Putih. Silau. Seolah sesuatu yang panas mengaliri kepalaku. Perlahan kurasakan rasa mual, seolah ada sesuatu yang mendesak naik ke kerongkonganku. Kututup mataku kembali, dan perlahan aku mulai bisa merasakan ada seseorang yang mengelus lengan kiriku. Perlahan kubuka mataku, dan kali ini, meskipun masih silau, aku bisa melihat seseorang di sampingku. Aku menyipitkan mata, dan perlahan sosok orang itu mulai terlihat olehku.
"Mama?" kataku lirih.
Ia tersenyum, meskipun matanya masih basah. "Syukurlah kamu sudah sadar," katanya pelan.
"Aduh!" kataku tiba-tiba, karena kepalaku seolah baru saja berdenyut hebat. Kuangkat tangan kananku, kusentuh pelipisku dengan lembut, dan merasakan perban yang membalut kepalaku. Perih.
"Tidak apa-apa, kata dokter kamu cuma gegar otak ringan, meskipun ada luka goresan yang lumayan panjang di dahimu,"katanya, masih dengan suara lembut.
"Ini, minum obat ini dulu," sambungnya.
Aku tidak sanggup bicara lagi, lagipula aku juga tidak tahu apa yang mau kubicarakan. Akhirnya aku hanya meminum obat itu dan kembali diam. Ketika Mama menoleh memandang jendela, aku baru benar-benar menyadari bahwa aku ada di rumah sakit. Perlahan ingatanku kembali, seperti potongan-potongan mimpi yang baru saja berhasil kita ingat. Kemudian sebuah sentakan seolah menyadarkanku dari mimpi tersebut.
Aku berusaha menoleh dan berbicara kepada Mama, "Ma, Kakak?"
Mama hanya menatapku sayu, dan berkata, "Andai Mama bisa melakukan sesuatu untuk kakakmu."
Aku tersentak. Maksudnya? "Ma, kakak kenapa?" tanyaku, berusaha agar suaraku tetap tenang.
Sambil tersenyum sekilas, Mama menjawab, "Kakakmu nggak kenapa-napa. Seenggaknya, sudah nggak apa-apa. Tadi dia sempat krisis karena nyaris kehabisan darah, tapi sekarang dia baik-baik saja."
Mendengar kata-katanya, aku merasa seolah sesuatu yang sempat memenuhi rongga dadaku perlahan dikeluarkan. "Oh," jawabku, dan kembali kupejamkan mataku. "Kenapa Mama sedih?" tanyaku sambil lalu.
"Mama nggak bisa mendonorkan darah untuk dia. Mama jadi merasa nggak berguna, padahal anak Mama sedang mempertaruhkan nyawanya," katanya. Ya, memang dalam keluarga kami tidak ada yang bergolongan darah sama, karena ayah mempunyai golongan darah O, dan mama AB, sementara Kakak bergolongan A, dan aku sendiri B. Jadi, kalau ada apa-apa, memang hanya mama yang tidak bisa mendonorkan darahnya untuk salah satu dari kami.
Aku tersenyum. "Kalau itu sih Mama nggak perlu khawatir, lagipula kakak pasti udah dapet donor lain, kan?" Aku berusaha menghiburnya.
"Ya, tapi kan, gimana kalo donornya itu ternyata membawa penyakit? Bukannya sehat, malah jadi penyakit, kan?" kata mama cemas.
"Aduuh...Mama jangan bilang sesuatu yang kayak gitu, dong...Kayla jadi takut, kan!" kataku bergidik. Ya Allah, semoga...
Mama menghela nafas berat, dan kelihatannya ia mencoba untuk tersenyum lagi. "Ngomong-ngomong, Ayah titip salam, dia mendoakan semoga kamu dan kakak cepat sembuh," katanya.
"Ayah tadi telepon, Ma?" tanyaku. Ayah memang sedang berada diluar kota untuk urusan kantornya.
"Iya, katanya dia mungkin baru pulang beberapa hari lagi," jawabmya. Kemudian ia pun bangkit, dan berjalan menuju ke pintu,"Kamu nggak apa-apa kan, Mama tinggal? Mama mau jenguk kakakmu dulu," tanyanya.
Aku mengangguk, dan beberapa detik kemudian kudengar suara pintu ditutup lembut.
Heartbroken
10 tahun yang lalu
0 komentar:
Posting Komentar