Jumat, 28 November 2008
Wanita Cantik
Wanita cantik melukis kekuatan melalui masalahnya
Tersenyum saat tertekan,
Tertawa saat hati menangis,
Memberkati disaat terhina,
Mempesona karena mengampuni.
Wanita cantik, mengasihi tanpa pamrih
Berkata kuat dalam doa dan pengharapan...
Aaah~~pengen banget jadi kayak gitu, doakan ya, semoga aku bisa jadi orang seperti itu. Jadi kuat tanpa harus menyalahi fitrahku.
Oh ya, semoga yang membaca postingan ini (kalau cewek, ya...:p)juga dikaruniai Allah kemampuan seperti itu...
AAAAHHH!!! seminggu lagi deadline KARTUL!!
Rabu, 26 November 2008
~~Part 1
“Awas! Kamu tidak boleh ke
“Ayolah, masa kamu tidak pensaran dengan tempat ini?” Serunya sambil tertawa riang.
Sejenak aku bimbang, namun ketika helai rambutnya yang terakhir menghilang dari pandangan, kuputuskan untuk mengikutinya.
Kulongokkan kepalaku ke balik dinding batu yang membatasi daerah terlarang ini. Tiba-tiba, ia muncul dan menarik tanganku agar aku masuk ke dalam.
“Tidak usah takut, tidak ada monster disini,” katanya riang.
Ya, dari dulu kami, anak-anak yang tinggal di desa di kaki gunung, selalu dinasehati agar ridak bermain di gua ini. Bahkan, orang-orang dewasa pun hanya boleh memasuki tempat ini setelah mendapat izin dari kepala suku. Konon, di kawah ini terdapat seekor makhluk yang akan menyemburkan api bila ia marah. Makhluk itu berkulit hitam keabu-abuan dan bermata merah. Tubuhnya setinggi pohon jati dan memiliki rambut gimbal yang terurai hingga mata kaki. Ia hidup dengan memakan daging segar, dan yang paling disukainya adalah daging manusia, terutama daging anak gadis. Makhluk itu adalah penjaga gunung ini, karena itu para penduduk desa tidak berani mengganggunya. Namun, ketika musim pacelik tiba, kami akan mempersembahkan sesajen ke gua untuk dimakan oleh makhluk itu.
Aku masih ragu-ragu untuk melangkah masuk ke dalam gua itu. Tapi akhirnya aku terpaksa masuk ke dalam, karena ia terus-terusan menarik tanganku. Benar katanya, tidak ada apa-apa disana, kecuali sebuah lubang besar yang menganga di tengah-tengah dasar batu. Asap membubung keluar dari lubang itu.
Kemudian, aku menyadari sesuatu, dan kakiku seolah membeku karenanya. Dia sudah melepaskan tarikannya, dan sekarang berjalan ke pinggir lubang, lalu berlutut di pinggir lubang itu, hanya berjarak beberapa langkah dari tepiannya. Secepat kilat sebuah pikiran meloncat dalam pikiranku, dia akan dimakan oleh makhluk itu!
“Sami! Cepat kesini, nanti kau akan dimakan makhluk itu!” Seruku ketakutan.
Bukannya menjauh, dia justru menoleh dan tersenyum mengejek, “Dasar penakut. Ayo kesini! Tidak ada apa-apa, kok!”
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk melangkah dan mendekatinya. Sesekali rambutnya yang hitam tergerai melambai tertiup asap. Matanya kadang tampak berkilau merah menyala, dan kini, setelah mendekat, baru aku tahu sebabnya.
Di dasar lubang itu, di sela-sela asap yang tebal, terlihatlah api yang menyala-nyala. Seketika aku teringat lahi dengan cerita tentang makhluk penunggu itu. Aku ingin sekali melangkah mundur, namun tidak jadi, karena aku tahu bahwa dia pasti akan mengejekku lagi. Maka, aku pun ikut berlutut, meskipun aku tetap menjaga jarak dengan tepian lubang.
Tiba-tiba saja ia berdiri. Aku menatapnya heran, dan ia menoleh ke arahku. Matanya yang hitam berkilau seolah menghipnotisku untuk terus melihat setiap gerakannya. Ia maju beberapa langkah, dan yang membuatku ngeri, ia kini berdiri tepat di pinggir lubang itu. Ia berbalik, sehingga sekarang tubuhnya menghadap ke arahku. Perlahan, ia merentangkan tangannya, dan mulai berjalan menyusuri tepian lubang.
Aku mengawasi setiap langkahnya dengan jantung yang seolah bias berhenti kapan saja. Dan benarlah, jantungku seolah berhenti berdetak beberapa saat ketika aku melihatnya tergelincir. Untunglah, kaki dan tangan kanannya berhasil menemukan pijakan, sementara aku hanya berhasil meraih tangan kirinya. Beberapa saat tidak ada satupun dari kami yang sanggup bicara. Lalu, ia mulai tertawa keras-keras. Aku masih tidak bias bicara, namun kurasakan sesuatu yang panas mulai menyesaki seluruh tubuhku.
“Kamu itu sedang apa, sih?! Kamu pasti akan dimakan kalau mendekat ke sini!” Aku kehabisan napas dan kata-kata. Detak jantungku belum juga kembali seperti biasa. Wajahku terasa sangat panas. Ia segera berhenti tertawa, dan perlahan, kulihat bola matanya yang jernih berubah menjadi keruh.
“Maaf,” katanya lirih, dan aku segera menyesal sudah membentaknya.
“Sudahlah. Ayo kita pulang,” kataku, dan kali ini, ia menurutinya.
Jumat, 21 November 2008
Sebuah Keraguan
Jadi inget waktu pertama kali dipilih jadi kaput. Sebelumnya calon yang lain pada bilang,"Udah, lo aja, deh" gitu. Tapi, aku nggak mau ngakuin itu, lagipula mereka itu (calon-calon yang lain) adalah orang-orang yang bener-bener berdedikasi sama Rohis. Waktu hasilnya diumumin, nyaris, aku nangis di depan mereka semua. Siapa lagi yang lebih tahu dariku tentang aku? Siapa lagi yang lebih tahu dariku bahwa aku nggak pantes buat ada di posisi itu? Aku sempet nolak, tapi ada kakak kelas yang bilang,"Dek, waktu Khalifah Umar dipilih jadi Khalifah, dia juga ngerasa nggak pantes untuk ngambil posisi itu. Tapi, karena itu hasil musyawarah, dia tetep melaksanakan jabatan itu". Mana bisa aku ngebantah yang kayak gitu? Alhasil, pulang dari LDKR, aku stress berat. Dan baru bisa bener-bener pulih tiga hari setelahnya (sakit juga, sih :p). Trus, menjelang masuk lagi setelah liburan, mulai cemas lagi. Tapi, alhamdulillah banget, aku dapet banyak banget dukungan dan bantuan dari rakan-rekan sekalian, juga dari senior-senior. Makasih banyaak!!
Trus, jadi sutradara di drama Kebon Meteor (hari Sabtu ini, lhooo!). Sering banget frustasi, beberapa kali meledak marah (maaf ya, semuanya! (-/\-)). Lagi-lagi, alhamdulillah, Ya Allah, Engkau sudah memberikan banyak teman yang baik untukku. Paling nggak kita bisa bekerja sama dengan baik, meskipun latihannya (woi! yang bener, dong!!) masih banyak yang asal-asalan. Maksudku, bukan berarti di antara kelompok kita sendiri sama sekali nggak ada masalah, tapi kurasa, kita berhasil menyingkirkan masalah itu untuk bisa bekerja sama dalam ini. Thanks to all of you, guys!
Dalam ngelaksanain semua itu, pasti ada satu titik yang bener-bener bikin aku depresi, dan semua itu sebabnya ya kalo bukan ketidakyakinanku pada diriku sendiri, ya berarti karena aku menyalahkan diriku sendiri atas apa yang terjadi. Dan itu semua, lagi-lagi, aku bersyukur banget, dan juga, makasih banyak untuk orang yang ngucapin ini, "Lo harus yakin sama diri lo sendiri, Fah! Kalo lo yakin lo bener, lo harus pertahanin keyakinan lo itu. Jangan nyerah gitu aja!" (BTW, bener nggak, sih? Dah rada lupa, tapi intinya begitu, kok). Dia ngucapin itu untuk hal lain, dimana (lagi-lagi) aku nggak yakin sama diriku sendiri. Tapi, kata-kata itu rasanya langsung nusuk ke hati, secara baru aja malemnya itu aku stress mikirin ini dan itu. Untung aku nggak sampe nangis lagi di depan dia. Udah berkaca-kaca, sih :p.
Kata-kata itu langsung nyadarin aku, bahwa ada orang lain yang berjuang demi aku, berjuang bersamaku, dan berjuang disisiku. Dan aku nggak boleh nyerah gitu aja. Paling nggak aku harus ngusahain yang terbaik, buat mereka, dan pastinya buatku sendiri. Karena, nggak ada yang bisa ngejalanin hidupku kecuali aku sendiri. Jadi, aku yang harus menentukan pilihanku. Baik itu berakibat baik atau buruk, aku juga harus siap untuk menanggung akibatnya sendiri.
Ayo berjuang!
Minggu, 16 November 2008
Pembuka KBbS&AJ
Aku segera menegakkan kembali badanku, namun baru saja aku mau mengucapkan terimakasih, ia sudah berkata lagi,”Jadi cewek tuh lelet banget, ya! Mau sekolah aja persiapannya ribet banget, sih!” Aku merengut, dan membalasnya dengan berkata,”Iya,iya! Gue ngerti kok ucapan orang yang nggak pernah punya cewek”, balasku. Dia menatapku, lalu langsung membalikkan badan dan berkata, “Bodo ah! Cewek satu aja dah ribet banget, apalagi kalo lebih! Mau gue anterin, nggak? Kalo mau cepetan, dong!” Ia berjalan menuju mobilnya dan membuka pintu. Kemudian ia melemparkan sebuah kunci padaku. “Nih! Bukain pagernya ya!”. Aku menangkap kunci itu, dan membuka pagar rumah sambil berteriak pada Mama yang menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah kami, “Ma! Kita berangkat dulu, ya!” Mama hanya melambaikan tangan sambil berkata, “Hati-hati di jalan, ya!”. Aku segera menutup pagar dan masuk ke dalam mobil yang segera melaju kencang di atas aspal.