? Dan oh, bagaimana dengan matanya? Bisakah ia melihatku kelak, menatapku penuh cinta? Kepalanya? Hidrosefaluskah ia? Sempurnakah tulang tengkoraknya? Kempeskah kepalanya? Pertanyaan-pertanyaan macam itu terus berkecamuk dalam hatiku ketika kandunganku mencapai tujuh bulan.

Oleh sebab itulah ia kunamai Panca. Sebab aku berharap kelak panca indranya dapat berfungsi sempurna, seperti halnya milikku. Seperti halnya milik suamiku.  Panggil aku munafik, panggil aku kufur, atau apa saja. Bukankah layak kalau seorang ibu mengharap putranya tumbuh sempurna? Kini kuamati wajahnya. Ya, ia memang sempurna. Rambut hitam ikal yang tersangga dengan rapi di atas kepala yang sempurna, bola mata hitam berkilau yang berpijar di balik tirai bulu mata yang lentik, alis yang tebal dan nyaris bertaut, hidung yang bangir, bibir yang mungil, sepasang telinga yang bercupang sedang, apalagi yang kurang? Pandanganku meluruh ke arah kakinya. Kedua kakinya yang sempurna tersembunyi di balik selimut. Di balik bantal yang ia letakkan di pangkuannya. Kedua tangannya. Jari-jarinya. Lengkap semuanya.

“Mama cerita yang lain saja,” pinta Panca, membuyarkan lamunanku.

“Apa? Cerita tentang nabi-nabi?” ujarku mencari alternatif.

Panca menggeleng. “Sudah bosan juga. Mama bikin cerita baru saja,” katanya. Ini anak! Dikiranya dengan mudah saja orang menciptakan cerita-cerita yang dikenang sepanjang masa. Aku memutar otakku, berusaha mencari alasan. Tak bisa. Otakku terlanjur kaku, ide tak satu pun bersemu. Ingin marah aku jadinya.

Tapi demi melihat sepasang mata berpijar itu, hatiku luluh. Ah, mata itu! Tak punya pretensi apa-apa, tak punya galau apa-apa. Tak ada jejak gamang sedikitpun kutemukan dalam matanya. Mata yang amat berbeda dari kebanyakan mata yang kutemui belakangan ini. Mata yang tak mengenal warna warni kehidupan. Mendadak aku menggigil. Baikkah itu? Baikkah untuk hanya melihat hitam putih dari segala hal? Bagaimana hidupnya kelak, jika ia mempercayai dunia ini hanya sebagai tempat yang baik-baik saja?

Maka kuputuskan untuk mendongeng. Biarlah kataku terbata, biarlah anganku tak capai, selama aku bisa menanamkan ide baru di kepala Panca.

“Pada zaman dahulu kala,” kataku memulai. “Terdapatlah dua buah kerajaan yang letaknya saling berdampingan. Kerajaan pertama, yang ada di sebelah kanan, adalah kerajaan yang dihuni oleh orang-orang baik. Penduduknya ramah, jujur, setia, rajin, pokoknya segala macam sifat baik bisa ditemukan pada diri mereka,” Aku menarik nafas,”Sementara, kerajaan yang di sebelah kiri diduduki oleh orang-orang yang buruk sifatnya. Mereka malas, tamak, pembohong, dan sebagainya.” Entah mengapa aku menggunakan perbandingan kiri dan kanan dalam ceritaku. Mungkin karena pikiran umum yang menyatakan bahwa kanan lebih baik daripada kiri. Mengapa? Apa karena kita terbiasa membersihkan kotoran dengan tangan kiri? Bukankah seharusnya kita berterima kasih kepada kiri karena telah menyediakan dirirnya dipakai untuk hal-hal sedemikian? Ah, sudahlah. Lama-lama jalan pikirku jadi mirip Panca.

“Di antara kedua negeri tersebut terdapatlah sebuah tembok tinggi besar. Tidak ada yang tahu kapan tembok itu didirikan. Tidak ada yang peduli. Tembok itu sudah ada di sana jauh sebelum mereka ada. Tembok itu sudah jadi bagian dari hidup mereka, sehingga tidak ada yang mempertanyakan kehadiran tembok itu. Dan yang terpenting, tembok itu menghalangi pandangan mereka satu sama lain. Negeri di kanan tak pernah tahu ada bangsa lain di sebelah kirinya, dan demikian sebaliknya.”

“Bagaimana dengan suara? Dan bau?” Tanya Panca.

“Suara hanya terdengar dari kerajaan kiri. Suara teriakan, jeritan, dan isak tangis menjadi sesuatu yang wajar di sana. Penduduk kanan tak menyukai suara itu, maka mereka pun perlahan-lahan hidup menjauhi tembok, menganggap tembok tersebut tiada. Selain suara, bau tak sedap juga menguar dari kerajaan kiri. Bau darah, keringat, pesing, saluran air kotor, sampah, dan sebagainya bercampur jadi satu. Sementara bau yang berasal dari kerajaan kanan adalah bau rerumputan yang segar, bau tanah basah, bau bebungaan, dan bau detrichor,” jawabku

“Apa itu bau detrichor?”

“Bau kulit kayu setelah terkena hujan,” tanggapku pendek.

“Oh. Aku juga suka bau itu,” komentar Panca.

Kuteruskan ceritaku, “Lama  kelamaan, penduduk kiri penasaran dengan aroma segar dari kanan yang mereka hirup setiap harinya. Mereka ingin tahu. Dan terlebih lagi, mereka menginginkan aroma itu menjadi milik mereka. Maka mereka pun memutuskan untuk bekerja sama meruntuhkan tembok itu.”
“Begitu tembok runtuh, yang menanti adalah pemandangan yang sama sekali baru bagi mereka. Langit biru jernih, udara segar, rerumputan yang hijau, bebungaan yang mekar, bahkan sampai serangga yang terbng pun, semuanya indah bagi mereka. Sifat tamak penduduk kiri pun kambuh. Mereka ingin memiliki, menguasai, menduduki tanah negeri kanan,” Suara guntur di kejauhan mengagetkan Panca. Aku tersenyum sedikit. Suara itu menambah ketegangan dari ceritaku.
“Singkat cerita, mereka menyerang penduduk negeri kanan. Orang-orang kanan yang tak pernah mengenal kata perang sebelumnya, tak pernah melihat dan memegang senjata sebelumnya, harus pasrah melihat penduduk kiri menyerbu tanah-tanah mereka. Penduduk kanan diinjak-injak. Mereka berlarian kemana-mana. Yang tertinggal akan mati oleh serangan penduduk kiri. Suasana kacau.”

“Mereka dibunuh?” mata Panca membulat ngeri. Aku mengangguk mengiyakan.

“Untungnya, keadaan ini dengan cepat segera sampai ke telinga raja negeri kanan,” Aku melihat sinar harapan memenuhi mata Panca. “Sang raja murka. Segera ia memerintahkan para prajurit, para tentara untuk turun ke jalan-jalan, untuk membantu rakyat kanan meloloskan diri dari serangan penduduk kiri, dan juga untuk mengusir penduduk kiri dari tanah kanan,” Panca bersorak.

“Perintah raja dengan cepat dilaksanakan. Prajurit-prajurit yang rajin berlatih itu dengan cepat berhasil mengamankan keadaan. Raja pun tenang. Namun dalam hantinya terbersit rasa penasaran, ingin melihat dengan mata kepala sendiri keadaan rakyatnya,”Aku berhenti, menelusuri jejak kagum pada raut Panca. “Raja pun menyamar jadi rakyat jelata. Ia berkeliling di jalan-jalan sebuah desa kecil di dekat istana. Benar, keadaan telah berubah. Sisa-sisa kekejaman penduduk kiri masih ada. Masih terdapat percikan darah di sana-sini. Masih ada bau gosong menyeruak di antara harumnya bunga. Tapi setidaknya sudah tak ada lagi penduduk kiri yang menyiksa rakyat kanan.”

“Raja puas pada hasil pekerjaan para prajuritnya.  Ia memutuskan untuk segera kembali ke istananya. Namun sebelum ia berbalik arah, telinganya mendengar sesuatu yang tak beres,” Aku mengulur waktu, memperpanjang ketegangan. “Ada suara tangisan seorang anak laki-laki. Sang raja mengira itu suara tangis anak yang kehilangan orang tuanya. Maka ia pun mencari asal suara itu. Ia ingin menghibur anak tersebut.”

“Raja menemukan anak itu tersembunyi di antara puing-puing rumah. Tubuhnya mengkerut, badannya menggigil ketakutan. Raja menyapanya dengan ramah. Ia mencoba mengibur anak itu, mengatakan bahwa sekarang tak ada lagi rakyat kiri yang akan mengganggunya. Orang tua anak itu mungkin telah pergi, tetapi ia kini tak perlu takut lagi, sebab raja akan menanggung seluruh hidupnya. Namun anak itu menggeleng. Bukan itu yang membuatku takut, kata anak itu.”

“Lalu apa?” Sela Panca tak sabar. Aku membelai rambutnya, menyabarkan putraku.

“Raja juga bertanya begitu. Dengan takut-takut anak itu mengulurkan tangannya, lalu menunjuk sesuatu di kejauhan. Raja menyipitkan matanya, berusaha mencari tahu apa itu. Tak lama, disadarinya apa yang tengah dilihatnya.”

“Sekelompok prajurit kanan, bersama beberapa rakyat kanan, tengah bahu membahu menangkapi penyerang dari negeri kiri. Tetapi mereka bukan hanya menangkapi. Mereka menyikasa mereka. Mereka sudah terlalu banyak kehilangan, harta benda, nyawa orang-orang yang disayangi, bahkan anggota tubuh mereka sendiri. Mereka dendam. Dan mereka ingin membalaskan dendam itu. Maka, mereka menyiksa penduduk kiri yang berhasil mereka tangkap.”

Panca terbelalak. “Bukankah orang-orang kanan adalah orang-orang yang baik?”

“Ya,” jawabku. “Tapi mereka sakit hati karena perbuatan penduduk kiri. Dan orang yang sakit hati terkadang mungkin melakukan apa saja.”

“Pucat wajah raja melihat pemandangan yang ada di depannya. Segera ia kembali ke istana, mengajak anak itu bersamanya, dan memerintahkan para algojo untuk menangkapi dan menghukum orang-orang yang menyiksa penduduk kiri.”

“Para algojo melaksanakan perintah raja. Demikian banyaknya penduduk negeri kanan yang menaruh dendam tehadap rakyat kiri, sehingga para algojo harus bekerja siang malam untuk menangkap mereka semua. Setiap mereka menangkap satu orang, tampaknya ada orang lain yang menganiaya dan harus ditangkap. Akhirnya para algojo itu pun lelah dan mulai memberi hukuman mati pada setiap rakyat kanan yang menganiaya. Supaya cepat habis, begitu pikir mereka. Supaya kejahatan yang telah timbul pada orang-orang itu tidak menular pada penduduk kanan lainnya. Dan memang, saking banyaknya penduduk kanan yang menyiksa rakyat kiri, hukuman mati ini dilaksanakan tiap hari. Nyaris seperti pembunuhan massal .”

“Kejahatan itu,..bisa menular?” Tanya Panca

Aku mengangguk meyakinkan Panca. “Kabar tentang apa yang dilakukan para algojo ini pun sampai ke telinga raja. Raja menilai perbuatan itu tidak berperikemanusiaan. Dan lagi-lagi, raja murka. Para algojo disuruhnya menghadap, dan diturunkan titah hukuman mati bagi para algojo tersebut. Para algojo langsung pucat mukanya. Salah satu di antara mereka berusaha bediri, menjelaskan keadaan di kerajaan kepada raja, tetapi raja tidak mau mendengar.”

“Saat itu, si anak kecil yang telah diangkat raja sebagai anak angkatnya, memandang raja dan mulai menangis. Raja terkejut. Ia bertanya, ada apa? Sudahlah, jangan menangis. Sebentar lagi negeri ini akan kembali menjadi negeri indah yang damai seperti kau kenal sebelumnya.”

“Tetapi, anak itu terus menangis. Raja kebingungan, ia terus-menerus bertanya ada apa. Akhirnya, di hadapan seluruh algojo yang pias karena hukuman mati yang dialamatkan kepada mereka, anak kecil itu membuka mulutnya.”

“Kau tidak adil, katanya kepada raja. Orang-orang ini hnya berusaha menuruti perintahmu. Kenapa kau malah seenaknya menjatuhkan hukuman mati kepada mereka, dan bukannya mendengarkan mereka?”

“Demi mendengar itu, sang raja memucat juga. Ini pertama kalinya ia disebut tidak adil. Salah satu dari algojo pun berdiri, dan membenarkan ucapan si anak. Benar, katanya. Kami hanya melaksanakan perintahmu. Hanya melaksanakan keinginanmu supaya kerajaan ini kembali menjadi kerajaan yang damai dan sentosa. Si algojo menuding raja. Tapi kau malah seenaknya menghukum kami tanpa perhitungan apa-apa lagi. Kau raja yang bebal! Tidak adil! Tidak bijaksana! Kau tidak pantas menjadi raja kami! Si algojo diam sebentar, berpikir. Lagipula, semua ini sebenarnya terjadi karena kesalahanmu, katanya kemudian. Seandainya saja sejak awal kau mendidik prajuritmu agar berlembut hati, tentu semua ini tidakakan terjadi. Bukan! seandainya kau mendidik rakyatmu agar dapat membela diri, seharusnya semua ini tidak akan terjadi. Bukan! Seandainya kau dapat mempertahankan negeri ini, tentu semua ini tidak akan terjadi. Kau gagal sebagai raja!”

“Algojo lainnya bangkit, melihat kesempatan untuk mempertahankan hidup. Benar! Serunya. Kau gagal sebagai raja! Dan karena kegagalanmu itu, kau membuat sekian banyak orang kehilangan nyawanya. Bahkan kau kemudian melimpahkan kesalahanmu itu kepada orang lain. Kau menyuruh mereka bertanggung jawab atas kesalahanmu. Kau menghukum mereka atas kesalahanmu. Ribuan orang sudah mati. Sekarang kau yang harus mati, bukan kami!”

“Suara gumaman terdengar di mana-mana. Para algojo sekarang sudah semuanya berdiri mempertahankan hidup mereka dan menyalahkan raja. Mereka berunding antar mereka. Dan akhirnya sampai pada satu kesimpulan: raja harus mati. Gemetar raja mendengarnya. Ia diseret oleh para algojo ke bawah pisau jagal.”

“Raja hanya diam dii sana, ketakutan. Gumaman yang sama terrus keluar dari mulutnya. Aku hanya ingin kerajaanku aman, damai dan sentosa. Aku hanya ingin rakyatku aman, damai dan sentosa. Aku hanya ingin…gumaman raja terus berlanjut sampai pisau itu memnggal kepalanya.”

Panca menarik selimut sampai ke kepalanya, ngeri. Aku melanjutkan, “dan sejak itu, tidak ada lagi kerajaan kiri maupun kerajaan kanan. Seluruh penduduknya kini bercampur baur satu sama lain. Kadang mereka berbuat jahat dan kadang mereka berbuat baik. Tembok pemisah itu tidak pernah dibangun lagi. Da mereka bisa dibilang hidup bahagia sampai saat ini.”

Panca terdiam. Aku mengelus kepalnya. “Aku tidak suka cerita ini,” katanya parau.

Aku menghela nafas. “Kau yang mengatakan pada mama agar mengarang dongeng. Mama tidak pernah menjamin Panca akan menyukai dongeng yang mama buat,” Panca merengek. Tapi ia menyerah. Mungkin ingatan tentang sang raja masih melekat dalam benaknya.

Tak lama kemudian Panca tertidur. Aku merapikan selimutnya, membenarkan letak bantalnya, dan mengecup dahinya. Di luar hujan telah reda, sebab tak kudengar lagi bunyinya. Kumatikan lampu kamar Panca sebelum keluar. Aku bisa mandi sekarang.