“Bosan,” Keluhan itu terluncur begitu saja dari mulut Panca.
Aku
menahan radang. Di luar hujan belum lagi berhenti, masih menyisakan
bunyi cerecah air membelah tanah, dan guntur serta kilat yang
bersahut-sahutan. Kepalaku basah kuyup, sisa kehujanan barusan. Belum
lagi bajuku. Basah, lepek, lemas, kusut, lengket, itulah keadaannya saat
ini. Dan juga keadaanku, mungkin. Syukur tak ada cermin tempat aku
dapat melihat diriku sendiri.
“Panca
mau didongengi apa?” tanyaku mencoba bersabar. Baru saja aku sampai di
rumah, putraku ini sudah rewel. Memang jadi kebiasaannya untuk minta
didongengi sebelum tidur. Dalam keadaan biasa, tentu aku tak keberatan.
Masalahnya, pekerjaanku baru saja selesai, tidak, belum selesai malah,
dan aku pun baru saja sampai di rumah setelah mati-matian menembus
hujan. Ragaku penat, otakku pepat.
Kuulurkan
tanganku ke rak buku yang terletak di samping tempat tidur. Berbagai
buku dongeng terpampang di situ. “Mau dongeng apa?” ulangku.
“Sangkuriang? Pahit Lidah?” Panca masih menggeleng mendengar tawaranku.
Aku putus asa. “Robin Hood? Peter Pan?” tawarku lagi. Ayolah,
mengangguklah, desisku dalam hati. Cepatlah, aku sudah tak sabar ingin
mandi. Cepat pilih, agar cepat pula aku mendongengimu. Cepat pilih, agar
cepat pula kau tertidur. Cepat pilih, maka semakin cepat pula aku
mandi. Suamiku pasti sudah di kamar tidur saat ini. Ia memang tak pernah
mau mendongengi Panca. Tak punya jiwa, katanya. Lantas bagaimana ia
bisa hidup jika tak ada jiwa?
“Bosan,”
kata yang sama lagi. “Mama sudah pernah cerita itu sebelumnya,” Alasan
itu meluncur dari bibirnya yang mungil. Ah, buah hatiku yang tampan! Tak
sia-sia aku menamaimu Panca. Bukan, bukan sebab ia putraku yang kelima
maka ia kunamai demikian. Ia anak sulung. Dan karena ia anak sulung,
pikiranku dipenuhi kemungkinan-kemungkinan mengerikan yang dapat
meruntuhkan hati seorang ibu ketika ia mengandung. Bagaimana jika ia
lahir kelak? Sempurnakah ia? Tak ada yang kurang dengan tangannyakah?
Kakinya? Jari-jarinya? Telinganya? Bisakah ia mendengar? Bagaimana
bibirnya? Sumbingkah? Dan oh, bagaimana dengan matanya? Bisakah ia
melihatku kelak, menatapku penuh cinta? Kepalanya? Hidrosefaluskah ia?
Sempurnakah tulang tengkoraknya? Kempeskah kepalanya?
Pertanyaan-pertanyaan macam itu terus berkecamuk dalam hatiku ketika
kandunganku mencapai tujuh bulan.
Oleh
sebab itulah ia kunamai Panca. Sebab aku berharap kelak panca indranya
dapat berfungsi sempurna, seperti halnya milikku. Seperti halnya milik
suamiku. Panggil aku munafik, panggil aku kufur, atau apa saja.
Bukankah layak kalau seorang ibu mengharap putranya tumbuh sempurna?
Kini kuamati wajahnya. Ya, ia memang sempurna. Rambut hitam ikal yang
tersangga dengan rapi di atas kepala yang sempurna, bola mata hitam
berkilau yang berpijar di balik tirai bulu mata yang lentik, alis yang
tebal dan nyaris bertaut, hidung yang bangir, bibir yang mungil,
sepasang telinga yang bercupang sedang, apalagi yang kurang? Pandanganku
meluruh ke arah kakinya. Kedua kakinya yang sempurna tersembunyi di
balik selimut. Di balik bantal yang ia letakkan di pangkuannya. Kedua
tangannya. Jari-jarinya. Lengkap semuanya.
“Mama cerita yang lain saja,” pinta Panca, membuyarkan lamunanku.
“Apa? Cerita tentang nabi-nabi?” ujarku mencari alternatif.
Panca
menggeleng. “Sudah bosan juga. Mama bikin cerita baru saja,” katanya.
Ini anak! Dikiranya dengan mudah saja orang menciptakan cerita-cerita
yang dikenang sepanjang masa. Aku memutar otakku, berusaha mencari
alasan. Tak bisa. Otakku terlanjur kaku, ide tak satu pun bersemu. Ingin
marah aku jadinya.
Tapi
demi melihat sepasang mata berpijar itu, hatiku luluh. Ah, mata itu!
Tak punya pretensi apa-apa, tak punya galau apa-apa. Tak ada jejak
gamang sedikitpun kutemukan dalam matanya. Mata yang amat berbeda dari
kebanyakan mata yang kutemui belakangan ini. Mata yang tak mengenal
warna warni kehidupan. Mendadak aku menggigil. Baikkah itu? Baikkah
untuk hanya melihat hitam putih dari segala hal? Bagaimana hidupnya
kelak, jika ia mempercayai dunia ini hanya sebagai tempat yang baik-baik
saja?
Maka kuputuskan
untuk mendongeng. Biarlah kataku terbata, biarlah anganku tak capai,
selama aku bisa menanamkan ide baru di kepala Panca.
“Pada
zaman dahulu kala,” kataku memulai. “Terdapatlah dua buah kerajaan yang
letaknya saling berdampingan. Kerajaan pertama, yang ada di sebelah
kanan, adalah kerajaan yang dihuni oleh orang-orang baik. Penduduknya
ramah, jujur, setia, rajin, pokoknya segala macam sifat baik bisa
ditemukan pada diri mereka,” Aku menarik nafas,”Sementara, kerajaan yang
di sebelah kiri diduduki oleh orang-orang yang buruk sifatnya. Mereka
malas, tamak, pembohong, dan sebagainya.” Entah mengapa aku menggunakan
perbandingan kiri dan kanan dalam ceritaku. Mungkin karena pikiran umum
yang menyatakan bahwa kanan lebih baik daripada kiri. Mengapa? Apa
karena kita terbiasa membersihkan kotoran dengan tangan kiri? Bukankah
seharusnya kita berterima kasih kepada kiri karena telah menyediakan
dirirnya dipakai untuk hal-hal sedemikian? Ah, sudahlah. Lama-lama jalan
pikirku jadi mirip Panca.
“Di
antara kedua negeri tersebut terdapatlah sebuah tembok tinggi besar.
Tidak ada yang tahu kapan tembok itu didirikan. Tidak ada yang peduli.
Tembok itu sudah ada di sana jauh sebelum mereka ada. Tembok itu sudah
jadi bagian dari hidup mereka, sehingga tidak ada yang mempertanyakan
kehadiran tembok itu. Dan yang terpenting, tembok itu menghalangi
pandangan mereka satu sama lain. Negeri di kanan tak pernah tahu ada
bangsa lain di sebelah kirinya, dan demikian sebaliknya.”
“Bagaimana dengan suara? Dan bau?” Tanya Panca.
“Suara
hanya terdengar dari kerajaan kiri. Suara teriakan, jeritan, dan isak
tangis menjadi sesuatu yang wajar di sana. Penduduk kanan tak menyukai
suara itu, maka mereka pun perlahan-lahan hidup menjauhi tembok,
menganggap tembok tersebut tiada. Selain suara, bau tak sedap juga
menguar dari kerajaan kiri. Bau darah, keringat, pesing, saluran air
kotor, sampah, dan sebagainya bercampur jadi satu. Sementara bau yang
berasal dari kerajaan kanan adalah bau rerumputan yang segar, bau tanah
basah, bau bebungaan, dan bau detrichor,” jawabku
“Apa itu bau detrichor?”
“Bau kulit kayu setelah terkena hujan,” tanggapku pendek.
“Oh. Aku juga suka bau itu,” komentar Panca.
Kuteruskan
ceritaku, “Lama kelamaan, penduduk kiri penasaran dengan aroma segar
dari kanan yang mereka hirup setiap harinya. Mereka ingin tahu. Dan
terlebih lagi, mereka menginginkan aroma itu menjadi milik mereka. Maka
mereka pun memutuskan untuk bekerja sama meruntuhkan tembok itu.”
“Begitu
tembok runtuh, yang menanti adalah pemandangan yang sama sekali baru
bagi mereka. Langit biru jernih, udara segar, rerumputan yang hijau,
bebungaan yang mekar, bahkan sampai serangga yang terbng pun, semuanya
indah bagi mereka. Sifat tamak penduduk kiri pun kambuh. Mereka ingin
memiliki, menguasai, menduduki tanah negeri kanan,” Suara guntur di
kejauhan mengagetkan Panca. Aku tersenyum sedikit. Suara itu menambah
ketegangan dari ceritaku.
“Singkat cerita, mereka
menyerang penduduk negeri kanan. Orang-orang kanan yang tak pernah
mengenal kata perang sebelumnya, tak pernah melihat dan memegang senjata
sebelumnya, harus pasrah melihat penduduk kiri menyerbu tanah-tanah
mereka. Penduduk kanan diinjak-injak. Mereka berlarian kemana-mana. Yang
tertinggal akan mati oleh serangan penduduk kiri. Suasana kacau.”
“Mereka dibunuh?” mata Panca membulat ngeri. Aku mengangguk mengiyakan.
“Untungnya,
keadaan ini dengan cepat segera sampai ke telinga raja negeri kanan,”
Aku melihat sinar harapan memenuhi mata Panca. “Sang raja murka. Segera
ia memerintahkan para prajurit, para tentara untuk turun ke jalan-jalan,
untuk membantu rakyat kanan meloloskan diri dari serangan penduduk
kiri, dan juga untuk mengusir penduduk kiri dari tanah kanan,” Panca
bersorak.
“Perintah raja
dengan cepat dilaksanakan. Prajurit-prajurit yang rajin berlatih itu
dengan cepat berhasil mengamankan keadaan. Raja pun tenang. Namun dalam
hantinya terbersit rasa penasaran, ingin melihat dengan mata kepala
sendiri keadaan rakyatnya,”Aku berhenti, menelusuri jejak kagum pada
raut Panca. “Raja pun menyamar jadi rakyat jelata. Ia berkeliling di
jalan-jalan sebuah desa kecil di dekat istana. Benar, keadaan telah
berubah. Sisa-sisa kekejaman penduduk kiri masih ada. Masih terdapat
percikan darah di sana-sini. Masih ada bau gosong menyeruak di antara
harumnya bunga. Tapi setidaknya sudah tak ada lagi penduduk kiri yang
menyiksa rakyat kanan.”
“Raja
puas pada hasil pekerjaan para prajuritnya. Ia memutuskan untuk segera
kembali ke istananya. Namun sebelum ia berbalik arah, telinganya
mendengar sesuatu yang tak beres,” Aku mengulur waktu, memperpanjang
ketegangan. “Ada suara tangisan seorang anak laki-laki. Sang raja
mengira itu suara tangis anak yang kehilangan orang tuanya. Maka ia pun
mencari asal suara itu. Ia ingin menghibur anak tersebut.”
“Raja
menemukan anak itu tersembunyi di antara puing-puing rumah. Tubuhnya
mengkerut, badannya menggigil ketakutan. Raja menyapanya dengan ramah.
Ia mencoba mengibur anak itu, mengatakan bahwa sekarang tak ada lagi
rakyat kiri yang akan mengganggunya. Orang tua anak itu mungkin telah
pergi, tetapi ia kini tak perlu takut lagi, sebab raja akan menanggung
seluruh hidupnya. Namun anak itu menggeleng. Bukan itu yang membuatku
takut, kata anak itu.”
“Lalu apa?” Sela Panca tak sabar. Aku membelai rambutnya, menyabarkan putraku.
“Raja
juga bertanya begitu. Dengan takut-takut anak itu mengulurkan
tangannya, lalu menunjuk sesuatu di kejauhan. Raja menyipitkan matanya,
berusaha mencari tahu apa itu. Tak lama, disadarinya apa yang tengah
dilihatnya.”
“Sekelompok
prajurit kanan, bersama beberapa rakyat kanan, tengah bahu membahu
menangkapi penyerang dari negeri kiri. Tetapi mereka bukan hanya
menangkapi. Mereka menyikasa mereka. Mereka sudah terlalu banyak
kehilangan, harta benda, nyawa orang-orang yang disayangi, bahkan
anggota tubuh mereka sendiri. Mereka dendam. Dan mereka ingin
membalaskan dendam itu. Maka, mereka menyiksa penduduk kiri yang
berhasil mereka tangkap.”
Panca terbelalak. “Bukankah orang-orang kanan adalah orang-orang yang baik?”
“Ya,”
jawabku. “Tapi mereka sakit hati karena perbuatan penduduk kiri. Dan
orang yang sakit hati terkadang mungkin melakukan apa saja.”
“Pucat
wajah raja melihat pemandangan yang ada di depannya. Segera ia kembali
ke istana, mengajak anak itu bersamanya, dan memerintahkan para algojo
untuk menangkapi dan menghukum orang-orang yang menyiksa penduduk kiri.”
“Para
algojo melaksanakan perintah raja. Demikian banyaknya penduduk negeri
kanan yang menaruh dendam tehadap rakyat kiri, sehingga para algojo
harus bekerja siang malam untuk menangkap mereka semua. Setiap mereka
menangkap satu orang, tampaknya ada orang lain yang menganiaya dan harus
ditangkap. Akhirnya para algojo itu pun lelah dan mulai memberi hukuman
mati pada setiap rakyat kanan yang menganiaya. Supaya cepat habis,
begitu pikir mereka. Supaya kejahatan yang telah timbul pada orang-orang
itu tidak menular pada penduduk kanan lainnya. Dan memang, saking
banyaknya penduduk kanan yang menyiksa rakyat kiri, hukuman mati ini
dilaksanakan tiap hari. Nyaris seperti pembunuhan massal .”
“Kejahatan itu,..bisa menular?” Tanya Panca
Aku
mengangguk meyakinkan Panca. “Kabar tentang apa yang dilakukan para
algojo ini pun sampai ke telinga raja. Raja menilai perbuatan itu tidak
berperikemanusiaan. Dan lagi-lagi, raja murka. Para algojo disuruhnya
menghadap, dan diturunkan titah hukuman mati bagi para algojo tersebut.
Para algojo langsung pucat mukanya. Salah satu di antara mereka berusaha
bediri, menjelaskan keadaan di kerajaan kepada raja, tetapi raja tidak
mau mendengar.”
“Saat
itu, si anak kecil yang telah diangkat raja sebagai anak angkatnya,
memandang raja dan mulai menangis. Raja terkejut. Ia bertanya, ada apa?
Sudahlah, jangan menangis. Sebentar lagi negeri ini akan kembali menjadi
negeri indah yang damai seperti kau kenal sebelumnya.”
“Tetapi,
anak itu terus menangis. Raja kebingungan, ia terus-menerus bertanya
ada apa. Akhirnya, di hadapan seluruh algojo yang pias karena hukuman
mati yang dialamatkan kepada mereka, anak kecil itu membuka mulutnya.”
“Kau
tidak adil, katanya kepada raja. Orang-orang ini hnya berusaha menuruti
perintahmu. Kenapa kau malah seenaknya menjatuhkan hukuman mati kepada
mereka, dan bukannya mendengarkan mereka?”
“Demi
mendengar itu, sang raja memucat juga. Ini pertama kalinya ia disebut
tidak adil. Salah satu dari algojo pun berdiri, dan membenarkan ucapan
si anak. Benar, katanya. Kami hanya melaksanakan perintahmu. Hanya
melaksanakan keinginanmu supaya kerajaan ini kembali menjadi kerajaan
yang damai dan sentosa. Si algojo menuding raja. Tapi kau malah
seenaknya menghukum kami tanpa perhitungan apa-apa lagi. Kau raja yang
bebal! Tidak adil! Tidak bijaksana! Kau tidak pantas menjadi raja kami!
Si algojo diam sebentar, berpikir. Lagipula, semua ini sebenarnya
terjadi karena kesalahanmu, katanya kemudian. Seandainya saja sejak awal
kau mendidik prajuritmu agar berlembut hati, tentu semua ini tidakakan
terjadi. Bukan! seandainya kau mendidik rakyatmu agar dapat membela
diri, seharusnya semua ini tidak akan terjadi. Bukan! Seandainya kau
dapat mempertahankan negeri ini, tentu semua ini tidak akan terjadi. Kau
gagal sebagai raja!”
“Algojo
lainnya bangkit, melihat kesempatan untuk mempertahankan hidup. Benar!
Serunya. Kau gagal sebagai raja! Dan karena kegagalanmu itu, kau membuat
sekian banyak orang kehilangan nyawanya. Bahkan kau kemudian
melimpahkan kesalahanmu itu kepada orang lain. Kau menyuruh mereka
bertanggung jawab atas kesalahanmu. Kau menghukum mereka atas
kesalahanmu. Ribuan orang sudah mati. Sekarang kau yang harus mati,
bukan kami!”
“Suara
gumaman terdengar di mana-mana. Para algojo sekarang sudah semuanya
berdiri mempertahankan hidup mereka dan menyalahkan raja. Mereka
berunding antar mereka. Dan akhirnya sampai pada satu kesimpulan: raja
harus mati. Gemetar raja mendengarnya. Ia diseret oleh para algojo ke
bawah pisau jagal.”
“Raja
hanya diam dii sana, ketakutan. Gumaman yang sama terrus keluar dari
mulutnya. Aku hanya ingin kerajaanku aman, damai dan sentosa. Aku hanya
ingin rakyatku aman, damai dan sentosa. Aku hanya ingin…gumaman raja
terus berlanjut sampai pisau itu memnggal kepalanya.”
Panca
menarik selimut sampai ke kepalanya, ngeri. Aku melanjutkan, “dan sejak
itu, tidak ada lagi kerajaan kiri maupun kerajaan kanan. Seluruh
penduduknya kini bercampur baur satu sama lain. Kadang mereka berbuat
jahat dan kadang mereka berbuat baik. Tembok pemisah itu tidak pernah
dibangun lagi. Da mereka bisa dibilang hidup bahagia sampai saat ini.”
Panca terdiam. Aku mengelus kepalnya. “Aku tidak suka cerita ini,” katanya parau.
Aku
menghela nafas. “Kau yang mengatakan pada mama agar mengarang dongeng.
Mama tidak pernah menjamin Panca akan menyukai dongeng yang mama buat,”
Panca merengek. Tapi ia menyerah. Mungkin ingatan tentang sang raja
masih melekat dalam benaknya.
Tak
lama kemudian Panca tertidur. Aku merapikan selimutnya, membenarkan
letak bantalnya, dan mengecup dahinya. Di luar hujan telah reda, sebab
tak kudengar lagi bunyinya. Kumatikan lampu kamar Panca sebelum keluar.
Aku bisa mandi sekarang.
Heartbroken
10 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar