Rabu, 25 Februari 2009

Kesalahan Turun Temurun

Dua hari yang lalu, kayaknya, aku dikasi liat sebuah email, judulnya :

Renungan: PERHITUNGAN YANG

KELIRU

Silakan baca dulu, deh:

Seorang teman saya yang bekerja pada sebuah perusahaan asing, di PHK
akhir tahun lalu. Penyebabnya adalah kesalahan menerapkan dosis
pengolahan limbah, yang telah berlangsung bertahun-tahun. Kesalahan ini terkuak ketika seorang pakar limbah dari suatu negara Eropa mengawasi secara
langsung proses pengolahan limbah yang selama itu dianggap selalu gagal.

Pasalnya adalah, takaran timbang yang dipakai dalam buku petunjuknya
menggunakan satuan pound dan ounce. Kesalahan fatal muncul karena yang
bersangkutan mengartikan 1 pound = 0,5 kg. dan 1 ounce (ons) = 100
gram, sesuai pelajaran yang ia terima dari sekolah. Sebelum PHK dijatuhkan,
teman saya diberi tenggang waktu 7 hari untuk membela diri dgn. cara
menunjukkan acuan ilmiah yang menyatakan 1 ounce (ons) = 100 g.

Usaha maksimum yang dilakukan hanya bisa menunjukkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang mengartikan ons (bukan ditulis ounce) adalah satuan
berat senilai 1/10 kilogram. Acuan lain termasuk tabel-tabel konversi yang
berlaku sah atau dikenal secara internasional tidak bisa ditemukan.

SALAH KAPRAH YANG TURUN-TEMURUN.

Prihatin dan penasaran atas kasus diatas, saya mencoba menanyakan hal
ini kepada lembaga yang paling berwenang atas sistem takar-timbang dan
ukur di Indonesia , yaitu Direktorat Metrologi . Ternyata, pihak Dir.
Metrologi-pun telah lama melarang pemakaian satuan ons untuk ekivalen
100 gram.

Mereka justru mengharuskan pemakaian satuan yang termasuk dalam Sistem
Internasional (metrik) yang diberlakukan resmi di Indonesia . Untuk
ukuran berat, satuannya adalah gram dan kelipatannya. Satuan Ons
bukanlah bagian dari sistem metrik ini dan untuk menghilangkan kebiasaan
memakai satuan ons ini, Direktorat Metrologi sejak lama telah memusnahkan
semua anak timbangan (bandul atau timbal) yang bertulisan "ons" dan "pound".

Lepas dari adanya kebiasaan kita mengatakan 1 ons = 100 gram dan 1
pound = 500 gram, ternyata tidak pernah ada acuan sistem takar-timbang
legal atau pengakuan internasional atas satuan ons yang nilainya
setara dengan 100 gram. Dan dalam sistem timbangan legal yang diakui dunia
internasional, tidak pernah dikenal adanya satuan ONS khusus Indonesia
.
Jadi, hal ini adalah suatu kesalahan yang diwariskan turun-temurun.
Sampai kapan mau dipertahankan ?

BAGAIMANA KESALAHAN DIAJARKAN SECARA RESMI ?

Saya sendiri pernah menerima pengajaran salah ini ketika masih di
bangku sekolah dasar. Namun, ketika saya memasuki dunia kerja nyata,
kebiasaan salah yang nyata-nyata diajarkan itu harus dibuang jauh
karena akan menyesatkan.

Beberapa sekolah telah saya datangi untuk melihat sejauh mana
penyadaran akan penggunaan sistem takar-timbang yang benar dan sah
dikemas dalam materi pelajaran secara benar, dan bagaimana para murid
(anak-anak kita) menerapkan dalam hidup sehari-hari. Sungguh
memprihatinkan. Semua sekolah mengajarkan bahwa 1 ons = 100 gram dan 1
pound = 500 gram, dan anak-anak kita pun menggunakannya dalam kegiatan
sehari-hari. "Racun" ini sudah tertanam didalam otak anak kita sejak
usia dini.

Dari para guru, saya mendapatkan penjelasan bahwa semua buku pegangan
yang diwajibkan atau disarankan oleh Departemen Pendidikan Indonesia
mengajarkan seperti itu. Karena itu, tidaklah mungkin bagi para guru
untuk melakukan koreksi selama Dep. Pendidikan belum merubah atau
memberi-kan petunjuk resmi.

TANGGUNG JAWAB SIAPA ?

Maka, bila terjadi kasus-kasus serupa diatas, Departemen Pendidikan
kita jangan lepas tangan. Tunjukkanlah kepada masyarakat kita terutama
kepada para guru yang mengajarkan kesalahan ini, salah satu alasannya
agar tidak menjadi beban psikologis bagi mereka ;

"acuan sistem timbang legal yang mana yang pernah diakui /
diberlakukan secara internasional , yang menyatakan bahwa :

1 ons adalah 100 gram, 1 pound adalah 500 gram."?

Kalau Dep. Pendidikan tidak bisa menunjukkan acuannya, mengapa hal ini
diajarkan secara resmi di sekolah sampai sekarang ?

Pernahkan Dep. Pendidikan menelusuri, dinegara mana saja selain
Indonesia berlaku konversi 1 ons = 100 gram dan 1 pound = 500 gram ?

Patut dipertanyakan pula, bagaimana tanggung jawab para penerbit buku
pegangan sekolah yang melestarikan kesalahan ini ?

Kalau Dep. Pendidikan mau mempertahankan satuan ons yang keliru ini,
sementara pemerintah sendiri melalui Direktorat Metrologi melarang
pemakaian satuan "ons" dalam transaksi legal, maka konsekwensinya
ialah harus dibuat sistem baru timbangan Indonesia (versi Depdiknas)..
Sistem baru inipun harus diakui lebih dulu oleh dunia internasional sebelum
diajarkan kepada anak-anak. Perlukah adanya sistem timbangan Indonesia
yang konversinya adalah 1 ons (Depdiknas) = 100 gram dan 1 pound
(Depdiknas) = 500 gram. ? Bagaimana "Ons dan Pound (Depdiknas)" ini
dimasukkan dalam sistem metrik yang sudah baku diseluruh dunia ?
Siapa yang mau pakai ?.

HENTIKAN SEGERA KESALAHAN INI.

Contoh kasus diatas hanyalah satu diantara sekian banyak problema yang
merupakan akibat atau korban kesalahan pendidikan. Saya yakin masih
banyak kasus-kasus senada yang terjadi, tetapi tidak kita dengar.
Salah satu contoh kecil ialah, banyak sekali ibu-ibu yang mempraktekkan
resep kue dari buku luar negeri tidak berhasil tanpa diketahui dimana kesala
hannya.

Karena ini kesalahan pendidikan, masalah ini sebenarnya merupakan
masalah nasional pendidikan kita yang mau tidak mau harus segera
dihentikan.

Departemen Pendidikan tidak perlu malu dan basa-basi diplomatis
mengenai hal ini. Mari kita pikirkan dampaknya bagi masa depan
anak-anak Indonesia . Berikan teladan kepada bangsa ini untuk tidak malu
memperbaiki kesalahan.

Sekalipun hanya untuk pelajaran di sekolah, dalam hal
Takar-Timbang- Ukur, Dep. Pendidikan tidak memiliki supremasi
sedikitpun terhadap Direktorat Metrologi sebagai lembaga yang paling berwenang di Indonesia . Mari kita ikuti satu acuan saja, yaitu Direktorat
Metrologi.

Era Globalisasi tidak mungkin kita hindari, dan karena itu
anak-anak kita harus dipersiapkan dengan benar. Benar dalam arti
landasannya, prosesnya, materinya maupun arah pendidikannya. Mengejar
ketertinggalan dalam hal kualitas SDM negara tetangga saja sudah merupakan
upaya yang sangat berat.

Janganlah malah diperberat dengan pelajaran sampah yang justru bakal
menyesatkan. Didiklah anak-anak kita untuk mengenal dan mengikuti
aturan dan standar yang berlaku SAH dan DIAKUI secara internasional,
bukan hanya yang rekayasa lokal saja. Jangan ada lagi korban akibat
pendidikan yang salah. Kita lihat yang nyata saja, berapa banyak TKI diluar
negeri yang berarti harus mengikuti acuan yang berlaku secara internasional.

Anak-anak kita memiliki HAK untuk mendapatkan pendidikan yang benar
sebagai upaya mempersiapkan diri menyongsong masa depannya yang akan
penuh dengan tantangan berat.

ACUAN MANA YANG BENAR ?

Banyak sekali literatur, khususnya yang dipakai dalam dunia tehnik,
dan juga ensiklopedi ternama seperti Britannica, Oxford , dll. (maaf, ini
bukan promosi) menyajikan tabel-tabel konversi yang tidak perlu
diragukan lagi.

Selain pada buku literatur, tabel-tabel konversi semacam itu dapat
dijumpai dengan mudah di-dalam buku harian / diary/agenda yang
biasanya diberikan oleh toko atau produsen suatu produk sebagai sarana promosi.

Salah satu konversi untuk satuan berat yang umum dipakai SAH secara
internasional adalah sistem avoirdupois / avdp. (baca : averdupoiz).

1 ounce/ons/onza = 28,35 gram (bukan 100 g.)

1 pound = 453 gram (bukan 500 g.)

1 pound = 16 ounce (bukan 5 ons)

Bayangkan saja, bagaimana jadinya kalau seorang apoteker meracik resep
obat yang seharusnya hanya diberi 28 gram, namun diberi 100 gram.
Apakah kesalahan semacam ini bisa di kategorikan sebagai malapraktek ?
Pelajarannya memang begitu, kalau murid tidak mengerti, dihukum !!!
Jadi, kalau malapraktik, logikanya adalah tanggung jawab yang
mengajarkan. (ini hanya gambaran / ilustrasi salah satu akibat yang bisa
ditimbulkan, bukan kejadian sebenarnya, tetapi dalam bidang lain banyak sekali
terjadi)

KALAU BUKAN KITA YANG MENYELAMATKAN - LALU SIAPA ?.

Melalui tulisan ini saya ingin mengajak semua kalangan, baik kalangan
pemerintah, akademis, profesi, bisnis / pedagang, sekolah dan orang
tua dan juga yang lainnya untuk ikut serta mendukung penghapusan satuan
"ons dan pound yang keliru" dari kegiatan kita sehari-hari. Pengajaran
sistem timbang dgn. satuan Ounce dan Pound seharusnya diberikan sebagai
pengetahuan disertai kejelasan asal-usul serta rumus konversi yang
benar. Hal ini untuk membuang kebiasaan salah yang telah melekat dalam
kebiasaan kita, yang bisa mencelakakan / menyesatkan anak-anak kita,
generasi penerus bangsa ini.


Untungnya orang itu bekerja di bidang pengolahan limbah :p Coba kalau sebagai apoteker.

Oh, dan sedikit pelajaran minggu ini:

Jangan mulai menyalahkan orang lain kalau tidak mau disalahkan. Karena manusia akan mulai mempertahankan dirinya pada saat mereka disalahkan. Dan, tahu nggak apa cara yang paling cepat untuk mempertahankan diri saat disalahkan? Yap, menyalahkan orang lain. Membalikkan. Kadang, kita justru lebih baik meninggalkan orang itu dalam diam, jadi mereka bakal ngerasa bersalah dengan sendirinya.

Sabtu, 21 Februari 2009

...dan Rumput pun Berhenti Bergoyang...

"Syukurlah ada pohon ini. Akhirnya aku bisa menutup tubuhku dari pandangan setiap binatang, juga jin dan iblis," kata Adam.

Syukurlah, kami senang bisa membantu

"Oh, ternyata buah ini bisa dimakan! Kita tidak akan kelaparan!!" ujar manusia nomaden.

Ya, kami bermanfaat untukmu, kan?

"Aha!! Jadi rupanya ini yang menyebabkan perbedaan antara orang tua dengan anaknya," kata Mendel

Kami jauh lebih mudah untuk di teliti, kau tahu itu. Terima kasih telah memanfaatkan kami.

"Yah, lihat, aku bisa membuat mainan dari kayu sisa ini, lho!!" ujar Adi kepada ayahnya.

Terimakasih karena kau tidak menyia-nyiakan kami...

"Hmm...produksi karet tahun ini kurang banyak. Mungkin kita harus mencari lebih jauh lagi," kata seorang penyadap.

Jangan lupakan kami, kami akan tetap ada untukmu walaupun kami jauh...


"Pestisidanya kurang ampuh. Mungkin harus ditambah dosisnya," kata petani.

Hei, hei...

"Kapten!! Kebakaran di area C sudah semakin masuk ke dalam! Truk pemadam kita tidak akan bisa memadamkan area itu!" ujar seorang pemadam kebakaran kepada kaptennya.

Tolong cepat padamkan...Di sini panas...

"Waduh! kertasnya kurang, nih!" teriak Wahyu. "Udah, pake yang baliknya aja!" balas Nita. "Aaah!! Ngapain repot-repot segala, sih! Pake kertas baru aja, kan bisa! Nih, pake kertas gue!" kata Rani.

Hei, tidakkah kau lihat keadaan kami?


"Nah, tanah di sini sepertinya bagus, ayo kita buka lahan di sini!" ujar peladang

Jangan usir kami...kami hidup di sini seumur hidup kami...

"Panas banget nih, gue nyalain AC nya, ya!" pinta Kina.

Lebih baik jangan...tolong...

"Bu, air bekas cuciannya jangan dibuang langsung ke tanah, kasian tanamannya," kata Ani. "Biarin aja, lah! Cuma sedikit ini!" balas ibu

Setiap orang yang melakukan itu mengatakan hal yang sama, kau tahu?

"Udah berapa kali dibilang, jangan buang sampah ke dalam got! Kamu nggak tahu efeknya terhadap lingkungan sekitar kita?" ujar Pak Guru marah. "Iya, tahu kok Pak, mentang-mentang sekolah kita mau ikut Adipura, kan?" balas murid

Kau kemanakan nasib kami?

"Bahan buat presentasi besok harus difoto kopi dan dibagikan ke seluruh kelas! Jangan lupa untuk mengerjakan presentasinya di atas karton!" tegas seorang guru pada akhir jam pelajaran. "Pak, kenapa nggak dibuat power pointnya aja?" tanya murid. "Nggak boleh! Harus pakai kertas, nggak boleh yang lain!" perintah guru.

Kalau sudah ada penggantinya, kenapa harus memakai yang lama? Belajarlah!!

" Masih kurang 200 lagi! Bos baru dapet order baru dari Jakarta!!" teriak seorang penebang kepada teman-temannya.

Terus saja habisi nyawa kami

"Duh, lo punya tissue, nggak?"tanya Neta. "Nggak ada. Minta aja ke Sari. Eh, lo nggak papa tuh pake tissue terus-terusan? Ntar global warming lagi!" jawab Tyas. "Global warming! kalo lo terus-terusan mikirin global warming, lo nggak bakalan bisa hidup, tau!" balas Neta.

Hei, lihatlah kami sekarat

"Global warming itu siklus. Jadi, nggak peduli mau seberapa banyak pun lo ngedaur ulang ataupun ngehemat, tetep aja bakal terjadi! Makanya, mending nggak usah repot-repot," kata Sita sambil tertawa.

Apa kalian hanya peduli pada kami karena global warming? Apa kalian pikir kami tak punya jiwa? Apa kalian pikir kami bukan makhluk hidup yang sama dengan kalian? Mengapa kalian, manusia, begitu egois? Baik, kalau memang kalian hanya peduli pada nasib kalian, tengoklah ke jendela. Lihatlah kami mati di luar sana. Dan renungkanlah...apa yang akan terjadi jika kami tidak di sini untuk kalian.

* ditulis untuk mendukung proker pokja C. Ayo, maju! Jangan pesimis dulu sebelum di coba!

Kamis, 19 Februari 2009

Rantai

Aku menghela nafas, dan lagi-lagi, aku menunduk, membaca data dari pasien yang kutangani. Sekali lagi, aku berusaha mencari tahu apa yang membebani orang ini. Ia mempunyai istri yang baik, ramah, dan parasnya, lumayanlah, tidak terlalu cantik tetapi juga tidak jelek. Ia juga mempunyai dua orang anak, keduanya kini tengah menempuh pendidikan di SMA, dan keduanya tidak pernah membawa masalah yang berarti bagi keluarga. Pekerjaannya baik-baik saja, tentu, sebelum ia mulai mengalami gangguan dan akhirnya keluarganya membawanya padaku. Dan yang terpenting, ia juga seorang psikiater, sama sepertiku. Dia terkenal, justru sebagai psikiater andal di kota ini. Dan sekarang, ia mengalami gangguan yang menyebabkan ia terpaksa datang padaku, seorang psikiater kelas dua.

Kemarin, ia datang menemuiku. Aku membayangkan kembali saat itu, seolah-olah aku melihat lagi sosoknya yang cukup berantakan, pasti, dibandingkan dengan penampilan sehari-harinya, duduk di kursi di depanku, ah, bukan, lebih tepat kalau kukatakan setengah berbaring. Kalimat pertama yang diucapkannya adalah, “Anda seorang psikiater, kan?” Dia menanyakan itu, bahkan sebelum aku memperkenalkan diriku dan menanyakan apapun padanya. Kujawab, “Ya.”

Dia memandangku dengan cara yang tidak kusukai, seolah-olah dia sedang berusaha menilai sejauh mana kemampuanku. Akhirnya dia melanjutkan kata-katanya, “kalau begitu, bisakah anda membantu saya?”

Aku, tentu saja langsung tersinggung dengan kalimat ini. Seolah dia meremehkanku, atau setidaknya begitu yang kupikir. Maka aku menjawab dengan nada tidak suka, “kalau anda kira saya bisa membantu anda, yah, saya akan berusaha melakukan apa yang saya bisa,” kataku.

Tampaknya dia menyadari perubahan nada suaraku, karena ia menjawab, “Jangan tersinggung. Saya hanya ragu, karena…saya sendiri tidak sanggup untuk menolong gadis itu,” katanya dengan nada meminta maaf.

Heh, orang ini cukup waras, pikirku waktu itu. Namun mau tidak mau aku tertarik juga dengan perkataannya barusan. “Menolong gadis itu? Siapa gadis itu?” tanyanku penasaran.

Bukannya menjawab perkataanku, dia justru kembali menanyakan sesuatu, kali ini dengan pandangan menerawang. “Anda tahu...Ivan Illich atau Ki Hadjar Dewantara?” tanyanya.

“Ki Hadjar Dewantara? Tokoh pendidikan nasional itu, kan?” jawabku yakin.

“Ya. Kalau Ivan Illich?” tanyanya kembali. Mendadak aku jadi teringat masa-masa ketika aku bersekolah, dan guru menanyakan sesuatu padaku. Ya, perasaanku sekarang sama persis dengan waktu itu.

“Tidak tahu,” jawabku agak malu, seolah-olah aku mendapatkan nilai jelek dalam ujian karena tidak belajar sebelumnya.

Sampai di sini, aku memutus lamunanku itu. Kunyalakan komputer di kamarku, membuka sebuah search engine terkenal, dan mengetikkan nama tersebut. Ivan Illich. Ya, ini dia.

Aku mengeklik salah satu hasil pencarian itu. Dan membacanya, berusaha mengerti. ‘The book that brought Ivan Illich to public attention was Deschooling Society (1971), a critical discourse on education as practised in "modern" economies. Ah, rupanya itu yang dimaksudnya. Jadi, si Ivan Illich ini juga kritikus pendidikan?

Pikiranku kembali melayang ke siang hari yang lalu. Dia, psikiater itu, tersenyum, seolah mengingat sesuatu yang lucu.

“Apa yang lucu?” sergahku kasar, karena merasa diremehkan.

“Oh, tidak, tidak apa-apa. Hanya saja…” kata-katanya terputus di tengah jalan.

“Hanya saja?” tanyaku penasaran

“Yah, hanya saja…saya rasa begitulah ekspresi wajah saya ketika gadis itu menanyakan pertanyaan yang sama pada saya,” matanya mulai menerawang. Untuk beberapa saat aku takut kalau pasienku ini akan kehilangan kesadarannya. Tapi ternyata tidak. Ia justru melanjutkan pembicaraan kami tadi.

" Dia dibawa oleh keluarganya mendatangi saya. Keluarganya mengatakan bahwa gadis itu mengalami...didaskaleinophobia," katanya. Aku segera mengerti, didaskaleinophobia adalah semacam rasa takut untuk pergi sekolah, namun biasanya rasa takut ini terjadi pada anak-anak, bukan pada seorang gadis.

" Dia menolak untuk pergi sekolah selama dua bulan. Seluruh keluarganya khawatir padanya," Aku mangut-manggut setuju. Memang begitulah biasanya keluarga pasien.

Sejenak dia berhenti. Menghela nafas beberapa kali, dan melanjutkan, "Tapi mereka salah. Saya tahu itu," katanya, matanya terlihat sedikit berair.

Lagi-lagi aku takut kalau pikirannya akan terganggu, tapi dia meneruskan kata-katanya. " Dia menanyakan pertanyaan yang sama dengan yang saya ajukan tadi kepada anda. Ya..." dia tersenyum, "sama persis. Sama persis sampai saya bisa melihat bayangan diri saya waktu itu pada reaksi anda sekarang."

Aku mulai lelah dengan pembicaraan yang berputar-putar ini. Untunglah dia segera melanjutkan dengan membawa topik baru, "Bagaimana anda bisa menjadi seorang psikiater?" tanyanya.

Aku mulai kesal lagi. Apa sih maunya orang ini? Tapi aku tetap menjawab pertanyaannya. Aku tidak mau terlihat bodoh di depan orang ini. "Karena saya belajar. Saya belajar untuk menjadi seorang psikiater, dan saya lulus, saya mendapat lisensi untuk bisa membuka praktek di sini" tandasku. Tapi ia masih melanjutkan, " Bagaimana kalau anda tidak mendapat lisensi itu?" tanyanya.

Aku bingung. "Tentu saja saya tidak akan membuka praktek di sini" jawabku

"Aaah," desahnya, "Anda benar-benar membuka jalan bagi saya untuk meneruskan," lanjutnya dengan senyum yang tidak dapat kumengerti. "Apa anda ingin menjadi seorang psikiater?"

"Ya," jawabku berhati-hati. Dia kembali bertanya, "Kalau begitu, anda pasti harus mendapat lisensi itu, kan?" tanyanya.

"Ya. Kalau tidak, apa gunanya saya mengambil mata kuliah psikologi dulu? Lebih baik saya mengambil yang lainnya, kan?"

"Hmm...jadi, anda pasti mengambil mata kuliah kedokteran dan melanjutkan ke psikologi, kan? Bagaimana anda bisa masuk ke fakultas kedokteran?"tanyanya, kembali berputar.

"Tentu saja dengan kerja keras! Saya harus belajar untuk mendapat nilai SPMB yang tinggi untuk itu!"

"Tapi, kalau nilai UN anda jeblok, anda pasti tidak akan pernah melanjutkan cita-cita anda, ya kan?"

Aku terdiam sejenak, dan berkata, "Ya."

"Bagaimana agar nilai UN anda tidak jeblok?" tanyanya lagi.

"Ya, tentu saja saya harus belajar yang baik di sekolah. Dan tentu saja saya harus mendapatkan nilai-nilai yang juga memuaskan di sekolah, agar bisa lulus, bahkan naik ke kelas tiga SMA," jawabku sebelum dia mengajukan pertanyaan untuk itu.

"Seandainya anda tidak lulus dari SMP?"

"Tentu saja saya terpaksa harus mengulang satu tahun. Bila saya harus keluar, tentu saya tidak akan menjadi seorang psikiater. Dan kalau saya tidak lulus SD, saya mungkin hanya akan menjadi tukang bangunan, atau mengerjakan pekerjaan kasar lainnya," lagi-lagi aku menyerobot pertanyaannya.

"Ah. Dan bila anda tidak pernah sekolah?"

"Saya mungkin akan menjadi salah satu dari anak jalanan. Menggelandang, mengamen, mengemis, dan entah apalagi."

"Apa itu alasan anda sekolah?"

Aku berpikir sejenak. Aku tidak boleh salah menjawab. Itukah alasanku sekolah? Kalau tidak, untuk apa aku berusaha keras belajar? Untuk apa aku marah-marah, kecewa ketika nilai ulanganku jelek? Untuk apa aku berusaha mengelabui guruku dengan jalan mencontek? Untuk apa?

"Mungkin...ya," jawabku akhirnya

"Itu yang dinamakan stereotype, kan?" tanyanya kali ini, sedikit menyimpang dari pembicaraan kami sebelumnya. Aku terpana.

"Bukannya anda seharusnya lebih tahu daripada saya?" tanyaku dengan rasa tidak suka.

"Di ruangan ini, saat ini, saya adalah pasiennya, dan anda dokternya. Jadi, saya beranggapan bahwa anda lebih tahu dari saya," katanya. Aku mengernyitkan dahi, dan menjawab,"Oh, baiklah. Ya, itu yang dinamakan stereotype."

" Begitu. Saya mengerti," katanya, menghembuskan nafas panjang. "Begitu pula cara saya menjawab. Dan sampai sekarang, saya masih menyesali jawaban saya itu," suaranya terdengar bergetar sekarang.

"Apa alasan anda sekolah?" tanyanya lagi. Aku benar-benar jengkel sekarang. Orang ini benar-benar sudah gila, kumaki diriku sendiri dalam hati. Dan aku semakin kesal ketika mendapati aku menjawab pertanyaannya.

"Agar saya bisa menjadi orang, orang yang berguna untuk masyarakat, orang yang...yang..."

"Yang sukses?" katanya membantuku. Merasa tak berdaya, aku mengangguk.

" Rata-rata orang akan menjawab begitu. Sedikit yang akan mendapati bahwa mereka tak punya alasan untuk tetap sekolah. Dan sisanya akan menjawab, untuk mencari ilmu. Tapi, apa itu benar?" Lagi-lagi ucapanya menggantung.

" Kalau hanya untuk mencari ilmu, bisa dilakukan sendiri-sendiri. tanpa harus terikat pada peraturan sekolah. Tanpa harus terikat pada seragam. Tanpa harus terikat pada bayaran sekolah. Tanpa harus terikt pada buku yang ditentukan. Tanpa harus terikat pada guru yang ditentukan. Tanpa harus terikat pada ilmu yang ditentukan....Setidaknya, begitulah kata gadis itu," ia kembali memejamkan mata, ekspresinya seolah menahan perih. "Dan anda harus mengakui, bahwa memang ada cara seperti itu untuk menuntut ilmu," tambahnya.

"Awalnya, saya hanya mengira ia seorang pembolos. Pembolos yang mencari-cari alasan untuk bisa membolos dari kelas. Pembolos yang mencari alasan sekenanya, meskipun dari awal saya sudah takjub dengan pengetahuannya. Berapa orang murid SMA yang tahu tentang Ivan Illich? Berapa orang dari murid SMA yang tahu mengenai teori ruang kelas dengan tiga dinding Ki Hadjar Dewantara?"

Aku menyela kata-katanya, aku mulai tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. "Teori ruang kelas dengan tiga dinding? Segitiga?"

"Bukan, meskipun memang bisa dilihat seperti itu juga. Namun yang dimaksud adalah konsep untuk menyatukan ruang kelas dengan dunia luar, dan bukan sebagai tempat eksklusif bagi murid dan guru," jawabnya.

"Saya kira dia akan mulai mengajukan alasan seperti Thomas Alfa Edison yang bisa menjadi salah satu orang paling bersejarah di dunia ini, meskipun ia dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap bodoh. Tapi ternyata tidak. Dia justru mengajukan pertanyaan terus menerus tentang efisiensi dan efektivitas dalam sistem."

"Dia bertanya, berapa umur anda saat anda menjadi seorang psikiater? Kujawab, 37 tahun saat saya mulai membuka praktek sendiri," dia menarik nafas dalam-dalam, dan melanjutkan, " Kemudian dia bertanya lagi, berapa banyak kekayaan yang anda miliki saat ini? Tentu saja saya kaget, nyaris saja saya mengatakan,' itu privasi saya!' Namun ada sesuatu yang membuat saya ingin menjawabnya. Maka saya menjawab, 'ya, sekitar rumah ini, mobil saya, dan tabungan, mungkin beberapa hal-hal lain yang tidak ingin saya sebutkan.' Dia berhenti sejenak, dan melanjutkan, 'pernahkah anda berpikir, mungkin saja anda bisa memperoleh semua itu ketika anda masih berusia, katakanlah, tujuh belas tahun?'"

"Saya terdiam sejenak, dan berkata, 'mungkin saja.' Tapi dia berkata, 'bagaimana kalau saya katakan itu tidak mungkin?' Saya menjawab, 'berarti kamu orang yang pesimis.' Kali ini dia yang terdiam sejenak, namun dia lagi-lagi membalas kata kata saya,' ya, mungkin saya memang orang yang pesimis. Tapi coba anda pikir, berapa banyak perusahaan yang mau menerima karyawan yang belum menamatkan sekolahnya? berapa banyak perusahaan yang mau menerima karyawan yang tidak berpengalaman?'"

"Maka saya menjawab lagi, 'yah, kamu bisa mencari uang dengan cara mandiri, wiraswasta mungkin?' dan saya kembali dipojokkan. Ia kembali menyerang saya, 'berapa banyak sekolah yang mengizinkan murid-muridnya berusaha? bukankah mayoritas dari sekolah memfokuskan diri untuk menjaga agar siswanya meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi? Bukankah banyak sekolah yang menyita waktu siswanya dengan cara membuat mereka selama mungkin berada di sekolah? dan setelah pulang pun, mereka dijejali dengan begitu banyak PR, yang mencegah mereka untuk keluyuran dari rumah?' saya memotong kata-katanya, dan berkata, ' bukankah itu hal yang bagus? banyak remaja yang terjebak pergaulan bebas saat ini, bukan?' Ia tersenyum, seolah mengejekku, dan berkata, 'begitulah cara pikir kalian. Tapi, tidakkah kalian sadar, bahwa itu juga menghalangi kami dari melihat dunia luar. Seorang siswa seolah-olah adalah seekor kucing rumah yang dipelihara dengan baik sejak lahir, lalu tiba-tiba dilepaskan begitu saja, dan terpaksa mencari makan sendiri. Ia tidak punya pengalaman, dan kemudian, yang terjadi adalah hukum rimba, yang terkuat yang akan bertahan hidup. Yang lainnya? Mati kelaparan, matikedinginan, mati diterkam oleh binatang lain.'"

Sampai di sini ia berhenti, mungkin kehabisan nafas karena bicara begitu berapi-api. Aku menawarkan minuman, namun dengan halus ditolaknya. Setelah beberapa saat, ia melanjutkan lagi pembicaraannya.

"Gadis itu berkata, 'berapa tahun yang kita butuhkan untuk menyelasaikan sekolah? katakanlah, enam tahun pada SD, tiga tahun saat SMA, dan tiga tahun saat SMA. Kemudian ditambah sekitar 4 tahun saat perguruan tinggi. Itu kalau hanya mengambil S1. Belum kalau mengambil S2. Bisa-bisa memakan waktu 20 tahun sendiri. Kira-kira umur pada saat kita masuk SD adalah 6 tahun. Maka, umur kita pada saat lulus S1 sekitar 22 tahun. Dan baru saat itulah kita bisa mulai bekerja, mulai mencari penghasilan sendiri, dan boleh dikatakan, mulai berperang'"

"'Itupun, seandainya kita tidak salah memilih jurusan nantinya. Kalau sampai salah, bayangkan betapa sia-sianya waktu dan usaha yang kita berikan selama ini,' aku menyela lagi, 'Tapi, bukankah semua ilmu itu ada gunanya?' Ia menjawab, 'ya. tapi, dengan adanya ijazah, bisakah anda bekerja sebagai dokter kalau ijazah anda berkata bahwa anda adalah seorang arsitek? Bisakah anda menjadi seorang psikiater kalau ijazah anda mengatakan bahwa anda adalah dokter gigi?'"

Ia mulai terbatuk-batuk, tapi ia tetap meneruskan ceritanya, " Ia juga memprotes kurikulum yang ada saat ini. Katanya, 'kenapa kami harus belajar sejarah kalau hanya untuk menghafalkan nama, tempat dan tanggal kejadian? Bukankah tujuan dari pelajaran ini adalah belajar dari masa lalu agar tidak mengulangi kesalahan yang sama? Kenapa pelajaran Pkn dan sosiologi tidak digabungkan saja ke dalamnya? Jadi kami tidak hanya mempelajari tanggal-tanggalnya, namun juga latar belakang kejadian secara sosial, psikologi, dan juga politik. Juga mencari solusi jika kejadian serupa terulang? Atau, mengapa pelajaran BK tidak diganti dengan dasar-dasar psikologi? setidaknya itu akan membantu kami dalam bersikap, dalam bermasyarakat, bukannya menina bobokan kami, mencekoki kami dengan cara-cara belajar, atau dengan pilihan-pilihan perguruan tinggi. Bukankah mata pelajaran ini dinamai bimbingan konseling? Kenapa harus dibatasi dengan masalah seputar sekolah, bukannya seputar dunia, agar kami juga belajar untuk hidup di dunia luar?'"

"Kemudian, lagi-lagi saya memutus bicaranya. Saya bertanya, 'Apa kamu sedemikian membenci sekolah?' Ia menimbang-nimbang, baru menjawab, 'mungkin ya. Tetapi, saya bukannya membenci sekolah, melainkan membenci bagaimana sekolah dijalankan. Sekolah dijadikan ajang politik, ajang kekuasaan, bukannya ajang pendidikan, dimana kami diminta untuk mencari pencerahan sebagai generasi penerus bangsa ini. Justru, di sekolah kami diajari bagaimana cara bersikap dalam masyarakat sekarang, agar kami dapat membaur, bukannya membuat suatu perubahan yang nyata untuk mengangkat harkat negara ini. Bagaimana kami bisa mencari solusi, bagaimana kami bisa menajdi generasi penerus dengan cara seperti ini? Sementara kami terus-terusan ditekan untuk bersikap baik, patuh pada sistem yang ada, tanpa memiliki keinginan untuk memprotes segala sesuatunya. Bagaimana kami bisa diharapkan untuk menmbuat sebuah perubahan jika yang mengharapkan kami membuat perubahan justru takut pada perubahan itu sendiri?'"

"'Dan begitulah seterusnya, dari generasi ke generasi. Dari zaman anda dahulu, sampai ke zaman, mungkin, anak anda, sekolah tetap seperti itu. Apanya yang berubah? Semuanya tetap menilai dari hasil, bukan proses. Semuanya tetap memberi nilai. Semuanya mengkritik bahwa kami adalah generasi yang tak bisa diharapkan, bahwa kualitas dari generasi ke generasi makin menurun, tapi sadarkah anda, bahwa yang mendidik kami untuk berbuat begini adalah generasi anda! Terwujudnya kekerasan di sekolah, korupsi, dan segala macam tindak kriminal, mungkin juga berasal dari sana. Mungkin, bila sekolah diubah, juga akan mengubah paradigma bangsa ini tentang segala sesuatu...'"

"' Sayangnya...tidak ada, atau sedikit, yang dapat mengerti saya. Kebanyakan orang, bahkan orang tua saya, menganggap saya gila. Dan anda tahu? Paradigma itu juga disebabkan oleh sekolah. Stereotype yang ada, semuanya, mungkin berasal dari sana. Seandainya tak ada predikat orang yang tidak sekolah, orang yang tidak berpendidikan, predikat yang membedakan satu dari yang lainnya, stereotype yang membuat jurang diantara satu dan lainnya, yang menciptakan kesenjangan, paradigma yang membuat orang berpikir sempit. Semuanya...bagaimana saya harus mulai berubah?'"

Ia menghela nafas dalam-dalam, lalu melanjutkan ," Saat itu, anak saya yang masih duduk di SD, masuk ke ruang kerja saya. Gadis itu menatapnya dengan pendangan aneh, dan berkata, 'hati-hatilah, mungkin anak anda juga akan terjebak dalam rantai itu,' Kata-kata itu terus menghantui saya. Saya berusaha, sedikit demi sedikit, mempengaruhi orang dengan cara pikir saya. namun, seperti yang gadis itu katakan, orang-orang menganggap saya aneh. Namun saya masih belum mau menyerah, sampai saya kembali mendengar kabar dari gadis itu,"

"Beberapa hari sebelum kejadian itu, orang tua gadis itu sempat menelepon saya dan mengucapkan terima kasih karena putri mereka mau masuk sekolah kembali. Tapi, suasana damai itu hanya untuk beberapa hari. Kelihatannya gadis itu mulai mengutarakan ide-idenya lagi, yang menyebabkan ia dipanggil oleh guru-gurunya, bahkan sampai menghadap kepala sekolah segala. Dan di situlah, keputusannya untuk menunjukkan pendiriannya sudah bulat. Ia mengangkat sebuah kursi dan mengayunkan kursi tersebut ke jendela. Tentu saja, jendela-jendela itu pecah. Maka, sekolah mengirimkan surat kepada orang tua gadis itu bahwa...bahwa...putri mereka menderita gangguan jiwa,"

Kali ini punggungnya bergetar. Dan bukan hanya punggungnya, tapi juga suaranya, bahkan matanya pun menjadi liar. " Dia tidak apa apa!! Gadis itu tidak apa-apa, ia hanya memiliki idealisme, dia tidak apa-apa, dia tidak seharusnya berada di sana...dia tidak seharusnya menjalani karantina di sana...bersama orang-orang gila...kriminal...dia...." dan tangisnya pun pecah.

" Sejak saat itu, saya melarang tiga orang putra putri saya untuk pergi ke sekolah. Dan itu pula...yang menyebabkan...keluarga saya mengirim saya ke sini....."

Lamunanku kembali terputus, kali ini oleh ketukan di pintu. Dina, asistenku, melongokkan kepalanya ke dalam kantor.

"Pak, ada telepon dari keluarga Pak Marsal, pasien yang kemarin sore datang...katanya, mereka telah memutuskan untuk memasukkan beliau ke pusat rehabilitasi, jadi janji sore ini dibatalkan," katanya.

Kepalaku mendadak pusing. "Ke...Kenapa?" tanyaku terbata.

"Katanya, tadi siang Pak Marsal menghancurkan nyaris separuh ruang kelas putranya. Beliau menghancurkan jendela-jendela, bahkan kursi-kursi yang ada. Padahal, saat itu tengah berlangsung rapat orang tua murid di sekolah putranya itu. akrena itu pihak keluarga memutuskan untuk membawa Pak Marsal ke sana," jelas Dina.

Aku terhuyung, tanganku berusaha mencari pegangan untuk menopang tubuhku. Seketika aku teringat dua putriku yang masih SD.

Dina yang mungkin panik melihat keadaanku, segera mengambilkan kursi dan bertanya, "Pak, Bapak baik-baik saja? Perlu saya bawakan sesuatu?"

Dengan keadaan setengah sadar, aku menjawab lemah, "Ya...panggilkan aku...seorang psikiater..."

Rantai

Bakal ada satu postingan lagi dengan judul ini, tapi dalam bentuk cerpen. Dan nggak, temanya bukan dari ini. Beda jauuh...banget. Dari sabang sampai merauke.

Yah, aku selama ini selalu percaya dengan yang namanya timbal balik. Nggak ada sesuatu yang bisa disebut kebetulan. Yang ada hanya satu kejadian yang berkaitan dengan yang lainnya. kejadian yang memang harus terjadi, bukan karena kebetulan terjadi. Kejadian yang ada karena sesuatu yang kita pilih. Kejadian yang merupakan hasil dari sebuah pilihan

Jadi diulang, kan. Meskipun dengan kalimat yang beda.

Oke, jadi ada yang dinamakan rantai. Roda. Efek. Timbal balik. Makan dan dimakan (lho?). Tapi itu bener.

Jadi lupa mau nulis apa, kan. Oh iya.

Akhir-akhir ini aku sedang amat sangat, banget, atau apalah kata yang berfungsi untuk menguatkan kata lainnya itu - labil.

Tahu apa yang kulakukan salah, tapi nggak ada usaha untuk menghentikan itu. Tahu tindakanku kekanak-kanakan, tapi masa bodo dengan itu. Tahu aku nggak usaha, tapi nggak memperbaiki. Tahu kalau ada sesuatu yang beda, tahu apa yang salah, tapi tetep - diam. Ya, diam.

Atau cuek? Atau terlalu malas?

no 1: Efek

Semuanya berbalik ke diriku sendiri. Semuanya. Kenapa?

no 2: Rantai

Kubalikkan lagi ke yang lain. Atau kudiamkan. dua-duanya sama saja, membentuk rantai. Nggak akan putus sebelum aku yang mencoba memutuskannya. Nggak peduli. Masih senang disakiti dan menyakiti. Masih manusia.

no 3: Makan dan dimakan

Makan hati orang lain, dan dimakan hatinya oleh orang lain. Bodo amat

no 4: Roda

Harus tetep jalan, meskipun berputar-putar di tempat yang sama. Kenapa?

no 5: Timbal balik

Apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai. Masa?

Nggak adil. Kenapa kita mesti terus-terusan nyoba untuk mendengarkan, padahal belum tentu ada yang mendengarkan kita? kenapa sekalinya kita nggak mendengarkan malah dicap sombong, nggak tahu adat, dll? Kenapa harus peduli? Kenapa harus peduli kalau nggak yakin ada yang lain di muka bumi ini yang peduli? Kenapa harus menunggu kalau nggak ada yang menunggu? Kenapa, sekali saja kita ngelepasin usaha-usaha itu, semuanya menjauh? Kenapa orang lain bisa bebas melepaskan usaha itu dan tetap dekat? Kenapa?

Kenapa, mengapa, kamana? kemana rantai itu? Kemana roda itu? Kemana mangsa-mangsa itu? Kemana? Mati kelaparan? Atau juga dimakan oleh predator-predator itu?

Jadi inget, ada satu kalimat yang aku suka banget dari sebuah buku. Udah lupa judulnya, kalo nggak salah sih Billy 24 wajah atau apa... gitu. Kalimatnya kayak gini:

'Dunia tanpa rasa sakit adalah dunia tanpa perasaan, tapi dunia tanpa perasaan adalah dunia tanpa rasa sakit'

Apa perlu membuang semua perasaan untuk nggak merasa sakit? Ya. Paling nggak, aku tahu itu.

Postingan yang ditulis dengan bahasa acak-acakan.

Sedikit tambahan yang sama sekali nggak berkaitan dengan di atas, aku lagi benci banget dengerin Bella's Lullaby. Bawaannya pengen nimpukin sesuatu terus-terusan. Jadinya selalu kulewatin kalo lagi dengerin playlist instrument. Lagi seneng Kizuna dan La Sola, biar sekalian depresi.

Selasa, 17 Februari 2009

Tiga Hari (penutup)

Baik, sudah lalu
Tiga hari
Bagai sekerdipan mata
Tapi, hei, lihat!
Getaran dan kepalan itu sudah pergi
Bahkan mata yang perih pun tak ada lagi

Tak ada yang perlu dikatakan lagi.
Walau hanya 12, kami menyelesaikannya
Walau hanya tiga hari, kami memuaskannya
Walau hanya 12, kami berani mengatakan kalimat
Kerja kami terbayar

Kamis, 12 Februari 2009

Tiga Hari (pembuka)

Tiga hari
Ya, hanya tiga hari
Dua bulan
Atau nyaris dua bulan
Untuk tiga hari
Tiga hari
Yang diharapkan
Semoga, terus, untuk selamanya

Tiga hari
35 anak panah
Menuju 9 sasaran
Dengan beberapa* busur
Melihat ke satu arah
Dengan wajah terpaling
Bukan, bukan terpaling,
hanya sekilas menoleh
pada tiga hari lainnya

Tidak, tak ada lagi bayang sesal pada kami
Bahkan bila tiga hari ini masih sama dengan yang lalu
Tiga hari yang telah lalu
Tetap, hati masih tertinggal di sana
Bahkan hal-hal yang kami buat sama

Sudah, jangan tertawa atau tersenyum lagi
Kalau mata sudah terasa pedih
Baik, carilah obat mata
Biar dapat sembunyikan tangis dalam tawa
Sisir rambutmu
Simpan kepal tanganmu
Tegapkan bahumu,
jangan biarkan satu getar pun tampak

Setidaknya, sampai jadi tiga hari
Setelah itu, kita lihat lagi

Rabu, 04 Februari 2009

Selamat Jalan....

Hujan baru saja berhenti membasahi kota Jakarta ini. Bau tanah basah yang menyengat seakan meruap dari setiap sisi. Dengan berat hati kulangkahkan kakiku menuju ke tempatmu. Bukan, bukan karena aku tidak ingin lagi melihatmu…sungguh, aku sudah berkali-kali mengatakannya. Aku menyayangimu…masih, sangat menyayangimu...tapi... kau tetap saja meninggalkanku…

Sejenak langkahku terhenti ketika melewati sebuah taman. Kita biasa jalan-jalan berdua di taman ini. Makan siomay kesukaanmu, atau sekedar duduk-duduk berduaan. Oh, apa kau ingat pertama kalinya kita bertemu? Ya, di taman ini. Saat itu aku melihatmu, sendirian, basah oleh hujan. Kau berjalan sempoyongan, bahkan bisa dibilang hampir jatuh. Karena kelihatannya kau sedang sakit dan kedinginan, aku mengundangmu ke rumahku. Pada awalnya kau menolak, tentu, kau belum mengenalku. Akhirnya aku melepaskan jaketku dan mengerudungimu dengan jaket itu. Untunglah aku melakukan itu, sebab tubuhmu tak kuat lagi bertahan dalam hujan, dan kau pun roboh. Aku membopongmu pulang ke rumahku, yang untungnya tidak begitu jauh dari taman. Orang tuaku sepertinya tidak terlalu suka dengan kedatanganmu yang tiba-tiba. Tapi mereka tetap bersikap ramah padamu, Mereka tidak akan bersikap tidak sopan terhadap tamu yang datang, apalagi kau sedang sakit.

Sementara aku mengenang saat pertama kita bertemu, mataku bergerak menyusuri setiap jengkal taman. Taman itu sepi, tidak ada siapapun di sana. Hujan yang baru reda dan langit yang masih gelap menambah kesan suram. Bahkan bunga kesukaanmu pun seolah menyadari perasaanku saat ini. Bunga itu layu, meskipun hujan baru saja turun. Ah, rupanya batangnya patah. Bukan kau kan, yang mematahkannya? Ya, aku tahu. Aku percaya padamu, terus percaya, bahkan bila kau bersalah, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk melindungimu.

Aku harus memaksakan kakiku untuk tetap berjalan, karena masa lalu mulai datang dan menghantuiku. Aku tidak ingin menangis dan terlihat cengeng di depanmu. Meskipun jika kau melihatku sedih, biasanya kau pasti akan segera datang dan menghiburku dengan suaramu yang lembut. Dalam sekejap, aku sudah mampu untuk tersenyum dan tertawa lagi melihat tingkahmu yang lucu, menurutku, ya, mungkin hanya menurutku. Tapi, aku tahu, sekarang kau tak akan lagi repot-repot menenangkanku, atau sekedar mengelus tanganku, seperti yang biasa kau lakukan. Tenanglah, kau tak perlu melakukannya lagi. Aku bisa menjaga diriku sendiri.

Dua minggu yang lalu, kau sempat marah padaku. Waktu itu aku sedang sibuk belajar demi mempersiapkan ujian yang akan kuhadapi. Tiba-tiba saja kau menghampiriku. Kau tentu tahu, bahwa ujian tinggal sehari lagi, jadi aku tidak ingin diganggu oleh siapapun seharian penuh. Bahkan aku tidak mengangkat telepon maupun SMS seharian itu. Dalam situasi yang lain, tentu aku akan segera mengerti, bahwa kau sedang ingin bermanja padaku. Tapi, saat itu pikiranku sedang terfokus ke pelajaran, sehingga aku mengusirmu dengan cukup kasar. Kau pergi dengan sedih dan marah. Bahkan katanya kau tidak mau makan selama tiga hari itu. Aku mencoba untuk menemanimu. Syukurlah, akhirnya kau mau makan juga. Waktu itu aku merasa sangat bersalah, maka kucoba untuk meminta maaf padamu. Tapi, bahkan sebelum aku mengatakannya, aku tahu kau sudah memaafkanku. Sinar matamu saat kau bertatapan denganku sudah cukup untuk menyatakan itu.

Tiga hari yang lalu, kau datang lagi. Saat itu, entah kenapa, aku tidak ingin membiarkanmu pergi, bahkan untuk lima menit saja. Seolah ada sesuatu yang meremas ulu hatiku dan kepalaku. Tapi, kau tetap saja membandel. Kau berlari-lari ke jalanan, hanya untuk menggodaku, dan aku berusaha menghentikanmu, tapi terlambat. Deritan rem masih jelas terdengar di telingaku sampai saat ini. Jeritanmu juga, masih terngiang-ngiang di kepalaku, ”meeeoooooonnnggg!!!!” Aku shock, badanmu berlumuran darah dari kepala sampai kaki karena terseret di jalan. Aku mencoba membawamu menemui dokter, tapi lagi-lagi aku terlambat. Kau menghembuskan nafas terakhirmu bahkan sebelum aku sempat menyalakan motorku untuk mengantarmu.

Lihatlah, aku sudah sampai di sini, membawa sekuntum bunga putih tanda berduka cita. Gundukan tanah merah basah seolah siap menantiku, menggantikan sosokmu yang manis dan lucu. Sekali lagi, mungkin hanya menurutku. Tapi...tetap saja...Dan kali ini, aku tak bisa menghentikan air mataku yang perlahan menetes. Tetes demi tetes, langsung tercampur dengan genangan air di sekitar pusaramu.

Kau tahu, suatu hari aku bisa saja mencari penggantimu, aku bisa saja melupakan lembutnya suaramu, melupakan warna matamu, melupakan hangat tubuhmu, bahkan mungkin melupakan kedamaian yang kudapat dari sorot matamu. Tapi, ada satu hal yang kujanjikan tak akan pernah berubah. Aku akan selalu ingat, bahwa aku pernah menyayangimu. Selamanya, aku akan terus ingat itu.