Aku menghela nafas, dan lagi-lagi, aku menunduk, membaca data dari pasien yang kutangani. Sekali lagi, aku berusaha mencari tahu apa yang membebani orang ini. Ia mempunyai istri yang baik, ramah, dan parasnya, lumayanlah, tidak terlalu cantik tetapi juga tidak jelek. Ia juga mempunyai dua orang anak, keduanya kini tengah menempuh pendidikan di SMA, dan keduanya tidak pernah membawa masalah yang berarti bagi keluarga. Pekerjaannya baik-baik saja, tentu, sebelum ia mulai mengalami gangguan dan akhirnya keluarganya membawanya padaku. Dan yang terpenting, ia juga seorang psikiater, sama sepertiku. Dia terkenal, justru sebagai psikiater andal di
kota ini. Dan sekarang, ia mengalami gangguan yang menyebabkan ia terpaksa datang padaku, seorang psikiater kelas dua.
Kemarin, ia datang menemuiku. Aku membayangkan kembali saat itu, seolah-olah aku melihat lagi sosoknya yang cukup berantakan, pasti, dibandingkan dengan penampilan sehari-harinya, duduk di kursi di depanku, ah, bukan, lebih tepat kalau kukatakan setengah berbaring. Kalimat pertama yang diucapkannya adalah, “Anda seorang psikiater, kan?” Dia menanyakan itu, bahkan sebelum aku memperkenalkan diriku dan menanyakan apapun padanya. Kujawab, “Ya.”
Dia memandangku dengan cara yang tidak kusukai, seolah-olah dia sedang berusaha menilai sejauh mana kemampuanku. Akhirnya dia melanjutkan kata-katanya, “kalau begitu, bisakah anda membantu saya?”
Aku, tentu saja langsung tersinggung dengan kalimat ini. Seolah dia meremehkanku, atau setidaknya begitu yang kupikir. Maka aku menjawab dengan nada tidak suka, “kalau anda kira saya bisa membantu anda, yah, saya akan berusaha melakukan apa yang saya bisa,” kataku.
Tampaknya dia menyadari perubahan nada suaraku, karena ia menjawab, “Jangan tersinggung. Saya hanya ragu, karena…saya sendiri tidak sanggup untuk menolong gadis itu,” katanya dengan nada meminta maaf.
Heh, orang ini cukup waras, pikirku waktu itu. Namun mau tidak mau aku tertarik juga dengan perkataannya barusan. “Menolong gadis itu? Siapa gadis itu?” tanyanku penasaran.
Bukannya menjawab perkataanku, dia justru kembali menanyakan sesuatu, kali ini dengan pandangan menerawang. “Anda tahu...Ivan Illich atau Ki Hadjar Dewantara?” tanyanya.
“Ki Hadjar Dewantara? Tokoh pendidikan nasional itu, kan?” jawabku yakin.
“Ya. Kalau Ivan Illich?” tanyanya kembali. Mendadak aku jadi teringat masa-masa ketika aku bersekolah, dan guru menanyakan sesuatu padaku. Ya, perasaanku sekarang sama persis dengan waktu itu.
“Tidak tahu,” jawabku agak malu, seolah-olah aku mendapatkan nilai jelek dalam ujian karena tidak belajar sebelumnya.
Sampai di sini, aku memutus lamunanku itu. Kunyalakan komputer di kamarku, membuka sebuah search engine terkenal, dan mengetikkan nama tersebut. Ivan Illich. Ya, ini dia.
Aku mengeklik salah satu hasil pencarian itu. Dan membacanya, berusaha mengerti. ‘The book that brought Ivan Illich to public attention was Deschooling Society (1971), a critical discourse on education as practised in "modern" economies. Ah, rupanya itu yang dimaksudnya. Jadi, si Ivan Illich ini juga kritikus pendidikan?
Pikiranku kembali melayang ke siang hari yang lalu. Dia, psikiater itu, tersenyum, seolah mengingat sesuatu yang lucu.
“Apa yang lucu?” sergahku kasar, karena merasa diremehkan.
“Oh, tidak, tidak apa-apa. Hanya saja…” kata-katanya terputus di tengah jalan.
“Hanya saja?” tanyaku penasaran
“Yah, hanya saja…saya rasa begitulah ekspresi wajah saya ketika gadis itu menanyakan pertanyaan yang sama pada saya,” matanya mulai menerawang. Untuk beberapa saat aku takut kalau pasienku ini akan kehilangan kesadarannya. Tapi ternyata tidak. Ia justru melanjutkan pembicaraan kami tadi.
" Dia dibawa oleh keluarganya mendatangi saya. Keluarganya mengatakan bahwa gadis itu mengalami...didaskaleinophobia," katanya. Aku segera mengerti, didaskaleinophobia adalah semacam rasa takut untuk pergi sekolah, namun biasanya rasa takut ini terjadi pada anak-anak, bukan pada seorang gadis.
" Dia menolak untuk pergi sekolah selama dua bulan. Seluruh keluarganya khawatir padanya," Aku mangut-manggut setuju. Memang begitulah biasanya keluarga pasien.
Sejenak dia berhenti. Menghela nafas beberapa kali, dan melanjutkan, "Tapi mereka salah. Saya tahu itu," katanya, matanya terlihat sedikit berair.
Lagi-lagi aku takut kalau pikirannya akan terganggu, tapi dia meneruskan kata-katanya. " Dia menanyakan pertanyaan yang sama dengan yang saya ajukan tadi kepada anda. Ya..." dia tersenyum, "sama persis. Sama persis sampai saya bisa melihat bayangan diri saya waktu itu pada reaksi anda sekarang."
Aku mulai lelah dengan pembicaraan yang berputar-putar ini. Untunglah dia segera melanjutkan dengan membawa topik baru, "Bagaimana anda bisa menjadi seorang psikiater?" tanyanya.
Aku mulai kesal lagi. Apa sih maunya orang ini? Tapi aku tetap menjawab pertanyaannya. Aku tidak mau terlihat bodoh di depan orang ini. "Karena saya belajar. Saya belajar untuk menjadi seorang psikiater, dan saya lulus, saya mendapat lisensi untuk bisa membuka praktek di sini" tandasku. Tapi ia masih melanjutkan, " Bagaimana kalau anda tidak mendapat lisensi itu?" tanyanya.
Aku bingung. "Tentu saja saya tidak akan membuka praktek di sini" jawabku
"Aaah," desahnya, "Anda benar-benar membuka jalan bagi saya untuk meneruskan," lanjutnya dengan senyum yang tidak dapat kumengerti. "Apa anda ingin menjadi seorang psikiater?"
"Ya," jawabku berhati-hati. Dia kembali bertanya, "Kalau begitu, anda pasti harus mendapat lisensi itu, kan?" tanyanya.
"Ya. Kalau tidak, apa gunanya saya mengambil mata kuliah psikologi dulu? Lebih baik saya mengambil yang lainnya, kan?"
"Hmm...jadi, anda pasti mengambil mata kuliah kedokteran dan melanjutkan ke psikologi, kan? Bagaimana anda bisa masuk ke fakultas kedokteran?"tanyanya, kembali berputar.
"Tentu saja dengan kerja keras! Saya harus belajar untuk mendapat nilai SPMB yang tinggi untuk itu!"
"Tapi, kalau nilai UN anda jeblok, anda pasti tidak akan pernah melanjutkan cita-cita anda, ya kan?"
Aku terdiam sejenak, dan berkata, "Ya."
"Bagaimana agar nilai UN anda tidak jeblok?" tanyanya lagi.
"Ya, tentu saja saya harus belajar yang baik di sekolah. Dan tentu saja saya harus mendapatkan nilai-nilai yang juga memuaskan di sekolah, agar bisa lulus, bahkan naik ke kelas tiga SMA," jawabku sebelum dia mengajukan pertanyaan untuk itu.
"Seandainya anda tidak lulus dari SMP?"
"Tentu saja saya terpaksa harus mengulang satu tahun. Bila saya harus keluar, tentu saya tidak akan menjadi seorang psikiater. Dan kalau saya tidak lulus SD, saya mungkin hanya akan menjadi tukang bangunan, atau mengerjakan pekerjaan kasar lainnya," lagi-lagi aku menyerobot pertanyaannya.
"Ah. Dan bila anda tidak pernah sekolah?"
"Saya mungkin akan menjadi salah satu dari anak jalanan. Menggelandang, mengamen, mengemis, dan entah apalagi."
"Apa itu alasan anda sekolah?"
Aku berpikir sejenak. Aku tidak boleh salah menjawab. Itukah alasanku sekolah? Kalau tidak, untuk apa aku berusaha keras belajar? Untuk apa aku marah-marah, kecewa ketika nilai ulanganku jelek? Untuk apa aku berusaha mengelabui guruku dengan jalan mencontek? Untuk apa?
"Mungkin...ya," jawabku akhirnya
"Itu yang dinamakan stereotype, kan?" tanyanya kali ini, sedikit menyimpang dari pembicaraan kami sebelumnya. Aku terpana.
"Bukannya anda seharusnya lebih tahu daripada saya?" tanyaku dengan rasa tidak suka.
"Di ruangan ini, saat ini, saya adalah pasiennya, dan anda dokternya. Jadi, saya beranggapan bahwa anda lebih tahu dari saya," katanya. Aku mengernyitkan dahi, dan menjawab,"Oh, baiklah. Ya, itu yang dinamakan stereotype."
" Begitu. Saya mengerti," katanya, menghembuskan nafas panjang. "Begitu pula cara saya menjawab. Dan sampai sekarang, saya masih menyesali jawaban saya itu," suaranya terdengar bergetar sekarang.
"Apa alasan anda sekolah?" tanyanya lagi. Aku benar-benar jengkel sekarang. Orang ini benar-benar sudah gila, kumaki diriku sendiri dalam hati. Dan aku semakin kesal ketika mendapati aku menjawab pertanyaannya.
"Agar saya bisa menjadi orang, orang yang berguna untuk masyarakat, orang yang...yang..."
"Yang sukses?" katanya membantuku. Merasa tak berdaya, aku mengangguk.
" Rata-rata orang akan menjawab begitu. Sedikit yang akan mendapati bahwa mereka tak punya alasan untuk tetap sekolah. Dan sisanya akan menjawab, untuk mencari ilmu. Tapi, apa itu benar?" Lagi-lagi ucapanya menggantung.
" Kalau hanya untuk mencari ilmu, bisa dilakukan sendiri-sendiri. tanpa harus terikat pada peraturan sekolah. Tanpa harus terikat pada seragam. Tanpa harus terikat pada bayaran sekolah. Tanpa harus terikt pada buku yang ditentukan. Tanpa harus terikat pada guru yang ditentukan. Tanpa harus terikat pada ilmu yang ditentukan....Setidaknya, begitulah kata gadis itu," ia kembali memejamkan mata, ekspresinya seolah menahan perih. "Dan anda harus mengakui, bahwa memang ada cara seperti itu untuk menuntut ilmu," tambahnya.
"Awalnya, saya hanya mengira ia seorang pembolos. Pembolos yang mencari-cari alasan untuk bisa membolos dari kelas. Pembolos yang mencari alasan sekenanya, meskipun dari awal saya sudah takjub dengan pengetahuannya. Berapa orang murid SMA yang tahu tentang Ivan Illich? Berapa orang dari murid SMA yang tahu mengenai teori ruang kelas dengan tiga dinding Ki Hadjar Dewantara?"
Aku menyela kata-katanya, aku mulai tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. "Teori ruang kelas dengan tiga dinding? Segitiga?"
"Bukan, meskipun memang bisa dilihat seperti itu juga. Namun yang dimaksud adalah konsep untuk menyatukan ruang kelas dengan dunia luar, dan bukan sebagai tempat eksklusif bagi murid dan guru," jawabnya.
"Saya kira dia akan mulai mengajukan alasan seperti Thomas Alfa Edison yang bisa menjadi salah satu orang paling bersejarah di dunia ini, meskipun ia dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap bodoh. Tapi ternyata tidak. Dia justru mengajukan pertanyaan terus menerus tentang efisiensi dan efektivitas dalam sistem."
"Dia bertanya, berapa umur anda saat anda menjadi seorang psikiater? Kujawab, 37 tahun saat saya mulai membuka praktek sendiri," dia menarik nafas dalam-dalam, dan melanjutkan, " Kemudian dia bertanya lagi, berapa banyak kekayaan yang anda miliki saat ini? Tentu saja saya kaget, nyaris saja saya mengatakan,' itu privasi saya!' Namun ada sesuatu yang membuat saya ingin menjawabnya. Maka saya menjawab, 'ya, sekitar rumah ini, mobil saya, dan tabungan, mungkin beberapa hal-hal lain yang tidak ingin saya sebutkan.' Dia berhenti sejenak, dan melanjutkan, 'pernahkah anda berpikir, mungkin saja anda bisa memperoleh semua itu ketika anda masih berusia, katakanlah, tujuh belas tahun?'"
"Saya terdiam sejenak, dan berkata, 'mungkin saja.' Tapi dia berkata, 'bagaimana kalau saya katakan itu tidak mungkin?' Saya menjawab, 'berarti kamu orang yang pesimis.' Kali ini dia yang terdiam sejenak, namun dia lagi-lagi membalas kata kata saya,' ya, mungkin saya memang orang yang pesimis. Tapi coba anda pikir, berapa banyak perusahaan yang mau menerima karyawan yang belum menamatkan sekolahnya? berapa banyak perusahaan yang mau menerima karyawan yang tidak berpengalaman?'"
"Maka saya menjawab lagi, 'yah, kamu bisa mencari uang dengan cara mandiri, wiraswasta mungkin?' dan saya kembali dipojokkan. Ia kembali menyerang saya, 'berapa banyak sekolah yang mengizinkan murid-muridnya berusaha? bukankah mayoritas dari sekolah memfokuskan diri untuk menjaga agar siswanya meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi? Bukankah banyak sekolah yang menyita waktu siswanya dengan cara membuat mereka selama mungkin berada di sekolah? dan setelah pulang pun, mereka dijejali dengan begitu banyak PR, yang mencegah mereka untuk keluyuran dari rumah?' saya memotong kata-katanya, dan berkata, ' bukankah itu hal yang bagus? banyak remaja yang terjebak pergaulan bebas saat ini, bukan?' Ia tersenyum, seolah mengejekku, dan berkata, 'begitulah cara pikir kalian. Tapi, tidakkah kalian sadar, bahwa itu juga menghalangi kami dari melihat dunia luar. Seorang siswa seolah-olah adalah seekor kucing rumah yang dipelihara dengan baik sejak lahir, lalu tiba-tiba dilepaskan begitu saja, dan terpaksa mencari makan sendiri. Ia tidak punya pengalaman, dan kemudian, yang terjadi adalah hukum rimba, yang terkuat yang akan bertahan hidup. Yang lainnya? Mati kelaparan, matikedinginan, mati diterkam oleh binatang lain.'"
Sampai di sini ia berhenti, mungkin kehabisan nafas karena bicara begitu berapi-api. Aku menawarkan minuman, namun dengan halus ditolaknya. Setelah beberapa saat, ia melanjutkan lagi pembicaraannya.
"Gadis itu berkata, 'berapa tahun yang kita butuhkan untuk menyelasaikan sekolah? katakanlah, enam tahun pada SD, tiga tahun saat SMA, dan tiga tahun saat SMA. Kemudian ditambah sekitar 4 tahun saat perguruan tinggi. Itu kalau hanya mengambil S1. Belum kalau mengambil S2. Bisa-bisa memakan waktu 20 tahun sendiri. Kira-kira umur pada saat kita masuk SD adalah 6 tahun. Maka, umur kita pada saat lulus S1 sekitar 22 tahun. Dan baru saat itulah kita bisa mulai bekerja, mulai mencari penghasilan sendiri, dan boleh dikatakan, mulai berperang'"
"'Itupun, seandainya kita tidak salah memilih jurusan nantinya. Kalau sampai salah, bayangkan betapa sia-sianya waktu dan usaha yang kita berikan selama ini,' aku menyela lagi, 'Tapi, bukankah semua ilmu itu ada gunanya?' Ia menjawab, 'ya. tapi, dengan adanya ijazah, bisakah anda bekerja sebagai dokter kalau ijazah anda berkata bahwa anda adalah seorang arsitek? Bisakah anda menjadi seorang psikiater kalau ijazah anda mengatakan bahwa anda adalah dokter gigi?'"
Ia mulai terbatuk-batuk, tapi ia tetap meneruskan ceritanya, " Ia juga memprotes kurikulum yang ada saat ini. Katanya, 'kenapa kami harus belajar sejarah kalau hanya untuk menghafalkan nama, tempat dan tanggal kejadian? Bukankah tujuan dari pelajaran ini adalah belajar dari masa lalu agar tidak mengulangi kesalahan yang sama? Kenapa pelajaran Pkn dan sosiologi tidak digabungkan saja ke dalamnya? Jadi kami tidak hanya mempelajari tanggal-tanggalnya, namun juga latar belakang kejadian secara sosial, psikologi, dan juga politik. Juga mencari solusi jika kejadian serupa terulang? Atau, mengapa pelajaran BK tidak diganti dengan dasar-dasar psikologi? setidaknya itu akan membantu kami dalam bersikap, dalam bermasyarakat, bukannya menina bobokan kami, mencekoki kami dengan cara-cara belajar, atau dengan pilihan-pilihan perguruan tinggi. Bukankah mata pelajaran ini dinamai bimbingan konseling? Kenapa harus dibatasi dengan masalah seputar sekolah, bukannya seputar dunia, agar kami juga belajar untuk hidup di dunia luar?'"
"Kemudian, lagi-lagi saya memutus bicaranya. Saya bertanya, 'Apa kamu sedemikian membenci sekolah?' Ia menimbang-nimbang, baru menjawab, 'mungkin ya. Tetapi, saya bukannya membenci sekolah, melainkan membenci bagaimana sekolah dijalankan. Sekolah dijadikan ajang politik, ajang kekuasaan, bukannya ajang pendidikan, dimana kami diminta untuk mencari pencerahan sebagai generasi penerus bangsa ini. Justru, di sekolah kami diajari bagaimana cara bersikap dalam masyarakat sekarang, agar kami dapat membaur, bukannya membuat suatu perubahan yang nyata untuk mengangkat harkat negara ini. Bagaimana kami bisa mencari solusi, bagaimana kami bisa menajdi generasi penerus dengan cara seperti ini? Sementara kami terus-terusan ditekan untuk bersikap baik, patuh pada sistem yang ada, tanpa memiliki keinginan untuk memprotes segala sesuatunya. Bagaimana kami bisa diharapkan untuk menmbuat sebuah perubahan jika yang mengharapkan kami membuat perubahan justru takut pada perubahan itu sendiri?'"
"'Dan begitulah seterusnya, dari generasi ke generasi. Dari zaman anda dahulu, sampai ke zaman, mungkin, anak anda, sekolah tetap seperti itu. Apanya yang berubah? Semuanya tetap menilai dari hasil, bukan proses. Semuanya tetap memberi nilai. Semuanya mengkritik bahwa kami adalah generasi yang tak bisa diharapkan, bahwa kualitas dari generasi ke generasi makin menurun, tapi sadarkah anda, bahwa yang mendidik kami untuk berbuat begini adalah generasi anda! Terwujudnya kekerasan di sekolah, korupsi, dan segala macam tindak kriminal, mungkin juga berasal dari sana. Mungkin, bila sekolah diubah, juga akan mengubah paradigma bangsa ini tentang segala sesuatu...'"
"' Sayangnya...tidak ada, atau sedikit, yang dapat mengerti saya. Kebanyakan orang, bahkan orang tua saya, menganggap saya gila. Dan anda tahu? Paradigma itu juga disebabkan oleh sekolah. Stereotype yang ada, semuanya, mungkin berasal dari sana. Seandainya tak ada predikat orang yang tidak sekolah, orang yang tidak berpendidikan, predikat yang membedakan satu dari yang lainnya, stereotype yang membuat jurang diantara satu dan lainnya, yang menciptakan kesenjangan, paradigma yang membuat orang berpikir sempit. Semuanya...bagaimana saya harus mulai berubah?'"
Ia menghela nafas dalam-dalam, lalu melanjutkan ," Saat itu, anak saya yang masih duduk di SD, masuk ke ruang kerja saya. Gadis itu menatapnya dengan pendangan aneh, dan berkata, 'hati-hatilah, mungkin anak anda juga akan terjebak dalam rantai itu,' Kata-kata itu terus menghantui saya. Saya berusaha, sedikit demi sedikit, mempengaruhi orang dengan cara pikir saya. namun, seperti yang gadis itu katakan, orang-orang menganggap saya aneh. Namun saya masih belum mau menyerah, sampai saya kembali mendengar kabar dari gadis itu,"
"Beberapa hari sebelum kejadian itu, orang tua gadis itu sempat menelepon saya dan mengucapkan terima kasih karena putri mereka mau masuk sekolah kembali. Tapi, suasana damai itu hanya untuk beberapa hari. Kelihatannya gadis itu mulai mengutarakan ide-idenya lagi, yang menyebabkan ia dipanggil oleh guru-gurunya, bahkan sampai menghadap kepala sekolah segala. Dan di situlah, keputusannya untuk menunjukkan pendiriannya sudah bulat. Ia mengangkat sebuah kursi dan mengayunkan kursi tersebut ke jendela. Tentu saja, jendela-jendela itu pecah. Maka, sekolah mengirimkan surat kepada orang tua gadis itu bahwa...bahwa...putri mereka menderita gangguan jiwa,"
Kali ini punggungnya bergetar. Dan bukan hanya punggungnya, tapi juga suaranya, bahkan matanya pun menjadi liar. " Dia tidak apa apa!! Gadis itu tidak apa-apa, ia hanya memiliki idealisme, dia tidak apa-apa, dia tidak seharusnya berada di sana...dia tidak seharusnya menjalani karantina di sana...bersama orang-orang gila...kriminal...dia...." dan tangisnya pun pecah.
" Sejak saat itu, saya melarang tiga orang putra putri saya untuk pergi ke sekolah. Dan itu pula...yang menyebabkan...keluarga saya mengirim saya ke sini....."
Lamunanku kembali terputus, kali ini oleh ketukan di pintu. Dina, asistenku, melongokkan kepalanya ke dalam kantor.
"Pak, ada telepon dari keluarga Pak Marsal, pasien yang kemarin sore datang...katanya, mereka telah memutuskan untuk memasukkan beliau ke pusat rehabilitasi, jadi janji sore ini dibatalkan," katanya.
Kepalaku mendadak pusing. "Ke...Kenapa?" tanyaku terbata.
"Katanya, tadi siang Pak Marsal menghancurkan nyaris separuh ruang kelas putranya. Beliau menghancurkan jendela-jendela, bahkan kursi-kursi yang ada. Padahal, saat itu tengah berlangsung rapat orang tua murid di sekolah putranya itu. akrena itu pihak keluarga memutuskan untuk membawa Pak Marsal ke sana," jelas Dina.
Aku terhuyung, tanganku berusaha mencari pegangan untuk menopang tubuhku. Seketika aku teringat dua putriku yang masih SD.
Dina yang mungkin panik melihat keadaanku, segera mengambilkan kursi dan bertanya, "Pak, Bapak baik-baik saja? Perlu saya bawakan sesuatu?"
Dengan keadaan setengah sadar, aku menjawab lemah, "Ya...panggilkan aku...seorang psikiater..."