Jumat, 12 Desember 2014

Renungan sore di Al F**h

Bukan, saya bukan penggemar fanatik Jokowi. Tapi mendengarkan orang di sebelah yang lagi liqo dan membicarakan kepemerintahan sekarang, kok rasanya seperti mendengar program cuci otak. (*pasang headset)

Sepertinya kita lupa untuk ber-khusnuzhan.

Sepertinya kita lupa untuk introspeksi diri. Lupa untuk mundur sebentar dari emosi yang meluap dan mencari sumber berita lain. Mungkin ini efek media sosial juga. Terkesan seolah-olah apapun yang terpampang di wall kita itu benar.

 Bukan, bukan masalah perubahan zaman atau sekulerisasi atau yang lain sebagainya. Sebagai umat beragama, saya setuju bahwa memang kita harus mempertahankan konsep dan nilai-nilai umat beragama. Tapi  sepertinya kita melupakan bahwa ada umat agama lain yang mungkin adalah tetangga kita. Yang mungkin duduk di angkot sebelah kita. Yang mungkin saat ini berpapasan dengan kita, atau malah anggota keluarga kita sendiri.

Bayangkan apa yang terlintas di pikiran mereka ketika melihat protes-protes yang radikal dan bernuansa agamis di Indonesia saat ini.

Masalah SD, SMP, SMA, S1, S2, daaan yang lain itu, walau memang bukan jadi contoh yang baik (nggak bisa dipake buat nakut-nakutin anak kecil: kalau nggak sekolah nanti nggak bisa jadi menteri lho!), toh dipilih berdasarkan alasan lain. Kalau memang sang 'tertuduh' mampu, lalu untuk apa diprotes? Kalau ada orang lain yang lebih berpengalaman di lapang dan memiliki gelar pendidikan lebih tinggi, maka ajukanlah ia. Tapi di periode selanjutnya. Atau setidaknya biarkanlah sang 'tertuduh' mengemban tugasnya selama beberapa waktu. Lalu evaluasi bersama. Kalau belum apa-apa sudah dihujat sana-sini, bagaimana kita bisa tahu apakah sang 'tertuduh' memang mampu mengemban tugasnya?

Sabar.

Coba berpikir cerdas.

Strategis.

Lakukan sesuai jalur hukum

Kalau mampu, hadapi langsung. Diskusi.

Kalau belum, mari luangkan waktu untuk memperbaiki diri agar bisa menjadi pemimpin yang lebih baik untuk negeri ini. Mulai sekarang.

Tolong, jangan sampai waktu kita habis untuk berhujat dan memancing perpecahan antar umat beragama di negeri ini.

Senin, 10 November 2014

Status!

Lately I've been trying to made my own comic. I've submit one of them to ngomik.com, titled "STATUS". Actually it's something that I created for a competition, but I couldn't met the deadline (shame on me!). Here are some of the covers:



I still need to work on my color pages (and background. and character consistency. and layout. and... well, all of them need more work). About the story, it's basically something that strikes me during the election period, since there were so many post on the social media related to the candidates. It really is a hint to how social media can affect our daily lives and our principle nowadays.

If you have some spare time, please come and read it :) (though I myself have been struggling to meet my own deadline, haha)

Rabu, 09 Juli 2014

Wishful thinking

A1: Yosh! Ayo belajar (otodidak) bahasa Jepang lagi, biar bisa baca light novels!
Z: Eh, bukannya ada yang salah ya sama niatnya?
A2: Nggak apa sih, nggak akan percuma juga kok. Ayo belajar bahasa Jepang! Ganbatte!

(Record of todays state of mind)

Melanjutkan dari post sebelumnya tentang Mekakucity Actors, kali ini postingan ini dibuat setelah menyelesaikan series ini. Kesimpulannya?

Kecewa.
Berat.

Setelah sukses menghabiskan waktu untuk menghabiskan dan menikmati proyek aslinya (Kagerou Project/ Heat Haze Project) dengan sangat semangat, tiba-tiba dibanting dengan kenyataan bahwa animenya diselesaikan dengan sangat terburu-buru. Belum lagi bagian Ayano's Theory of Happines... seriously, even though i really liked Shaft surrealism style, this is out. Certainly OUT.

Untungnya, sudah sempat membaca light novelnya sampai jilid 3. Dan jilid 5nya dilisensi. Sedih (berhasil dapat translate-annya sih, jadi masih bersyukur).

Ngomong-ngomong, light novel ada yang berniat menerbitkan nggak sih di Indonesia? Dan setelah muter-muter di Gramedia, ternyata..... ada. Yah, meskipun masih tipe one-shot yang pamornya belum ada. Guess the publisher didn't want to take too much risk by publishing a popular series, which could go on and on and on into many volumes.

Penerbitnya? Shining-rose publisher (kalau nggak salah).

Light novels memang agak aneh kalau dibaca ya~~ terutama setelah terbiasa dengan gaya novel klasik, pemecahan dialog dan aksi di light novels agak menyebalkan. Apa harus disesuaikan dulu formatnya dengan novel biasa? Tapi bukannya itu menyalahi esensi dari light novelnys sendiri? (Hmm, postingan ini dibuat setelah berkali-kali baca light novel terjemahan inggris yang banyak beredar dari Baka Tsuki and others, serta setelah mengecek sendiri format light novels yang dijual di Jepang sana *dilakukan di Narita, cuma bisa ngecek format doang, secara belum sanggup baca sampai segitunya. hiks)

Well, onto the day in which i could read any novels without translation. Hopefully :)