"Kayla!" Bisik Yona, teman sebangkuku, cukup keras untuk membangunkanku dari lamunan. Aku menoleh dengan cepat, dan melihat Bu Haryati, guru olahraga kami, sedang berjalan diantara meja-meja, menerangkan pelajaran. Karena hari ini hujan, maka kami tidak bisa berolahraga di lapangan seperti biasanya. Maka, Bu Hayati pun menerangkan materi tentang penyakit kelamin kepada kami.
"Jadi, anak-anak, pita merah adalah simbol dari kepedulian dan solidaritas terhadap ODHA, maka dari itu..." Suara Bu Haryati kembali terdengar olehku, sementara dia kembali ke depan kelas. Aku kembali meletakkan daguku diatas meja, dan nyaris tertidur beberapa menit kemudian. Cuaca yang dingin dan lampu yang temaram akibat menggunakan LCD memang sangat mendukung untuk tidur. Belum lagi mataku memang agak berat karena mengerjakan tugas matematika sampai jam tiga pagi kemarin.
Lagi-lagi pikiranku menerawang ke mana-mana. Aku teringat lagi pengalaman ketika aku mengalami kecelakaan dengan kakakku. Ya, dua tahun telah berlalu sejak peristiwa itu. Aku yang dulunya masih junior, saat ini tengah mempersiapkan ujian nasional. Sekarang, bisa dikatakan bahwa aku sama sekali tidak mempunyai bekas-bekas dari kecelakaan itu. Paling-paling hanya sebuah luka goresan yang tidak terlalu panjang di atas alisku, satu-satunya pengingat dari kejadian itu. Dan kakakku? Oh, dia baik-baik saja, sekarang dia sudah kembali kuliah dan pergi bersama teman-temannya dan pacarnya yang itu. Hanya ada satu hal yang aku pertanyakan dari dulu, kenapa ceweknya itu nggak pernah muncul di rumah sakit selama kakak dirawat, ya? Kalau kata kakak sih, mungkin karena dia sibuk. Tapi, entahlah, sepertinya aku tidak begitu suka dengannya. Hmm...padahal aku juga belum pernah bertemu dengannya. Tapi mendengar cerita-cerita dari kakak, ya.. itu tadi. Apa karena aku tidak rela kakakku satu-satunya menyayangi wanita lain selain aku dan mama? Aku langsung tersenyum sendiri begitu kalimat tadi muncul di kepalaku. Kalau kakakku sampai mendengar kalimat itu, dia tentu akan langsung menukas, "Wanita? Lo? Nggak deh, makasih. Lagian sejak kapan gue sayang sama lo?" Ya, dia pasti akan bilang begitu. Tapi, aku tahu, kalau aku menyayanginya. Dan aku juga tahu kalau dia pun menyayangiku.
Lamunanku tergangu lagi oleh tepukan keras di punggungku yang dilakukan oleh Yona. Aku menoleh lagi, dan dia menyodorkan buku yang terbuka. Aku menatapnya bingung, dan dia seolah menjawab pertanyaan yang terlintas di kepalaku, "Latihan soal. Halaman 58. Essay. Disuruh ngerjain," katanya singkat. Huaaahhmm. Bikin males aja nih. Malas-malasan aku mulai mengambil selembar kertas file dan pulpen, lalu mulai membaca soal dan mengerjakannya.
Nomor satu. Sebutkan lima macam penyakit kelamin dan jelaskan. Aku membalik-balik beberapa halaman sampai menemukan jawabannya. Kemudian tinggal menyalinnya di kertas. Begitu terus sampai nomor delapan. Nomor sembilan, tunjukkan bentuk kepedulianmu terhadap HIV/ AIDS. Aku berpikir sejenak, lalu menuliskan jawabannya. Mempelajari tentang AIDS di sekolah, mengikuti kegiatan-kegiatan mengenai kampanye HIV/ AIDS...jawabku mengarang. Soal nomor sepuluh, bila ada ODHA di lingkunganmu, apa yang akan kamu lakukan? Ah, ini gampang. Tinggal mengarang saja yang baik-baik. Tidak mengucilkannya dari pergaulan, bersimpati dengan keluarganya, blablabla...
Yona mencolek lenganku dan berkata, "Liat dong nomor sepuluh!" Aku menyerahkan kertas jawabanku kepadanya. Ia membacanya beberapa saat, kemudian mengembalikan kertas itu kepadaku, "kayaknya jawaban kita hampir sama, deh. Mudah-mudahan nggak disangka nyontek," katanya.
"Ah, nggak apa-apa kali, emang pada nyalin di buku, kan? Nggak heran kalo sama. Lagian yang ada tuh yang cuma nyalin doang dari punya orang lain. Bukan ulangan ini," kataku. "Tapi yang nomor sembilan sama sepuluh emang sama?" tanyaku melanjutkan.
"Nggak persis sih, tapi garis besarnya sama," jawab Yona. Aku menyeringai. memang kalau ada soal seperti ini orang pasti akan langsung mengarang yang baik-baik, untuk menjaga moralitas, hehehe. Namun, tiba-tiba Yona berkata lagi, "Tapi ya, kalau beneran ada ODHA di sekitar gue, gue nggak yakin gue bakalan bisa bersikap kayak gitu."
"Maksud lo?" kataku penasaran.
"Yah, gue nggak yakin gue bisa nerima mereka, tanpa ngucilin mereka sama sekali. Gimana juga pasti ada perasaan jijik dan was-was kalo ada di deket mereka," jelasnya.
Aku mengangguk-angguk. Memang, aku juga mungkin akan bersikap seperti itu. Bahkan masyarakat kebanyakan pun pasti akan bersikap seperti itu. Belum lagi paradigma masyarakat yang selalu mengkaitkan AIDS dengan free sex, sehingga kadang AIDS dianggap sebagai penyakit kutukan. Tiba-tiba saja terlintas di pikiranku, bagaimana jika suatu saat aku benar-benar harus berurusan dengan ODHA? Apa yang akan kupikirkan? Apa yang akan kulakukan?
Lamunanku baru benar-benar terhenti ketika suara Bu Haryati kembali memenuhi kelas, "Anak-anak, ayo kumpulkan sekarang!!"
Heartbroken
10 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar