Selasa, 18 Mei 2010

Menuju 24 Mei~

Sebatang pohon tua
Batangnya keropos diterpa angin gurun
Daunnya merah, bukan, bukan warna aslinya
Namun terpapar darah
Di sana, sendirian, ia berdiri
Di antara mayat dan puing reruntuhan
Angin bertiup, dan melalui angin,
Pohon tua itu bicara
‘Lihatlah di sana, di tempat prajurit bersuka ria’
Sementara mendesah, angin berhembus lagi
mengayunkan ranting-rantingnya,
menunjuk ke selatan sana
‘mereka baru saja kembali dari medan perang
membawa berita bahagia’
Sebutir kerikil di akar pohon,
Bergumam
‘Aku iri’
Pohon tua meliriknya, dan bertanya
‘pada kemenangan mereka?’
Sekali lagi, angin menderu
Menggulingkan kerikil dari tempatnya
Dan kerikil itu, sementara dipermainkan
Menjawab
‘bukan,’ dan melanjutkan
‘Aku iri’
‘pada setiap darah yang mereka teteskan
Pada setiap peluh yang mereka keluarkan
Pada setiap denyut jantung yang menjerit
Pada setiap detik rasa sakit, takut, putus asa
Dan harapan, yang mereka rasakan
Pada setiap air mata yang teruntai’
Kerikil terdiam, dan ketika angin kembali,
Ia pun mendesah,
‘Aku ingin berjuang’
‘biar tak ada darah mengalir,
Biar tak ada denyut di dada,
Biar tak ada pisau, pistol,
Granat, basoka, tank, dan segala macam senjata tak kukenal,
Aku ingin berjuang’
Ketika ia selesai bicara,
Puing dibelakang mereka berderak
Seorang anak laki-laki,
Wajahnya mengernyit kesakitan,
Kakinya koyak sebelah,
Tangannya menggantung sebelah, nyaris putus
Bangkit dari antara puing
Terseok-seok ia melangkah,
Mendekati pohon tua, dan memungut kerikil
Dan dilemparkan ke kepala seorang prajurit.

0 komentar: