“Awas! Kamu tidak boleh ke
“Ayolah, masa kamu tidak pensaran dengan tempat ini?” Serunya sambil tertawa riang.
Sejenak aku bimbang, namun ketika helai rambutnya yang terakhir menghilang dari pandangan, kuputuskan untuk mengikutinya.
Kulongokkan kepalaku ke balik dinding batu yang membatasi daerah terlarang ini. Tiba-tiba, ia muncul dan menarik tanganku agar aku masuk ke dalam.
“Tidak usah takut, tidak ada monster disini,” katanya riang.
Ya, dari dulu kami, anak-anak yang tinggal di desa di kaki gunung, selalu dinasehati agar ridak bermain di gua ini. Bahkan, orang-orang dewasa pun hanya boleh memasuki tempat ini setelah mendapat izin dari kepala suku. Konon, di kawah ini terdapat seekor makhluk yang akan menyemburkan api bila ia marah. Makhluk itu berkulit hitam keabu-abuan dan bermata merah. Tubuhnya setinggi pohon jati dan memiliki rambut gimbal yang terurai hingga mata kaki. Ia hidup dengan memakan daging segar, dan yang paling disukainya adalah daging manusia, terutama daging anak gadis. Makhluk itu adalah penjaga gunung ini, karena itu para penduduk desa tidak berani mengganggunya. Namun, ketika musim pacelik tiba, kami akan mempersembahkan sesajen ke gua untuk dimakan oleh makhluk itu.
Aku masih ragu-ragu untuk melangkah masuk ke dalam gua itu. Tapi akhirnya aku terpaksa masuk ke dalam, karena ia terus-terusan menarik tanganku. Benar katanya, tidak ada apa-apa disana, kecuali sebuah lubang besar yang menganga di tengah-tengah dasar batu. Asap membubung keluar dari lubang itu.
Kemudian, aku menyadari sesuatu, dan kakiku seolah membeku karenanya. Dia sudah melepaskan tarikannya, dan sekarang berjalan ke pinggir lubang, lalu berlutut di pinggir lubang itu, hanya berjarak beberapa langkah dari tepiannya. Secepat kilat sebuah pikiran meloncat dalam pikiranku, dia akan dimakan oleh makhluk itu!
“Sami! Cepat kesini, nanti kau akan dimakan makhluk itu!” Seruku ketakutan.
Bukannya menjauh, dia justru menoleh dan tersenyum mengejek, “Dasar penakut. Ayo kesini! Tidak ada apa-apa, kok!”
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk melangkah dan mendekatinya. Sesekali rambutnya yang hitam tergerai melambai tertiup asap. Matanya kadang tampak berkilau merah menyala, dan kini, setelah mendekat, baru aku tahu sebabnya.
Di dasar lubang itu, di sela-sela asap yang tebal, terlihatlah api yang menyala-nyala. Seketika aku teringat lahi dengan cerita tentang makhluk penunggu itu. Aku ingin sekali melangkah mundur, namun tidak jadi, karena aku tahu bahwa dia pasti akan mengejekku lagi. Maka, aku pun ikut berlutut, meskipun aku tetap menjaga jarak dengan tepian lubang.
Tiba-tiba saja ia berdiri. Aku menatapnya heran, dan ia menoleh ke arahku. Matanya yang hitam berkilau seolah menghipnotisku untuk terus melihat setiap gerakannya. Ia maju beberapa langkah, dan yang membuatku ngeri, ia kini berdiri tepat di pinggir lubang itu. Ia berbalik, sehingga sekarang tubuhnya menghadap ke arahku. Perlahan, ia merentangkan tangannya, dan mulai berjalan menyusuri tepian lubang.
Aku mengawasi setiap langkahnya dengan jantung yang seolah bias berhenti kapan saja. Dan benarlah, jantungku seolah berhenti berdetak beberapa saat ketika aku melihatnya tergelincir. Untunglah, kaki dan tangan kanannya berhasil menemukan pijakan, sementara aku hanya berhasil meraih tangan kirinya. Beberapa saat tidak ada satupun dari kami yang sanggup bicara. Lalu, ia mulai tertawa keras-keras. Aku masih tidak bias bicara, namun kurasakan sesuatu yang panas mulai menyesaki seluruh tubuhku.
“Kamu itu sedang apa, sih?! Kamu pasti akan dimakan kalau mendekat ke sini!” Aku kehabisan napas dan kata-kata. Detak jantungku belum juga kembali seperti biasa. Wajahku terasa sangat panas. Ia segera berhenti tertawa, dan perlahan, kulihat bola matanya yang jernih berubah menjadi keruh.
“Maaf,” katanya lirih, dan aku segera menyesal sudah membentaknya.
“Sudahlah. Ayo kita pulang,” kataku, dan kali ini, ia menurutinya.
0 komentar:
Posting Komentar