Hujan baru saja berhenti membasahi kota Jakarta ini. Bau tanah basah yang menyengat seakan meruap dari setiap sisi. Dengan berat hati kulangkahkan kakiku menuju ke tempatmu. Bukan, bukan karena aku tidak ingin lagi melihatmu…sungguh, aku sudah berkali-kali mengatakannya. Aku menyayangimu…masih, sangat menyayangimu...tapi... kau tetap saja meninggalkanku…
Sejenak langkahku terhenti ketika melewati sebuah taman. Kita biasa jalan-jalan berdua di taman ini. Makan siomay kesukaanmu, atau sekedar duduk-duduk berduaan. Oh, apa kau ingat pertama kalinya kita bertemu? Ya, di taman ini. Saat itu aku melihatmu, sendirian, basah oleh hujan. Kau berjalan sempoyongan, bahkan bisa dibilang hampir jatuh. Karena kelihatannya kau sedang sakit dan kedinginan, aku mengundangmu ke rumahku. Pada awalnya kau menolak, tentu, kau belum mengenalku. Akhirnya aku melepaskan jaketku dan mengerudungimu dengan jaket itu. Untunglah aku melakukan itu, sebab tubuhmu tak kuat lagi bertahan dalam hujan, dan kau pun roboh. Aku membopongmu pulang ke rumahku, yang untungnya tidak begitu jauh dari taman. Orang tuaku sepertinya tidak terlalu suka dengan kedatanganmu yang tiba-tiba. Tapi mereka tetap bersikap ramah padamu, Mereka tidak akan bersikap tidak sopan terhadap tamu yang datang, apalagi kau sedang sakit.
Sementara aku mengenang saat pertama kita bertemu, mataku bergerak menyusuri setiap jengkal taman. Taman itu sepi, tidak ada siapapun di sana. Hujan yang baru reda dan langit yang masih gelap menambah kesan suram. Bahkan bunga kesukaanmu pun seolah menyadari perasaanku saat ini. Bunga itu layu, meskipun hujan baru saja turun. Ah, rupanya batangnya patah. Bukan kau kan, yang mematahkannya? Ya, aku tahu. Aku percaya padamu, terus percaya, bahkan bila kau bersalah, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk melindungimu.
Aku harus memaksakan kakiku untuk tetap berjalan, karena masa lalu mulai datang dan menghantuiku. Aku tidak ingin menangis dan terlihat cengeng di depanmu. Meskipun jika kau melihatku sedih, biasanya kau pasti akan segera datang dan menghiburku dengan suaramu yang lembut. Dalam sekejap, aku sudah mampu untuk tersenyum dan tertawa lagi melihat tingkahmu yang lucu, menurutku, ya, mungkin hanya menurutku. Tapi, aku tahu, sekarang kau tak akan lagi repot-repot menenangkanku, atau sekedar mengelus tanganku, seperti yang biasa kau lakukan. Tenanglah, kau tak perlu melakukannya lagi. Aku bisa menjaga diriku sendiri.
Dua minggu yang lalu, kau sempat marah padaku. Waktu itu aku sedang sibuk belajar demi mempersiapkan ujian yang akan kuhadapi. Tiba-tiba saja kau menghampiriku. Kau tentu tahu, bahwa ujian tinggal sehari lagi, jadi aku tidak ingin diganggu oleh siapapun seharian penuh. Bahkan aku tidak mengangkat telepon maupun SMS seharian itu. Dalam situasi yang lain, tentu aku akan segera mengerti, bahwa kau sedang ingin bermanja padaku. Tapi, saat itu pikiranku sedang terfokus ke pelajaran, sehingga aku mengusirmu dengan cukup kasar. Kau pergi dengan sedih dan marah. Bahkan katanya kau tidak mau makan selama tiga hari itu. Aku mencoba untuk menemanimu. Syukurlah, akhirnya kau mau makan juga. Waktu itu aku merasa sangat bersalah, maka kucoba untuk meminta maaf padamu. Tapi, bahkan sebelum aku mengatakannya, aku tahu kau sudah memaafkanku. Sinar matamu saat kau bertatapan denganku sudah cukup untuk menyatakan itu.
Tiga hari yang lalu, kau datang lagi. Saat itu, entah kenapa, aku tidak ingin membiarkanmu pergi, bahkan untuk lima menit saja. Seolah ada sesuatu yang meremas ulu hatiku dan kepalaku. Tapi, kau tetap saja membandel. Kau berlari-lari ke jalanan, hanya untuk menggodaku, dan aku berusaha menghentikanmu, tapi terlambat. Deritan rem masih jelas terdengar di telingaku sampai saat ini. Jeritanmu juga, masih terngiang-ngiang di kepalaku, ”meeeoooooonnnggg!!!!” Aku shock, badanmu berlumuran darah dari kepala sampai kaki karena terseret di jalan. Aku mencoba membawamu menemui dokter, tapi lagi-lagi aku terlambat. Kau menghembuskan nafas terakhirmu bahkan sebelum aku sempat menyalakan motorku untuk mengantarmu.
Lihatlah, aku sudah sampai di sini, membawa sekuntum bunga putih tanda berduka cita. Gundukan tanah merah basah seolah siap menantiku, menggantikan sosokmu yang manis dan lucu. Sekali lagi, mungkin hanya menurutku. Tapi...tetap saja...Dan kali ini, aku tak bisa menghentikan air mataku yang perlahan menetes. Tetes demi tetes, langsung tercampur dengan genangan air di sekitar pusaramu.
Kau tahu, suatu hari aku bisa saja mencari penggantimu, aku bisa saja melupakan lembutnya suaramu, melupakan warna matamu, melupakan hangat tubuhmu, bahkan mungkin melupakan kedamaian yang kudapat dari sorot matamu. Tapi, ada satu hal yang kujanjikan tak akan pernah berubah. Aku akan selalu ingat, bahwa aku pernah menyayangimu. Selamanya, aku akan terus ingat itu.
Heartbroken
10 tahun yang lalu
2 komentar:
huhu.. meong T_T
Wahahaha... gue kira apa??? ternyata cuman kucing! Hahaha... (maaf pren! kalo gue nggak sensitip!)
Ngelihat subtitle blog lo gue jd teringat hal bodoh kita, hahahaha...
"NGGAK!" gue jawab dengan polosnya! (memang gue anaknya polos sih... hehehehe ;P)
Posting Komentar