The Story of Andy Rhoumot
(Kisah Andy Rhoumot)
(Kisah Andy Rhoumot)
Di luar jendela badai tengah berlangsung. Petir, hujan, dan angin berebut mencari tempat untuk menghantam jendela. Sambil menatap ini semua, Hercule Poirot menghirup tisanenya dengan perasaan nyaman. Ia duduk di kursi besar yang empuk dan membiarkan pemanas ruangan melakukan tugasnya. "Untuk itulah mereka dibeli," pikir Poirot. Kakinya diistirahatkan pada sebuah bantal kaki. Diamatinya kedua kakinya. Ujung kedua jari tengah kakinya, yang paling panjang di antara semuanya, tampak sedikit memerah. "Ah!" serunya dengan penuh perasaan, "Sepatu-sepatu itu! Aku terlalu banyak berjalan rupanya." Ia hendak melanjutkan keluhannya, ketika George, pelayannya yang setia, terbatuk kecil dari pintu.
"Ehem," ia terbatuk lagi, "Ada seorang pria yang datang mencari tuan," katanya. Hercule Poirot bangkit dari kursinya dengan anggun dan merapikan bagian belakang bajunya. "Kau sakit, George? Minumlah ini," Poirot mengacungkan gelasnya yang masih mengeluarkan asap, "Sangat manjur," tambahnya. George mengucapkan terima kasih dan berkata ia akan mencobanya, kemudian membungkuk dan menyingkir dari ruangan.
Poirot masih sempat meratakan kumisnya sebelum ia menemui tamunya yang sudah menunggu. Sejenak ia tertegun begitu mengenali siapa tamu tersebut. Namun, pada detik berikutnya, ia tersenyum dan membentangkan tangannya lebar-lebar, sambil berseru dengan sukacita, "Ah, Mr Robinson! Sudah lama sekali sejak pertemuan kita yang terakhir!" sambutnya ceria. Mr Robinson mengusapkan saputangan ke wajahnya yang kuning dan membalas sapaan Poirot dengan tenang, "Akhir-akhir ini kau tidak membutuhkan bantuanku, Mr Poirot. Nah, marilah, aku ingin meminta bantuanmu untuk sesuatu." Poirot segera duduk, dan tanpa basa-basi lagi Mr Robinson memulai ceritanya.
"Ehem," ia terbatuk lagi, "Ada seorang pria yang datang mencari tuan," katanya. Hercule Poirot bangkit dari kursinya dengan anggun dan merapikan bagian belakang bajunya. "Kau sakit, George? Minumlah ini," Poirot mengacungkan gelasnya yang masih mengeluarkan asap, "Sangat manjur," tambahnya. George mengucapkan terima kasih dan berkata ia akan mencobanya, kemudian membungkuk dan menyingkir dari ruangan.
Poirot masih sempat meratakan kumisnya sebelum ia menemui tamunya yang sudah menunggu. Sejenak ia tertegun begitu mengenali siapa tamu tersebut. Namun, pada detik berikutnya, ia tersenyum dan membentangkan tangannya lebar-lebar, sambil berseru dengan sukacita, "Ah, Mr Robinson! Sudah lama sekali sejak pertemuan kita yang terakhir!" sambutnya ceria. Mr Robinson mengusapkan saputangan ke wajahnya yang kuning dan membalas sapaan Poirot dengan tenang, "Akhir-akhir ini kau tidak membutuhkan bantuanku, Mr Poirot. Nah, marilah, aku ingin meminta bantuanmu untuk sesuatu." Poirot segera duduk, dan tanpa basa-basi lagi Mr Robinson memulai ceritanya.
"Nah, aku akan menceritakan padamu sebuah kasus yang terjadi lima belas tahun yang lalu. Kisah ini terjadi di daerah tropis Hindia Barat, maka aku tidak heran kalau kau belum pernah mendengarnya. Waktu itu kasus ini merupakan kasus paling terkenal yang pernah terjadi disana, karena meskipun bukti-bukti menyatakan bahwa kasus ini merupakan tindakan bunuh diri, tetap saja, rasanya tidak masuk akal kalau dua orang bunuh diri sekaligus, kan?"
"Mungkin saja, mon ami. Seandainya yang bunuh diri itu adalah sepasang muda mudi yang saling mencintai seperti dalam kisah yang dengan sangat indah dituliskan oleh seorang pujangga Inggris, William Shakespeare," jawab Poirot sabar.
Mr Robinson hanya mengibaskan tangannya seolah sedang mengusir lalat, dan melanjutkan ceritanya, "Tentu saja, wajar jika begitu kejadiannya, tapi kasus yang saya ceritakan ini tidaklah sama seperti itu, karena kedua orang ini, meskipun mereka memang pasangan suami istri yang saling mencintai satu sama lain, telah melakukan bunuh diri pada dua tempat yang terpisah jaraknya sepanjang kira-kira sepuluh kilometer atau lebih, dan pada waktu yang cukup berdekatan pula. Bukankah itu tidak masuk akal?"
"Ya, memang benar,"
"Namun semua bukti-bukti yang ditemukan oleh polisi memang menyatakan bahwa keduanya adalah tindakan bunuh diri, dan bukannya pembunuhan seperti yang diperbincangkan oleh masyarakat setempat," Mr Robinson berhenti sebentar dari ceritanya dan menyela, "Kuharap kau tidak keberatan kalau aku merokok di sini?" Poirot hanya mengayunkan tangannya dengan gerakan mempersilakan, dan Mr Robinson pun menyalakan cerutunya. Sementara itu, Poirot menatapnya penuh selidik.
"Setahuku, bukankah kau hanya berhubungan dengan masalah finansial saja, dan bukannya manusia seperti ini? Atau kau telah memutuskan untuk menggunakan jaringanmu yang sangat hebat itu untuk ikut terjun ke dalam bisnis ini?" tanya Poirot sambil mengamat-amati tamunya.
"Oh tidak, tidak sama sekali, Poirotku yang baik. Aku sama sekali tidak berminat untuk menjadai sainganmu dalam bisnis ini, dan aku cukup puas dengan bidangku saat ini. Namun kasus yang tadi kuceritakan erat hubungannya dengan masalah yang kuhadapi saat ini, dibidangku, tentu saja. Begini, suami istri yang tadi kuceritakan, mempunyai simpanan deposito yang cukup besar jumlahnya," sahut Mr Robinson sambil mengisap cerutunya. Asap yang dihamburkannya mengalir memenuhi ruangan kerja Poirot. Poirot berseru dengan penuh perasaan.
"Ya, ya, aku mengerti maksudmu. Yang berhak mendapatkan deposito tersebut adalah putri tunggal mereka, yang ketika tragedi itu terjadi baru berusia dua tahun. Ia berhak mendapatkan seluruh uang itu ketika ia berumur 21 tahun atau ketika ia telah menikah. Namun, ada pihak lain yang juga diuntungkan atas deposito itu, yaitu bibi dari gadis tersebut, adik dari si suami, yang kini juga menjabat sebagai wali dari gadis itu. Wanita ini berhak menerima seluruh bunga dari deposito itu secara bertahap setiap bulannya, yang dimaksudkan sebagai biaya perawatan gadis itu. Namun dapat kujamin, bahwa sebenarnya hanya dari bunga deposito itu saja, si bibi ini tidak perlu bekerja lagi selama ia mendapatkan bunganya, dan ia bahkan bisa menikmati hidup yang cukup mewah seumur hidupnya jika ia berhemat,"
"Jadi, seandainya ada pembunuhan, wanita itulah yang mempunyai motif paling besar di antara semuanya?"
"Secara finansial, ya. Tapi dalam bidang yang lain, wah, sayang aku tak begitu ahli soal itu. Tapi seandainya terjadi apa-apa pada gadis itu, wanita itulah yang akan mendapat seluruh deposito itu,"
"Dan kau yakin akan terjadi apa-apa?"
"Ya, sahabatku, ya." Sekilas Mr Robinson tampak bergidik sendiri memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada, dan ia melanjutkan, "Karena itulah, Poirot, kuminta padamu, demi menghargai persahabatan kita, tolong cegah apapun yang mungkin menimpa gadis itu," katanya penuh harap.
Poirot hanya menggeleng pasrah, dan bertanya lagi, "Siapa yang memintamu menemuiku, sobat? Kau tidak mungkin menemuiku hanya karena inisiatif pribadi saja, apalagi sampai memohon seperti itu."
Wajah Mr Robinson yang kuning tampak sedikit memerah, namun ia tetap menjawab, "Kau kenal Mr Rhoumot?"
"Ah, bangsawan itu. Seorang politikus yang handal dan dipercaya masyarakat. Diakah yang memintamu?"
"Kurang lebihnya begitu. Sebenarnya yang datang menemuiku adalah putranya, Mr Andy Rhoumot," Kumis Poirot yang tebal bergerak-gerak geli. Mr Robinson mengangkat alisnya dan berkata, "Kurasa kau sudah memahami sebagian dari masalah ini dan juga posisiku, Poirot. Maukah kau melakukan permintaanku?" kali ini ia sungguh-sungguh meminta, tanpa ditutup-tutupi lagi.
"Yah, mon ami, tidaklah bijaksana untuk membiarkan orang-orang muda terganggu dengan masalah asmara mereka bukan?" sambil berkata demikian, Poirot bangkit dari kursinya dan menyalami Mr Robinson yang juga sudah berdiri dari duduknya. "Aku akan menemuimu dua hari lagi untuk meminta cerita lengkapnya. Selamat siang sobat, semoga harimu menyenangkan," dia membungkuk dengan main-main dan mempersilakan tamunya keluar dari ruangan.