Minggu, 27 Januari 2013

Dongeng Hitam Putih

“Bosan,” Keluhan itu terluncur begitu saja dari mulut Panca.
Aku menahan radang. Di luar hujan belum lagi berhenti, masih menyisakan bunyi cerecah air membelah tanah, dan guntur serta kilat yang bersahut-sahutan. Kepalaku basah kuyup, sisa kehujanan barusan. Belum lagi bajuku. Basah, lepek, lemas, kusut, lengket, itulah keadaannya saat ini. Dan juga keadaanku, mungkin. Syukur tak ada cermin tempat aku dapat melihat diriku sendiri.

“Panca mau didongengi apa?” tanyaku mencoba bersabar. Baru saja aku sampai di rumah, putraku ini sudah rewel. Memang jadi kebiasaannya untuk minta didongengi sebelum tidur. Dalam keadaan biasa, tentu aku tak keberatan. Masalahnya, pekerjaanku baru saja selesai, tidak, belum selesai malah, dan aku pun baru saja sampai di rumah setelah mati-matian menembus hujan. Ragaku penat, otakku pepat.

Kuulurkan tanganku ke rak buku yang terletak di samping tempat tidur. Berbagai buku dongeng terpampang di situ. “Mau dongeng apa?” ulangku. “Sangkuriang? Pahit Lidah?” Panca masih menggeleng mendengar tawaranku. Aku putus asa. “Robin Hood? Peter Pan?” tawarku lagi. Ayolah, mengangguklah, desisku dalam hati. Cepatlah, aku sudah tak sabar ingin mandi. Cepat pilih, agar cepat pula aku mendongengimu. Cepat pilih, agar cepat pula kau tertidur. Cepat pilih, maka semakin cepat pula aku mandi. Suamiku pasti sudah di kamar tidur saat ini. Ia memang tak pernah mau mendongengi Panca. Tak punya jiwa, katanya. Lantas bagaimana ia bisa hidup jika tak ada jiwa?

“Bosan,” kata yang sama lagi. “Mama sudah pernah cerita itu sebelumnya,” Alasan itu meluncur dari bibirnya yang mungil. Ah, buah hatiku yang tampan! Tak sia-sia aku menamaimu Panca. Bukan, bukan sebab ia putraku yang kelima maka ia kunamai demikian. Ia anak sulung. Dan karena ia anak sulung, pikiranku dipenuhi kemungkinan-kemungkinan mengerikan yang dapat meruntuhkan hati seorang ibu ketika ia mengandung. Bagaimana jika ia lahir kelak? Sempurnakah ia? Tak ada yang kurang dengan tangannyakah? Kakinya? Jari-jarinya? Telinganya? Bisakah ia mendengar? Bagaimana bibirnya? Sumbingkah? Dan oh, bagaimana dengan matanya? Bisakah ia melihatku kelak, menatapku penuh cinta? Kepalanya? Hidrosefaluskah ia? Sempurnakah tulang tengkoraknya? Kempeskah kepalanya? Pertanyaan-pertanyaan macam itu terus berkecamuk dalam hatiku ketika kandunganku mencapai tujuh bulan.

Oleh sebab itulah ia kunamai Panca. Sebab aku berharap kelak panca indranya dapat berfungsi sempurna, seperti halnya milikku. Seperti halnya milik suamiku.  Panggil aku munafik, panggil aku kufur, atau apa saja. Bukankah layak kalau seorang ibu mengharap putranya tumbuh sempurna? Kini kuamati wajahnya. Ya, ia memang sempurna. Rambut hitam ikal yang tersangga dengan rapi di atas kepala yang sempurna, bola mata hitam berkilau yang berpijar di balik tirai bulu mata yang lentik, alis yang tebal dan nyaris bertaut, hidung yang bangir, bibir yang mungil, sepasang telinga yang bercupang sedang, apalagi yang kurang? Pandanganku meluruh ke arah kakinya. Kedua kakinya yang sempurna tersembunyi di balik selimut. Di balik bantal yang ia letakkan di pangkuannya. Kedua tangannya. Jari-jarinya. Lengkap semuanya.

“Mama cerita yang lain saja,” pinta Panca, membuyarkan lamunanku.

“Apa? Cerita tentang nabi-nabi?” ujarku mencari alternatif.

Panca menggeleng. “Sudah bosan juga. Mama bikin cerita baru saja,” katanya. Ini anak! Dikiranya dengan mudah saja orang menciptakan cerita-cerita yang dikenang sepanjang masa. Aku memutar otakku, berusaha mencari alasan. Tak bisa. Otakku terlanjur kaku, ide tak satu pun bersemu. Ingin marah aku jadinya.

Tapi demi melihat sepasang mata berpijar itu, hatiku luluh. Ah, mata itu! Tak punya pretensi apa-apa, tak punya galau apa-apa. Tak ada jejak gamang sedikitpun kutemukan dalam matanya. Mata yang amat berbeda dari kebanyakan mata yang kutemui belakangan ini. Mata yang tak mengenal warna warni kehidupan. Mendadak aku menggigil. Baikkah itu? Baikkah untuk hanya melihat hitam putih dari segala hal? Bagaimana hidupnya kelak, jika ia mempercayai dunia ini hanya sebagai tempat yang baik-baik saja?

Maka kuputuskan untuk mendongeng. Biarlah kataku terbata, biarlah anganku tak capai, selama aku bisa menanamkan ide baru di kepala Panca.

“Pada zaman dahulu kala,” kataku memulai. “Terdapatlah dua buah kerajaan yang letaknya saling berdampingan. Kerajaan pertama, yang ada di sebelah kanan, adalah kerajaan yang dihuni oleh orang-orang baik. Penduduknya ramah, jujur, setia, rajin, pokoknya segala macam sifat baik bisa ditemukan pada diri mereka,” Aku menarik nafas,”Sementara, kerajaan yang di sebelah kiri diduduki oleh orang-orang yang buruk sifatnya. Mereka malas, tamak, pembohong, dan sebagainya.” Entah mengapa aku menggunakan perbandingan kiri dan kanan dalam ceritaku. Mungkin karena pikiran umum yang menyatakan bahwa kanan lebih baik daripada kiri. Mengapa? Apa karena kita terbiasa membersihkan kotoran dengan tangan kiri? Bukankah seharusnya kita berterima kasih kepada kiri karena telah menyediakan dirirnya dipakai untuk hal-hal sedemikian? Ah, sudahlah. Lama-lama jalan pikirku jadi mirip Panca.

“Di antara kedua negeri tersebut terdapatlah sebuah tembok tinggi besar. Tidak ada yang tahu kapan tembok itu didirikan. Tidak ada yang peduli. Tembok itu sudah ada di sana jauh sebelum mereka ada. Tembok itu sudah jadi bagian dari hidup mereka, sehingga tidak ada yang mempertanyakan kehadiran tembok itu. Dan yang terpenting, tembok itu menghalangi pandangan mereka satu sama lain. Negeri di kanan tak pernah tahu ada bangsa lain di sebelah kirinya, dan demikian sebaliknya.”

“Bagaimana dengan suara? Dan bau?” Tanya Panca.

“Suara hanya terdengar dari kerajaan kiri. Suara teriakan, jeritan, dan isak tangis menjadi sesuatu yang wajar di sana. Penduduk kanan tak menyukai suara itu, maka mereka pun perlahan-lahan hidup menjauhi tembok, menganggap tembok tersebut tiada. Selain suara, bau tak sedap juga menguar dari kerajaan kiri. Bau darah, keringat, pesing, saluran air kotor, sampah, dan sebagainya bercampur jadi satu. Sementara bau yang berasal dari kerajaan kanan adalah bau rerumputan yang segar, bau tanah basah, bau bebungaan, dan bau detrichor,” jawabku

“Apa itu bau detrichor?”

“Bau kulit kayu setelah terkena hujan,” tanggapku pendek.

“Oh. Aku juga suka bau itu,” komentar Panca.

Kuteruskan ceritaku, “Lama  kelamaan, penduduk kiri penasaran dengan aroma segar dari kanan yang mereka hirup setiap harinya. Mereka ingin tahu. Dan terlebih lagi, mereka menginginkan aroma itu menjadi milik mereka. Maka mereka pun memutuskan untuk bekerja sama meruntuhkan tembok itu.”
“Begitu tembok runtuh, yang menanti adalah pemandangan yang sama sekali baru bagi mereka. Langit biru jernih, udara segar, rerumputan yang hijau, bebungaan yang mekar, bahkan sampai serangga yang terbng pun, semuanya indah bagi mereka. Sifat tamak penduduk kiri pun kambuh. Mereka ingin memiliki, menguasai, menduduki tanah negeri kanan,” Suara guntur di kejauhan mengagetkan Panca. Aku tersenyum sedikit. Suara itu menambah ketegangan dari ceritaku.
“Singkat cerita, mereka menyerang penduduk negeri kanan. Orang-orang kanan yang tak pernah mengenal kata perang sebelumnya, tak pernah melihat dan memegang senjata sebelumnya, harus pasrah melihat penduduk kiri menyerbu tanah-tanah mereka. Penduduk kanan diinjak-injak. Mereka berlarian kemana-mana. Yang tertinggal akan mati oleh serangan penduduk kiri. Suasana kacau.”

“Mereka dibunuh?” mata Panca membulat ngeri. Aku mengangguk mengiyakan.

“Untungnya, keadaan ini dengan cepat segera sampai ke telinga raja negeri kanan,” Aku melihat sinar harapan memenuhi mata Panca. “Sang raja murka. Segera ia memerintahkan para prajurit, para tentara untuk turun ke jalan-jalan, untuk membantu rakyat kanan meloloskan diri dari serangan penduduk kiri, dan juga untuk mengusir penduduk kiri dari tanah kanan,” Panca bersorak.

“Perintah raja dengan cepat dilaksanakan. Prajurit-prajurit yang rajin berlatih itu dengan cepat berhasil mengamankan keadaan. Raja pun tenang. Namun dalam hantinya terbersit rasa penasaran, ingin melihat dengan mata kepala sendiri keadaan rakyatnya,”Aku berhenti, menelusuri jejak kagum pada raut Panca. “Raja pun menyamar jadi rakyat jelata. Ia berkeliling di jalan-jalan sebuah desa kecil di dekat istana. Benar, keadaan telah berubah. Sisa-sisa kekejaman penduduk kiri masih ada. Masih terdapat percikan darah di sana-sini. Masih ada bau gosong menyeruak di antara harumnya bunga. Tapi setidaknya sudah tak ada lagi penduduk kiri yang menyiksa rakyat kanan.”

“Raja puas pada hasil pekerjaan para prajuritnya.  Ia memutuskan untuk segera kembali ke istananya. Namun sebelum ia berbalik arah, telinganya mendengar sesuatu yang tak beres,” Aku mengulur waktu, memperpanjang ketegangan. “Ada suara tangisan seorang anak laki-laki. Sang raja mengira itu suara tangis anak yang kehilangan orang tuanya. Maka ia pun mencari asal suara itu. Ia ingin menghibur anak tersebut.”

“Raja menemukan anak itu tersembunyi di antara puing-puing rumah. Tubuhnya mengkerut, badannya menggigil ketakutan. Raja menyapanya dengan ramah. Ia mencoba mengibur anak itu, mengatakan bahwa sekarang tak ada lagi rakyat kiri yang akan mengganggunya. Orang tua anak itu mungkin telah pergi, tetapi ia kini tak perlu takut lagi, sebab raja akan menanggung seluruh hidupnya. Namun anak itu menggeleng. Bukan itu yang membuatku takut, kata anak itu.”

“Lalu apa?” Sela Panca tak sabar. Aku membelai rambutnya, menyabarkan putraku.

“Raja juga bertanya begitu. Dengan takut-takut anak itu mengulurkan tangannya, lalu menunjuk sesuatu di kejauhan. Raja menyipitkan matanya, berusaha mencari tahu apa itu. Tak lama, disadarinya apa yang tengah dilihatnya.”

“Sekelompok prajurit kanan, bersama beberapa rakyat kanan, tengah bahu membahu menangkapi penyerang dari negeri kiri. Tetapi mereka bukan hanya menangkapi. Mereka menyikasa mereka. Mereka sudah terlalu banyak kehilangan, harta benda, nyawa orang-orang yang disayangi, bahkan anggota tubuh mereka sendiri. Mereka dendam. Dan mereka ingin membalaskan dendam itu. Maka, mereka menyiksa penduduk kiri yang berhasil mereka tangkap.”

Panca terbelalak. “Bukankah orang-orang kanan adalah orang-orang yang baik?”

“Ya,” jawabku. “Tapi mereka sakit hati karena perbuatan penduduk kiri. Dan orang yang sakit hati terkadang mungkin melakukan apa saja.”

“Pucat wajah raja melihat pemandangan yang ada di depannya. Segera ia kembali ke istana, mengajak anak itu bersamanya, dan memerintahkan para algojo untuk menangkapi dan menghukum orang-orang yang menyiksa penduduk kiri.”

“Para algojo melaksanakan perintah raja. Demikian banyaknya penduduk negeri kanan yang menaruh dendam tehadap rakyat kiri, sehingga para algojo harus bekerja siang malam untuk menangkap mereka semua. Setiap mereka menangkap satu orang, tampaknya ada orang lain yang menganiaya dan harus ditangkap. Akhirnya para algojo itu pun lelah dan mulai memberi hukuman mati pada setiap rakyat kanan yang menganiaya. Supaya cepat habis, begitu pikir mereka. Supaya kejahatan yang telah timbul pada orang-orang itu tidak menular pada penduduk kanan lainnya. Dan memang, saking banyaknya penduduk kanan yang menyiksa rakyat kiri, hukuman mati ini dilaksanakan tiap hari. Nyaris seperti pembunuhan massal .”

“Kejahatan itu,..bisa menular?” Tanya Panca

Aku mengangguk meyakinkan Panca. “Kabar tentang apa yang dilakukan para algojo ini pun sampai ke telinga raja. Raja menilai perbuatan itu tidak berperikemanusiaan. Dan lagi-lagi, raja murka. Para algojo disuruhnya menghadap, dan diturunkan titah hukuman mati bagi para algojo tersebut. Para algojo langsung pucat mukanya. Salah satu di antara mereka berusaha bediri, menjelaskan keadaan di kerajaan kepada raja, tetapi raja tidak mau mendengar.”

“Saat itu, si anak kecil yang telah diangkat raja sebagai anak angkatnya, memandang raja dan mulai menangis. Raja terkejut. Ia bertanya, ada apa? Sudahlah, jangan menangis. Sebentar lagi negeri ini akan kembali menjadi negeri indah yang damai seperti kau kenal sebelumnya.”

“Tetapi, anak itu terus menangis. Raja kebingungan, ia terus-menerus bertanya ada apa. Akhirnya, di hadapan seluruh algojo yang pias karena hukuman mati yang dialamatkan kepada mereka, anak kecil itu membuka mulutnya.”

“Kau tidak adil, katanya kepada raja. Orang-orang ini hnya berusaha menuruti perintahmu. Kenapa kau malah seenaknya menjatuhkan hukuman mati kepada mereka, dan bukannya mendengarkan mereka?”

“Demi mendengar itu, sang raja memucat juga. Ini pertama kalinya ia disebut tidak adil. Salah satu dari algojo pun berdiri, dan membenarkan ucapan si anak. Benar, katanya. Kami hanya melaksanakan perintahmu. Hanya melaksanakan keinginanmu supaya kerajaan ini kembali menjadi kerajaan yang damai dan sentosa. Si algojo menuding raja. Tapi kau malah seenaknya menghukum kami tanpa perhitungan apa-apa lagi. Kau raja yang bebal! Tidak adil! Tidak bijaksana! Kau tidak pantas menjadi raja kami! Si algojo diam sebentar, berpikir. Lagipula, semua ini sebenarnya terjadi karena kesalahanmu, katanya kemudian. Seandainya saja sejak awal kau mendidik prajuritmu agar berlembut hati, tentu semua ini tidakakan terjadi. Bukan! seandainya kau mendidik rakyatmu agar dapat membela diri, seharusnya semua ini tidak akan terjadi. Bukan! Seandainya kau dapat mempertahankan negeri ini, tentu semua ini tidak akan terjadi. Kau gagal sebagai raja!”

“Algojo lainnya bangkit, melihat kesempatan untuk mempertahankan hidup. Benar! Serunya. Kau gagal sebagai raja! Dan karena kegagalanmu itu, kau membuat sekian banyak orang kehilangan nyawanya. Bahkan kau kemudian melimpahkan kesalahanmu itu kepada orang lain. Kau menyuruh mereka bertanggung jawab atas kesalahanmu. Kau menghukum mereka atas kesalahanmu. Ribuan orang sudah mati. Sekarang kau yang harus mati, bukan kami!”

“Suara gumaman terdengar di mana-mana. Para algojo sekarang sudah semuanya berdiri mempertahankan hidup mereka dan menyalahkan raja. Mereka berunding antar mereka. Dan akhirnya sampai pada satu kesimpulan: raja harus mati. Gemetar raja mendengarnya. Ia diseret oleh para algojo ke bawah pisau jagal.”

“Raja hanya diam dii sana, ketakutan. Gumaman yang sama terrus keluar dari mulutnya. Aku hanya ingin kerajaanku aman, damai dan sentosa. Aku hanya ingin rakyatku aman, damai dan sentosa. Aku hanya ingin…gumaman raja terus berlanjut sampai pisau itu memnggal kepalanya.”

Panca menarik selimut sampai ke kepalanya, ngeri. Aku melanjutkan, “dan sejak itu, tidak ada lagi kerajaan kiri maupun kerajaan kanan. Seluruh penduduknya kini bercampur baur satu sama lain. Kadang mereka berbuat jahat dan kadang mereka berbuat baik. Tembok pemisah itu tidak pernah dibangun lagi. Da mereka bisa dibilang hidup bahagia sampai saat ini.”

Panca terdiam. Aku mengelus kepalnya. “Aku tidak suka cerita ini,” katanya parau.

Aku menghela nafas. “Kau yang mengatakan pada mama agar mengarang dongeng. Mama tidak pernah menjamin Panca akan menyukai dongeng yang mama buat,” Panca merengek. Tapi ia menyerah. Mungkin ingatan tentang sang raja masih melekat dalam benaknya.

Tak lama kemudian Panca tertidur. Aku merapikan selimutnya, membenarkan letak bantalnya, dan mengecup dahinya. Di luar hujan telah reda, sebab tak kudengar lagi bunyinya. Kumatikan lampu kamar Panca sebelum keluar. Aku bisa mandi sekarang.

0 komentar: