Sebelum terlalu jauh
membayangkan yang tidak-tidak, saya klarifikasi dulu sebentar. Ini bukan
postingan tentang cinta─ paling tidak bukan tentang cinta yang biasa.
Bukan pula renungan tentang pria dan wanita─lagi-lagi, paling tidak bukan dalam arti yang biasanya
diinisiasikan dengan frasa ‘merah muda’.
Bagi saya, ‘Merah Muda’
punya arti yang lain. ‘Merah Muda’ lebih dari sekadar cinta. Frase ini
melambangkan perjuangan, kegigihan, putus asa, iri hati, kekaguman, dan seribu
rasa lainnya untuk saya dan mungkin, untuk orang tertentu juga. ‘Merah Muda’
adalah sebuah fase, sebuah masa di mana kami─saya terus menerus melihat ke atas dan mengagumi ‘mereka’.
Wajar. Orang lain yang bukan termasuk sebagai bagian dari kami pun mengagumi ‘mereka’.
Berdasarkan penglihatan dan pendengaran saya, saya pun setuju, dan ikut
mengagumi ‘mereka’. Bukan berarti meraka sempurna, sama sekali bukan. Masih ada
hal yang harus diperbaiki, tapi siapa peduli? Nobody’s perfect. Begitu pun ‘mereka’. Namun saya─kami tetap mengagumi ‘mereka’
yang berhasil membangun sebuah kerajaan di tengah puing-puing terlantar, di antara
ketidak pedulian dan egoisme. Saya akui, saya mengagumi kebijakan ‘mereka’,
tindakan ‘mereka’, bahkan, mimpi-mimpi ‘mereka’.
Kemudian tiba saatnya
ketika mimpi, ya, mimpi, ‘Merah Muda’ itu harus berakhir. Segala cerita selesai
begitu saja di tengah kericuhan KM yang bergemuruh. Tiba-tiba saja, di dalam
bis, setengah perjalanan menuju Semarang, saya menerima sms yang meminta saya
untuk ikut menjalin ‘Benang Merah’. Dalam keadaan mabuk oleh euforia dan masih
dibayangi oleh mimpi ‘Merah Muda’, saya menerima ajakan tersebut. Setelah itu? Dengan
bodohnya saya bersikap stoic dan
stagnan, dihantui oleh kerajaan ‘Merah Muda’.
Jujur, saya takut.
Bayangan ‘Merah Muda’ masih terlalu kuat. Sanggupkah saya merajut ‘Benang Merah’?
“ Justru sekarang lo yang
harus jadi kekuatan buat ‘dia’.”
Kekuatan? Mengutip lagu ‘Adayume’
dari Suga Shikao (iya, saya suka banget lagu ini)─bagaimana mungkin anda mengharapkan saya
menyalakan lampu─penerangan
di kamar anda sedangkan langkah kaki saya sendiri pun belum mantap? Buta,
hilang arah, saya mencoba merajut ‘Benang Merah’.
“Tugas kita sebagai ‘pemintal’
bukan cuma itu.”
Sulit dipercaya bahwa
yang akhirnya membuka mata saya adalah satu cup
puding coklat. Ditambah jeritan meminta perhatian (sebenarnya sih bukan
jeritan, tapi ini kan masih lebay dan galau mode
on :p) yang benar-benar menohok saya. Di saat seharusnya saya memerhatikan
mereka, kenapa jadi saya yang harus diberi perhatian agar sadar? Mendadak, saya
teringat sebuah fragmen kenangan, beberapa patah kata,
“Gue nggak pengen ikut ‘organisasi’
lagi. Tapi, gue butuh keluarga.”
Astagfirullah. Kenapa saya jadi sibuk dengan diri sendiri, tenggelam dalam mimpi dan
depresi sendiri saat di sekitar saya ada sekian banyak orang-orang luar biasa
ini? Kenapa saya harus mengenang mimpi ‘Merah Muda’ saat di tangan saya ada
seuntai ‘Benang Merah’ yang masih kusut tak berbentuk? Perlukah saya mengenang
kehebatan ‘mereka’ saat di hadapan saya ada sekian banyak orang-orang besar
(setidaknya, calon)? Memangnya saya harus berlarut-larut membandingkan antara
mimpi dan realita, masa lalu dan saat ini, ketika Tuhan dengan suka rela lagi-lagi
menempatkan saya di tengah-tengah orang-orang hebat? Mana akal sehat saya yang pada
hari itu memutuskan bahwa saya akan mendirikan, bukan kerajaan, melainkan
rumah, bagi keluarga ‘Benang Merah’?
Titik balik. Klimaks.
Saya tidak mengatakan
bahwa saya melakukan hal yang lebih baik sejak segelas puding itu. Tapi pagi
ini, saya berhadapan dengan seseorang yang sangat familiar dengan sebuah
kesadaran baru. Entah bagaimana bisa saya baru menyadari bahwa wajah seseorang
itu, terlihat jauh lebih dewasa dari yang terakhir saya ingat (tanpa menyebut
tua lho, =___=”). Padahal saya bertemu ia nyaris setiap hari. Saat menatap
lembaran-lembaran merah di tangan saya, saya tertohok dengan kenyataan lain
yang baru saya sadari. Bahwa seseorang ini siap untuk melakukan berbagai macam
hal untuk merajut ‘Benang Merah’ ini. Di belakang beliau, sebuah wajah pemintal
‘Benang Merah’ lainnya serius mencatat, saya yakin, untuk memberikan yang
terbaik bagi ‘Benang Merah’ (well, mungkin bukan cuma buat ‘Benang Merah’. Itu
memang kerjaannya dia sih, tapi sekali lagi, galau dan lebay mode on). Telinga kanan saya menangkap
suara-suara tawa dan seruan bersemangat dari arah ‘rumah’. Dari sudut mata, saya dapat melihat para
perajut ‘Benang Merah’ lain yang sibuk menikmati diri dan waktu mereka di ‘rumah’.
Gada kesadaran (palu nggak cukup, pakai gada aja) kembali menghantam saya.
Inilah rekan-rekan saya. ‘Mereka’
yang ‘baru’.
Dan saya, jatuh hati.
(Bogor 9 Mei 2013, melancholy time antara
Baranangsiang-Kampus Dalam)