Senin, 26 Januari 2009

Sayap

Aku butuh sayap untuk terbang. Maka, aku mulai mengumpulkan helai demi helai bulu untuk kurajut sebagai sayap. Waktu telah meninggalkanku, dan sayapku telah selesai kubuat. Kukepakkan sayapku, dan mulai terbang menuju angkasa. Menara di atas tanah mulai berteriak, hei, jangan pergi ke sana, nanti kau akan terjatuh! Aku tak peduli, aku begitu senang karena akhirnya bisa terbang. Dengan bersemangat, aku terus, terus, terbang, sampai tak ingat lagi telah berapa lama aku terbang.

Aku berhenti sejenak, untuk mencoba mengingat sudah seberapa jauh aku terbang. Tapi, begitu kulihat ke atas, di sana begitu tinggi, kosong, dan dingin. Mendadak aku ingin kembali, tapi aku tak bisa lagi melihat pemandangan di bawah. Aku tak bisa lagi membedakan atas dan bawah.

Sekarang, aku sendirian. Aku ingin meneruskan terbang, namun, jika aku terus terbang, apakah suatu hari aku akan menemukan daratan untuk tempat berpijak? Apakah aku akan membentur tanah tempatku bermula, ataukah aku akan terus menembus angkasa yang dingin dan gelap, sendirian? Kenapa tak ada yang lain yang menemaniku di sini? Apakah mereka belum selesai merajut sayap mereka sendiri? Atau ujung-ujung tajam pasak telah menahan kaki mereka tetap di tanah?

Aku tidak mau terus tinggal di sini, jadi aku kembali mengepakkan sayapku. Ke manapun itu, biarlah, asalkan aku tak disini, merenung menatapi nasib. Namun, ketika kukepakkan sayapku, kulihat helai-helai bulu berterbangan dari sayapku. Sadar bahwa sayapku semakin rapuh, kucoba untuk mengepakkannya perlahan, tetapi justru lebih banyak helai bulu yang terlepas.

Kulihat kembali ke bawah, tetap saja, aku tak melihat apapun. Dan, aku semakin tak yakin apakah benar bahwa yang kulihat itu ‘bawah’. Semuanya kelihatan sama di sini. Helai terakhir dari sayapku telah meninggalkanku, dan aku terjatuh. Hei! Kini aku bisa membedakan atas dan bawah. Tapi, dari jarak yang setinggi ini, apakah bagian-bagian tubuhku akan terpencar begitu aku mencapai tanah? Apakah akan ada yag datang dan menangkapku di sana? Atau semuanya akan menjauhiku, aku yang pernah terbang sampai ke sini, aku yang kini bukan bagian dari mereka lagi?

Aku jatuh, jatuh, terus menembus langit, dan kurasakan kedinginan itu telah meninggalkanku. Bahkan, seluruh tubuhku kini diselimuti nyala api yang membara. Setidaknya, kini aku tak lagi kedinginan. Dan aku juga tak lagi sendirian. Percikan-percikan api, bunga-bunga api, berloncat-loncatan, seolah dengan ceria menemaniku menjemput kehancuran. Aku bisa melihat daratan sekarang. Aah, ada menara di sana. Masih menara yang sama, masih menara yang mengantarkanku pegi ke langit, menara yang mengatakan padaku, hei, jangan pernah berani menapak langit, atau kau akan terjatuh.

Meskipun terjatuh, aku tersenyum menatap menara itu. Kau, menara yang berdiri tegak sempurna, stabil di atas tanah, apa yang pernah kau lihat? Apa yang pernah kau rasakan? Pernahkah kau merasakan kedinginan di atas sana, agar kau dapat menghargai kehangatan yang kau dapatkan disini? Pernahkah kau merasakan terbakar oleh atmosfer agar kau dapat menghargai kesejukan yang pernah kau dapatkan? Pernahkah kau merasakan kebimbangan, ketakutan, kesendirian, di atas sana? Pernahkah kau hancur, jatuh berkeping-keping? Pernahkah, kau berusaha mengumpulkan helai demi helai bulu, merajutnya, hanya untuk terbang ke sana, hanya untuk menghargai semua yang pernah kau dapatkan? Pernahkah, pernahkah, kau mencoba untuk berubah?

Setidaknya aku tak akan hancur berkeping-keping, kata menara itu. Aku hanya akan retak jika ada yang menghantamku di sini. Aku tak akan jatuh bila tak berada di ketinggian. Aku tak akan hancur, apabila bukan oleh waktu yang terus menerus menghantamku. Aku sempurna, aku tak butuh yang lain, yang hanya akan menjadi penyebab kehancuranku. Aku tak butuh berubah, seperti kau yang membutuhkan sayap untuk terbang, Aku tak butuh apa-apa. Yang kubutuhkan hanyalah waktu, lebih banyak waktu, dan aku akan tetap kokoh berdiri di daratan ini.

Lagi-lagi, sambil tersenyum, aku membalasnya. Pantas saja kau menjadi menara. Benda yang tak butuh berubah atau apapun, kau hanya benda yang tak layak untuk hidup, bahkan kau tidak layak untuk ‘ada’.

Siapa peduli? Kata menara itu. Aku sudah membuktikan, bahwa kestabilan adalah yang terpenting.

Aaah, desahku. Terserah kaulah. Maka aku memejamkan mataku, namun segera kubuka lagi. Aku tidak ingin menghadapi sesuatu, apapun itu, baik yang kutakuti maupun kusukai, dengan mata tertutup. Aku ingin melihat wujud dari ketakutanku itu.

Seandainya sang laut sudi menangkapku dan sudi mengembalikanku ke daratan, akan kucoba untuk merajut sayapku kembali, dan aku akan kembali terbang, kali ini, tanpa kebimbangan atau takut akan kesendirian. Aku tak peduli lagi, seandainya pun aku akan sendirian di atas sana, setidaknya tak akan ada yang bisa menyakitiku, kecuali diriku sendiri. Aku juga tak akan bisa menyakiti orang lain selain diriku sendiri.

Mungkin, lebih baik seperti itu. Seandainya aku tersesat lagi, aku tak peduli, aku hanya akan mengepakkan sayapku ke arah manapun yang kulihat, ke arah manapun yang kupercayai sebagai ‘atas’. Aku terus, terus terjatuh, dan kali ini aku memejamkan mataku, terserah siapa saja yang akan menangkapku, aku tak peduli lagi. Atau mungkin, tak akan ada yang menangkapku, jadi aku hanya akan jatuh ke kegelapan…mungkin itu yang terbaik…

0 komentar: